Menghadapi Suasana Global yang “Tidak Baik-baik Saja”
Oleh:
H Chusni Mubarok
Wakil Ketua Komisi B (Perekonomian) DPRD Jawa Timur
“Dia (Yusuf) berkata,”Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan ditangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan. (AlQuran, Surat Yusuf ayat ke-47 dan 48)
Fatwa (nasehat) Nabi Yusuf a.s., merupakan jawaban pertanyaan Raja Kiftir (penguasa Mesir), tercantum dalam AlQuran Surat Yusuf ayat ke-43. Berkisah tentang takwil mimpi, “melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus; tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering.” Jawaban Nabi Yusuf a.s. (cicit Nabi Ibrahim a.s.), yang disampaikan sekitar 3700 tahun (37 abad) silam, merupakan peletak dasar konsep Lumbung Pangan
Perkembangan politik Timur Tengah, dan Eropa (Eurasia), semakin menunjukkan “suhu mendidih.” Seluruh dunia bisa terancam kelangkaan pangan. Sekaligus kelangkaan energi. Perang Eurasia, antara Rusia dengan Ukraina, tergolong kambuhan. Sudah dimulai sejak tahun 2014. Menyebabkan distribusi pangan global, sangat terganggu. Impor bahan utama pupuk Indonesia, berasal dari kawasan Eurasia. Realita pupuk global (seluruh dunia) masih mengandalkan sokongan dari gabungan, Rusia, Belarusia, dan Ukraina.
Terutama pupuk jenis kalium, lebih dari 40% disuplai dari Rusia, dan Belarusia. Kalium, merupakan salahsatu dari tiga nutrisi penting, selain unsur N (Natrium), dan unsur P (Fosfor). Petani Indonesia sangat akrab dengan pupuk senyawa NPK, yang digunakan untuk meningkatkan hasil panen. Selain itu, menurut data Rabobank, Rusia menyokong sekitar 22% dari ekspor global Amonia. Berdasar data BPS (Badan Pusat Statistik), Indonesia memiliki “jatah” impor pupuk ke Rusia, sebanyak 743 ribu ton.
Pangan menjadi prioritas Presiden Prabowo Subianto. Bahkan berani bertekad (dan yakin) bisa swasembada pangan pada tahun 2028. Sebenarnya tidak muluk-muluk. Karena terdapat banyak bahan pangan setara beras (bisa dijadikan beras). Misalnya, porang, bisa menjadi beras yang harganya lebih mahal. Bahkan di Jawa Timur mulai kondang “beras analog.” Ternyata beras dari bahan kacang-kacangan, diteliti memiliki tingkat IG (Index Glikemik) rendah. Sangat disukai kalangan menengah, karena tidak meningkatkan kadar gula darah.
Walau saat ini masih perlu mengendalikan ketersediaan pangan, terutama beras. Realianya, selama tahun 2023 – 2024, pemerintah gagal menjinakkan harga beras. Walau sudah didatangkan beras impor, tetapi harga beras sudah jauh melampaui HET, sampai 23%. Kemahalan harga beras terjadi di 280 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Beras memimpin laju inflasi!
Stabilitas Harga Pangan
Serasa “percaya tak percaya,” Presiden Prabowo Subianto, bertekad menghentikan impor beras. Walau bukan tekad yang muluk-muluk, tetapi tahun 2024, menjadi catatan impor beras yang semakin deras! Pemerintah menambah kuota impor, sampai 5 juta ton. Pagu impor terasa makin deras, karena kebutuhan meningkat, yang tidak disertai peningkatan produksi. Bahkan pada sentra produksi padi (seantero Jawa) terjadi tren penurunan fungsi lahan pertanian.
Banyak lahan ber-alih fungsi. Berubah menjadi kawasan industri, dan ditumbuhi rumah. Niscaya mempersempit luas areal tanaman pangan. Padahal luas lahan menjadi agregat utama perkiraan produksi padi. Ironisnya, sejak tahun 2022, Menteri Pertanian selalu menyatakan surplus beras sampai 2 juta. Karena pelaporan panen padi selalu dicatat surplus, berdasar luas areal. Namun realitanya, “keran” impor beras tetap dibuka.
Hasil panen tahun 2024 dicatat mencapai 28,39 juta ton. Berdasar laporan kinerja Pangan, keberadaan beras total sebanyak 30 juta ton, termasuk beras cadangan pemerintah (BCP) yang disimpan di gudang Bulog. Seharusnya surplus. Tetapi realitanya, pemerintah masih mengimpor sebanyak 3,6 juta ton (tahun 2024). Masih ditambah lagi menjadi 5 juta ton. Sekaligus menjadi angka tertinggi impor beras selama lima tahun.
