26 C
Sidoarjo
Wednesday, March 12, 2025
spot_img

Mengukur Baik Buruk Kebijakan Publik

Oleh :
Adi Fauzanto
CPNS Analis Hukum KPK

Kebijakan publik -yang dikeluarkan oleh yang berwenang- ibarat pedang bermata dua. Jika baik, akan berdampak -dalam hal ini kepada masyarakat. Jika tidak, akan sangat menyusahkan. Sudah seharusnya, Pemerintah menyiapkan dengan seksama kebijakan publik yang baik itu.

Menengok langsung konteks contoh yang ada, misal pengunduran pengangkatan CPNS tahun angkatan 2024 -yang juga berdampak kepada saya. Ada baiknya hal tersebut, perlu dikaji secara jelas, detail, dan merinci; sebab, bukan hanya 1-2 orang yang terdampak tapi juga kepada seluruh peserta yang sudah lulus, bahkan kepada kementerian atau lembaga -baik lokal maupun pusat- yang sudah siap dengan bekerja.

Secara konsep, seperti apa yang dikatakan Mas’ud Said -dalam kata pengantarnya di Buku Kebijakan Publik: Evaluasi, Reformasi, Formulasi (2018)- umumnya terbagi menjadi tiga: pertama, Formulasi Kebijakan; kedua, Implementasi Kebijakan; ketiga, Evaluasi Kebijakan. Tapi ingat, itu hanya teori, belum tentu terjadi di lapangan, di dalam konteks kasus di atas tidak terlaksana dengan baik, misalnya.

Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi
Mengapa kebijakan tersebut tidak terlaksana dengan baik? jika merujuk kepada poin pertama, formulasi. Sudah seharusnya, direncanakan dengan baik, mulai dari yang paling besar, yaitu: identifikasi masalah. Misal dalam konteks di atas, “apa yang menjadi masalah PNS sebelumnya?”, misal korupsi atau kepastian gaji atau kinerja, maka itu hal tersebut harus dijabarkan hingga detail. Hingga merencakan hal teknis, seperti masalah linimasa pendaftaran hingga kepada pengangkatan. Bukan diubah ditengah jalan, ingat!

Berita Terkait :  DPRD Kota Mojokerto Umumkan Penetapan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Terpilih Periode 2025-2030

Setelah, formulasi, tak kalah pentingnya implementasi atau diterapkannya kebijakan tersebut. Memang perlu pengalaman untuk menjadi eksekutor yang baik, akan tetapi prinsip pertamanya asalkan ada panduan dan tata cara -yang bersumber dari perencaaan- pelaksana kebijakan akan mudah dilakukan.

Yang jadi masalah, ialah ketika salah satu tahapan atau proses tidak terlaksana. Seharusnya itu juga sudah dipikiran dari A-Z ketika perencanaan, pun jika tidak, maka prinsip yang terbaik ialah berusaha demokratis dan deliberatif; yaitu mengusahakan terkumpulnya masukan-masukan yang rasional untuk mengisi kekosongan tahapan atau proses tersebut.

Jika tidak didasarkan atas asas tersebut (demokratis dan deliberatif) alhasil kebijakan yang dihasilkan tidak berdampak sama sekali, terlebih menyusahkan pihak-pihak yang diatur. Dalam konteks kasus di atas, ialah CPNS hingga Kementerian/Lembaga terkait.

Terakhir, evaluasi. Ini juga berkaitan dengan dua asas sebelumnya. Hal tersebut ditunjukan untuk mengukur apakah kebijakan tersebut berdampak atau tidak, apakah kebijakan tersebut menyelesaikan masalah yang sudah diidentifikasi di tahap awal, hingga kepada evaluasi pelaksanaan teknis. Tentu, untuk mengevaluasi itu diperlukan dua asas penting ini: demokratis dan deliberatif.

Kembali lagi pada judul, rumusnya jika persiapannya baik ditambah pengerjaannya baik juga responsif, maka bisa dikatakan baik. Jika dari satu aspek tersebut terlewat atau tidak sesuai target, secara prinsip sudah buruk. Jadi, kembali lagi -juga menjadi penyadaran diri- apakah sudah semua diperhitungkan dan dilaksanakan dengan baik, kebijakan publik kita?

Berita Terkait :  Kemenkes Adakan Kampanye P3LP di Surabaya

Desain Kebijakan yang Baik
Seberapapun buruk dan rusaknya, tetap kita harus berjibaku bersama merumuskan kebijakan publik yang baik untuk kedepannya. Bukan soal saat ini, bukan. Tapi soal bagaimana kita belajar dari masalah saat ini.

Pertama, perlu ada formula pasti untuk menyusun sebuah kebijakan, dalam Undang-Undang atau Peraturan terdapat adanya Naskah Akademik. Baiknya, setiap kebijakan publik -tak harus Undang-Undang atau Peraturan- memerlukan sejenis Naskah Akademik yang menujukan urgensi masalah dan detail-detail yang diatur dalam kebijakan publik tersebut, bahasa lainnya ialah rasionalisasi kebijakan tersebut.

Dalam istilah lainnya, ialah kebijakan berbasis bukti. Secara makna menurut Oxford Course, kebijakan yang dihasilkan dari data riil atau fakta yang terukur yang relevan dengan masalah yang ingin diatasi kebijakan publik tersebut -dan mengenyampingkan segala bias tertentu, termasuk ideologi politik tertentu. Yang kemudian dianalisis untuk diputuskan menjadi sebuah kebijakan.

Selain rasionalisasi kebijakan, lainnya ialah responsifitas. Ketika kebijakan tersebut dilaksanakan dan ada yang terlewat atau tidak terlaksana, berlakukanlah responsif. Artinya, apapun yang terjadi harus merespon masalah atau aduan dari yang terdampak oleh kebijakan tersebut. Responsif diperlukan untuk menunjukan kalau pelaksana bukan ‘malaikat’ yang selalu benar. Diperlukan prosedur pengaduan yang layak, juga prosedur evaluasi secara cepat untuk menghindari dampak kerugian yang lebih besar.

Setelahnya ialah reformatif. Artinya, setiap kebijakan harus mendorong perubahan yang lebih baik dari kebijakan sebelumnya. Dengan kata lain, kebijakan sebelumnya harus terbuka untuk dievaluasi dan dikuliti habis-habisan untuk merencanakan kebijakan selanjutnya. Tentu, kata reformatif dimaknai sebagai nilai sejarah Indonesia ketika zaman reformasi, yang mewajibkan setiap kebijakan haruslah berlandaskan nilai-nilai reformasi: demokratisasi, kebebasan berekspresi, pemerintahan yang baik, keterbukaan, dan anti-korupsi.

Berita Terkait :  ASN Kota Batu Harus jadi Garda Terdepan Anti Korupsi

Takaran untuk Kebijakan Publik
Membuat kebijakan publik yang baik bukan tidak mudah, dengan segala keterbatasan birokrasi di lapangan, misalnya. Akan tetapi bukan tidak mungkin, untuk tetap berjalan sesuai jalur kaidah keilmuan -salah satunya penjelasan komprehensif sebelumnya. Pembuat kebijakan, jangan hanya berorientasi pendek, ia harus mampu melihat secara horizontal dan futuristik. Salah satunya dengan memahami kaidah-kaidah yang ada.

Semoga kebijakan berganti-ganti di tengah proses, tidak ada lagi. Terlebih menghasilkan kebijakan yang rasional dan layak -ditambah tidak merugikan banyak pihak. Tentu, pembuat kebijakan tidak bisa memuaskan setiap orang, tapi setidaknya tidak menyusahkan banyak orang.

———— *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru