Oleh :
Muakhor Zakaria
Dosen Perguruan Tinggi La Tansa, Rangkasbitung, Lebak, Banten
Kita masih ingat bahasa-bahasa yang pernah merajai dunia seperti Arab, Belanda, Inggris, dan kemudian Mandarin saat ini yang memiliki potensi besar untuk mendominasi bahasa dunia. Bahasa Indonesia tentu mengalami tekanan berat, terutama karena sikap bangsa ini dalam memperlakukan bahasa persatuannya. Tekanan hebat itu berupa penetrasi bahasa-bahasa dominan dunia yang makin intensif dan masif di dunia nyata maupun virtual akhir-akhir ini.
Ironisnya, di tengah keterancaman identitas berbahasa yang merupakan ujung-tombak penyelamatan identitas nasional, hampir tak ada di kalangan pengambil keputusan yang peduli dengan fenomena ini. Para pengambil keputusan dengan bangga berbicara bahasa Indonesia baku bertabur kata-kata asing di depan publik, meski padanan kata asing itu mudah ditemukan dalam bahasa Indonesia. Di kalangan intelektual dan sastrawan yang genit menggunakan kosakata asing justru berdalih bahwa istilah itu tak bisa dicari padanannya dalam bahasa Indonesia.
Jiwa kebahasaan di kalangan sastrawan dan pelaku seni juga seperti mengalami mati suri. Hampir sulit mencari karya-karya sastra yang serius memanfaatkan bahasa Melayu Tinggi dengan dialek-dialek ibukota (Jakarta), kecuali dialek-dialek banci dan ganjen yang penulisnya merasa fasih menggunakan bahasa keinggris-inggrisan (untuk tidak mengatakan: sok-sokan berbahasa Inggris).
Mengapa kita tidak berkaca dan mengambil teladan dari bahasa Ibrani yang dipakai oleh bangsa Israel sebagai kekuatan pemersatu bangsa. Terlepas kita setuju atau tidak dengan berdirinya negeri Israel, tetapi upaya keras bangsa itu untuk membangun dan memperkuat ketahanan bahasanya sungguh luar biasa. Padahal, jauh-jauh hari sebelum pendirian Israel, kita telah “bersumpah” bersama-sama dalam konferensi para pemuda di Jakarta. Itulah yang menyebabkan penulis novel Perasaan Orang Banten membangun benteng pengaman dengan dialek-dialek khas Jakarta, dan telah mengawali bab pertama dengan latarbelakang sejarah diikrarkannya Sumpah Pemuda di tahun 1928 lalu.
Dalam perjalanannya, bahasa Indonesia tak pernah mengalami kematian seperti halnya bahasa Ibrani. Bahasa umat Yahudi itu telah berabad-abad vakum, dan hanya memiliki beberapa ribu orang pengguna dan penutur saja. Ia hanya dipakai oleh kalangan ahli kitab, berupa syair dan puisi-puisi yang tidak lagi dikenal masyarakat. Dalam dialek dan tutur kata sehari-hari, sudah tak berfungsi lagi.
Masyarakat Yahudi diaspora hampir tak lagi mengenal bahasa kaumnya. Yahudi Azkenazi berkomunikasi dengan bahasa Rusia, Yahudi Shepardi juga menggunakan bahasa Arab. Sementara Yahudi Diaspora yang tinggal di Inggris maupun Prancis, telah melebur dalam bahasa negeri yang disinggahinya.
Agenda utama yang mereka manfaatkan, ketika harus mendirikan negeri Israel, adalah upaya mempersatukan masyarakat Yahudi, dengan cara menghidupkan kembali bahasa Ibrani yang sudah dianggap “purba” tersebut. Para penulis sastra terkemuka, termasuk peraih nobel perdamaian Elie Wiesel, juga menulis novel yang hanya setebal 100 halaman (Malam dan Fajar) dengan menggunakan bahasa Ibrani.
Para intelektual Yahudi, secara kompak membahas dan menulis sinopsis maupun resensi, bahkan kritik sastra, yang membuat Elie Wiesel dianggap layak untuk dianugerahi nobel sastra di samping nobel perdamaian. Mereka terus mengupayakan bahasa Ibrani, demi terbentuknya bahasa nasional yang menyatukan mereka, serta agar menjadi identitas kebanggaan bagi anak cucu mereka.
