Banjir semakin sering terjadi di seantero kabupaten Sidoarjo. Juga lama surut, menyebabkan kerugian material sangat besar. Karena kemacetan, jeda perekonomian. Maka normalisasi sungai tidak cukup sebagai upaya pengendalian banjir. Melainkan harus dibarengi normalisasi ekosistem lingkungan. Ekstremitas cuaca telah membawa bencana hidro-meteorologi, dengan daya rusak lebih besar. Tetapi sebenarnya seluruh daerah terancam banjir dan longsor, bersamaan cuaca ekstrem.
Hulu sungai luruh membawa material sampah, dan material longsoran, menerjang perkampungan, dan ladang. Seluruh kawasan Jawa, termasuk Jawa Timur, tetap waspada luapan sungai besar (dan anak sungai). Diguyur hujan deras, beberapa sungai di Sidoarjo, tak mampu menahan debit air yang tercurah, disertai arus deras. Sungai Ketapang, meluap. Jalan Raya Porong, ditutup total, persis di samping tanggul lumpur Lapindo. Rel kereta-api juga terendam.
Banjir di Sidoarjo, seolah bergiliran tiap pekan. Dimulai kawasan barat, di Wonoayu, terendam banjir. Sedangkan di tengah kota, kali Pucang, dan kali Kutuk, tinggal “menunggu giliran” meluap, menggenangi sekeliling kota, sampai pintu tol. Pemerintah kabupaten Sidoarjo, coba mengurangi banjir dengan pengerahan pompa milik PLS (Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo, Lapindo). Air bah dimasukkan ke embung Lusi, yang tiba-tiba menjadi solusi.
Embung Lusi, yang juga dikenal sebagai “pulau” Lusi, sebenarnya adalah sebuah pulau buatan yang terbentuk dari endapan lumpur Lapindo. Lokasinya berada di tengah sungai Kali Porong, di dusun Tlocor, desa Kedungpandan, Sidoarjo. Awalnya, bernama pulau Sarinah. Tetapi diganti menjadi pulau Lusi, singkatan dari “Lumpur Sidoarjo.” Sedangkan di Jawa Tengah, kondang sebuah sungai bernama Lusi, yang mengalir di Tengah kabupaten Grobogan. Sering meluap, menyebabkan banjir parah, sampai memutus jalur pantai utara Jawa.
Banjir di kabupaten Sidoarjo, membuktikan, lingkungan permukiman perkotaan, perlu di-normalisasi. Terutama pada kampung-kampung pusat urban. Mengeruk sampah dari badan sungai, menjadi keniscayaan. Banjir juga menyebabkan kemacetan makin parah di Sidoarjo. Sampai berimbas pada jalan tol turut tersendat di pintu masuk, dan exit (pintu keluar). Penampakan digital banjir Sidoarjo terpampang dalam Google Maps. Area dengan warna merah yang menandakan antrean panjang kendaraan.
Pada puncak musim hujan, Pebruari lalu, luapan banjir terdeteksi dari sungai di wilayah Waru yang menjadi daerah aliran sungai (DAS) Sungai Brantas. Serta sungai Buntung, Desa Tambak Oso, Waru, Sidoarjo. Sebenarnya telah diupayakan normalisasi, termasuk dengan menggunakan 1 unit excavator amphibi. Terutama mengambil tanaman eceng-gondok yang telah memenuhi permukaan air sungai. Namun di hulu, tanaman eceng gondok semakin “meng-hutan” tebal, harus menjadi prioritas.
Pola “buka-tutup” aliran sungai bisa menjadi pembuka ruang lebih lebar untuk aliran sungai. Menjadi solusi mudah, sementara. Namun tidak mudah, karena harus memperhitungkan area muara yang berbatasan dengan laut. Pada bulan purnama, permukaan air pada area muara lebih tinggi. Potensi rob masih membayangi area timur Sidoarjo. Banjir rob bisa meluruh hingga Tengah kota.
Ekses lain banjir kawasan timur Sidoarjo bisa menyapu tambak, yang berisi ikan dan udang. Niscaya sangat merugikan perekonomian rakyat. Maka normalisasi, mengeruk sungai yang dangkal, harus dilakukan setalah musim hujan. Namun sebenarnya, seluruh daerah yang dilalui sungai besar, patut melaksanakan normalisasi. Khususnya Pemprop Jawa Timur patut bekerjasama dengan BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai) Bengawan Solo, dan sungai Brantas.
Percabangan Bengawan Solo di kawasan utara Jawa Timur, masih menjadi ancaman banjir. Begitu pula percabangan sungai Brantas, yang mengalir besar menjadi Kali Porong, dan anak-anak sungai.
——— 000 ———