Bisa jadi, niat pemerintah impor beras untuk “menstabilkan” harga bahan pangan pokok. Sejak lepas Idul Fitri tahun 2023, harga beras terus merangkak naik, selalu di atas HET (Harga Eceran Tertinggi). Pemerintah telah melakukan berbagai Upaya, termasuk menggelontor beras di pasar. Antara melalui penjualan beras mursah oleh Toko Tani. Pemerintah Daerah juga menyelenggarakan operasi pasar. Namun harus diakui, pemerintah “takluk.”
Tiada jalan lain, kecuali menaikkan HET beras medium menjadi Rp 12.500,- per-kilogram. Serta Rp 14.900,- untuk beras premium, berlaku sejak 1 Juni 2024. Kono, berdasar perhitungan input ongkos produksi ke-pertanian (beras) sudah cukup tinggi. Antara lain harga pupuk, sewa lahan, dan ongkos kerja (karena buruh tani semakin langka). Tetapi cara paling ampuh mengendalikan kenaikan harga beras, adalah impor. Tetapi juga harus mempertimbangkan keseimbangan pendapatan petani.
Selama ini kenaikan HET beras, terasa tidak adil. Karena petani nyaris tidak turut menikmati. Maka sebelum menaikkan HET, pemerintah terlebih dahulu menaikkan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) gabah kering panen (GKP) di tingkat petani. Naik menjadi Rp6.000 per-kilogram. Selanjutnya, gabah kering giling (GKG) di gudang Perum Bulog yang sebelumnya Rp6.300 per kg naik menjadi Rp7.400 per-kilogram. Pada bulan yang sama (Juni 2023), indek diterima petani naik. Berujung kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP).
Modernisasi Alsintan
Sekitar 98,35% masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebanyak 6,81 kilogram per-orang per-bulan. Tetapi konon, hasil panen masih mencukupi. Konsumsi beras nasional selama setahun, diperkirakan mencapai 28,39 juta ton. Tidak mudah. Tetapi Pemerintah memiliki mandatory UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Pada pasal 13, dinyatakan, “Pemerintah berkewajiban mengelola stabilitas pasokan dan harga Pangan Pokok, … untuk mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.”
Terdapat frasa kata stabilisasi pasokan dan harga pangan. Artinya, sektor pangan wajib diselenggarakan terkontrol sistemik. Termasuk potensi pengembangan produksi, yang tercantum dalam pasal 16. Maka Pemerintah berkewajiban meningkatkan produktifitas panen, melalui modernisasi alat dan mesin pertanian (Alsintan). Selain hand-tracktor, juga dibutuhkan Combine Harvester, mesin yang berfungsi, memanen, membersihkan, dan menggiling tanaman sejenis padi, gandum, dan jagung.
Juga dibutuhkan cultivator (penggembur tanah, berfungsi membajak sawah), dan rice transplanter, sejenis mesin penanam padi yang digunakan pada areal tanah sawah kondisi siap tanam. Serta mesin pengering padi, dan sumur pompa untuk menjamin ketersediaan air setiap saat. Modernisasi alat pertanian bisa menyelamatkan faktor kehilangan sampai 20% hasil panen, sekaligus mengurangi biaya produksi ke-pertani-an. Dengan jaminan alsintan, petani menanam dua kali (padi), dan dua kali palawija. Sehingga hasil usaha ke-pertani-an lebih meningkat.
Problemnya, alsintan tidak murah. Sehingga diperlukan prosedur kepemilikan alsintan modern. Misalnya bisa diperoleh melalui KUR kelompok tani (Poktan), dan BUM-Des (Badan Usaha Milik Desa). Serta usaha swasta di pedesaan. Pemasalan alsintan bisa dilakukan dengan sistem “taksi.” Artinya, bisa disewakan keliling ke petak-petak ladang petani. Seperti taksi. Harga sewa biasanya berkisar 8% hingga 10% total hasil panen. Masih di bawah nilai faktor kehilangan saat panen yang bisa mencapai 23%. Dengan alsintan modern hasil panen lebih banyak.
Ke-pertani-an akan menjadi usaha yang diminati, manakala menggunakan teknologi. Karena pada masa kini sektor tanaman bukan hanya untuk kepentingan pangan (food), melainkan juga feed (pakan ternak), serta sekaligus memenuhi kebutuhan energi sebagai bahan bakar (fuel). Modernisasi alsintan juga akan menarik minat generasi milenial (gen-Z). Akan banyak generasi muda bercita-cita menjadi petani sukses, dan sukses berkebun.
Bahkan areal di ladang, akan menjadi arena berbagi kerja pada saat bonus demografi di Indonesia yang sedang berjalan. Presiden mengajak agar bangsa Indonesia sukses memanfaatkan bonus demografi untuk mencapai Indonesia Emas 2045.
——— *** ———