Di tengah pengguna bahasa Ibrani yang masih terbatas, setelah proklamasi 1948, konstitusi negara Israel segera menyatakan bahwa bahasa resmi bangsa itu adalah bahasa Ibrani. Nampaknya perjuangan itu tidak mudah, tetapi mereka terus beritikad keras dengan kebijakan tegas yang dikumandangkan pemerintah setempat.
Saat ini, bahasa yang penggunanya sangat terbatas itu, telah menyerambah dan diakui sebagai salah satu bahasa modern yang solid dan tangguh. Bahasa itu tidak hanya dikembangkan oleh kalangan sastrawan Yahudi, tetapi juga terus meluas di kalangan para politisi, ekonom, dunia pendidikan dan akademisi, hingga terus dimanfaatkan kalangan intelektual dan para ilmuwan.
Oleh para sastrawan dan budayawan, bahasa Ibrani kemudian didesain sebagai pijakan identitas dan jati diri bangsa. Generasi muda turut menyemarakkan dan menyambut secara antusias, ketimbang memanfaatkan bahasa Inggris yang tak memiliki akar dalam tradisi leluhur mereka. Kesusastraan dalam bahasa Ibrani terus berkembang pesat, dan ini menjadi kebanggaan yang luar biasa bagi mereka dan anak cucu mereka.
Dari semangat antusiasme, nampaknya tak beda jauh dengan bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu. Ia juga memiliki kekuatan intrinsik dengan daya ucap yang cukup simpel, konsisten, dan mampu meyerap perkembangan dari berbagai peradaban. Faktor ektrinsik yang mendukung kesatuan bahasa kita di antaranya kesepakatan untuk bersatu-padu dalam semangat perjuangan merebut kemerdekaan.
Walaupun tidak persis sama, namun ada raut-raut kemiripan dalam soal fanatisme penggunaannya dengan bahasa Arab, yang merupakan identitas utama kultur Arab. Masyarakat Arab sangat membanggakan bahasanya. Hal ini patut menjadi cermin bagi bangsa kita, dan terutama kalangan sastrawan dan budayawan yang harus berdiri sebagai pelopor utamanya.
Keunggulan bangsa Arab lainnya adalah konsistensi, serta upaya-upaya sistematis dari bangsa-bangsa Arab, yang secara serentak mampu menangkis penetrasi budaya asing yang semakin kuat. Kita masih ingat sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, yang tampil di depan mimbar saat meraih nobel di bidang kesusastraan (1988): “Kemenangan sesungguhnya dari hadiah nobel ini adalah kesanggupan bahasa Arab untuk mengungkap hal-hal mendetil mengenai relung-relung jiwa, yang meliputi pikiran dan perasaan manusia yang terdalam sekalipun.”
Di negeri-negeri Arab, seperti Mesir dan Suriah, pemerintah cukup ketat memberlakukan bahasa Arab, serta mencantumkannya dalam undang-undang, sehingga perusahaan yang karyawannya tidak konsisten berbahasa Arab, akan mendapat sangsi tersendiri, bahkan bisa dikenakan penutupan bagi perusahaan tersebut. Tentu penerapan ini tidaklah mudah, di samping tantangan globalisasi hingga meleburnya para penutur Arab dengan warga lain melalui dunia virtual.
Hal ini ternyata tak mendorong mereka bersikap skeptis dengan bahasa persatuan mereka, tetapi justru semakin memperkuat kesadaran akan pentingnya identitas nasional mereka.
Sanggupkah kita – sebagaimana mereka – berdiri tegak dan lantang mengakui bahwa “saya bangsa Indonesia, dan bangga dengan bahasa persatuan Indonesia”? Meminjam istilah Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia: “Kita ini orang Indonesia, dan sepantasnya menulis sastra dengan dialek-dialek Jakarta sebagai ibukota negara kita!”
Untuk itu, dukungan dan inisiatif paling utama semestinya dari para sastrawan, budayawan hingga kaum intelek dan ilmuwan kita. Pemikiran dan gerakan mereka terinstitusionalisasi dalam banyak kebijakan pemerintah untuk membela bahasa kita, serta termanifestasi dalam lembaga-lembaga bahasa dan kebudayaan kita. Lembaga-lembaga itu harus aktif mengontrol maraknya bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa kita, untuk lebih mendayagunakan dan mempertahankan bahasa persatuan kita.
——— *** ———–