26 C
Sidoarjo
Thursday, November 21, 2024
spot_img

Karut-Marut Industri Susu Sapi Perah

Oleh :
Prof Dr Sutawi
Kepala LPPM dan Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Salah satu program andalan Presiden Prabowo Subianto adalah pemberian susu gratis untuk anak sekolah dan pesantren. Program ini akan menjangkau sekitar 82,9 juta anak yang harus diberi susu sapi segar 500 cc per anak per hari. Program susu gratis akan mulai diterapkan pada Januari 2025 secara bertahap kepada sekitar 20% (16,58 juta) siswa. Jika program ini dilaksanakan selama 200 hari dalam setahun, maka dibutuhkan 1,658 juta ton susu per tahun. Besaran anggaran untuk program susu gratis tahun 2025 diperkirakan mencapai Rp14 triliun atau 20% dari anggaran Makan Gratis Bergizi (MGB) sebesar Rp71 triliun. Jika dalam skala penuh menjangkau 100% siswa, maka program susu gratis membutuhkan sebanyak 8,290 juta ton susu pada tahun 2029.

Program susu gratis seharusnya menjadi kabar gembira bagi peternak sapi perah. Ironisnya, peternak sapi perah di Jawa Timur dan Jawa Tengah justru membuang produksi susu, bahkan menggunakannya untuk mandi sebagai bentuk protes terhadap pemerintah dan Industri Pengolahan Susu (IPS) yang dianggap kurang peduli terhadap nasib peternak sapi perah. Di Pasuruan sebanyak 500 ribu liter (500 ton) susu dibuang pengepul susu sejak akhir September hingga awal November 2024. Hal serupa terjadi di Boyolali, Jawa Tengah, di mana para pengepul dan peternak susu sapi menggelar protes dengan cara menggunakan susu untuk mandi di depan kantor pemerintah daerah. Selain itu, sebanyak 50.000 liter (50 ton) susu dibuang oleh para peternak di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Winong, Kabupaten Boyolali.

Ada sejumlah permasalahan menahun dalam industri susu sapi perah Indonesia. Pertama, konsumsi susu penduduk Indonesia rendah. Minum susu bukan tradisi penduduk Indonesia, seperti minum kopi, teh, dan jamu yang telah turun-temurun karena ketersediaan hasil perkebunan dan rempah-rempah yang melimpah. Angka partisipasi konsumsi susu penduduk Indonesia hanya sebesar 45,12%, artinya hanya 45,12% penduduk Indonesia yang mengkonsumsi susu. Konsumsi susu baru mencapai 16,27 kg/kapita/tahun. Konsumsi susu sebagian besar berupa susu bubuk (59%), susu kental manis (21%), dan susu cair (20%). Compass Research (2015) mencatat konsumsi susu segar Indonesia hanya 3,36 liter/kapita/tahun setara 10 tetes/kapita/hari.

Berita Terkait :  Memahami Perang Merek antarUMKM

Kedua, peternakan sapi perah hanya berkembang di Jawa. BPS (2023) mencatat populasi sapi perah di Indonesia hanya sebanyak 592.897 ekor. Sebaran polusi terbanyak ada di Jawa sebanyak 98,19%, di mana 51,79% berada di Jawa Timur, 24,99% di Jawa Tengah, dan 20,78% di Jawa Barat. Populasi sebanyak itu menghasilkan produksi susu 926.348 ton per tahun. Produksi susu segar dalam negeri (SSDN) ini hanya mampu berkontribusi sebesar 22% kebutuhan susu nasional sebesar 4,4 juta ton, sedangkan 78% sisanya harus diimpor dalam bentuk skim milk powder, whole milk powder, anhydrous milk fat, dan butter milk powder dari berbagai negara seperti Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan program susu gratis sebanyak 1,658 juta ton sampai 8,290 juta ton susu pada tahun 2025-2029 jelas tidak mungkin dipenuhi dari produksi dalam negeri, alias akan melipatgandakan volume susu impor.

Ketiga, sekitar 90% peternakan sapi perah merupakan merupakan peternak rakyat skala mikro dan kecil. Skala pemilikan peternak sapi perah belum ekonomis yaitu hanya 3-4 ekor/RTP (rumah tangga peternak), sedangkan idealnya 7-10 ekor sapi laktasi/RTP. Produktivitas sapi perah 10 liter/ekor/hari, idealnya minimal 15 liter/ekor/hari. Rendahnya rata-rata produktivitas sapi perah dikarenakan modal kerja peternak kecil, kurangnya pasokan pakan yang bernutrisi, lahan hijauan pakan ternak terbatas, mahalnya harga obat-obatan hewan, dan masih banyak dijumpai gangguan kesehatan hewan terutama masalah gangguan reproduksi pada sapi perah. Produktivitas sapi perah di Indonesia sangat jauh di bawah produktivitas sapi perah di Selandia Baru dan Eropa yang mencapai 25-40 liter/ekor/hari.

Berita Terkait :  Alat Mitigasi Bencana

Keempat, pasar susu sapi bersifat monopsoni (hanya ada satu pembeli). Peternak sapi perah hanya bisa menjual produksi susu sapi ke KUD (Koperasi Unit Desa) atau pengepul susu, yang diselanjutnya dijual ke IPS. Dengan struktur pasar monopsoni, peternak, KUD dan pengepul susu memiliki posisi tawar yang lemah terhadap IPS, terutama dalam menentukan jumlah penjualan, waktu penjualan, dan harga susu. Susu dari peternak dibeli KUD atau pengempul susu dengan harga tertentu sesuai kualitas (grade) susu, tergantung berat jenis, kadar lemak, total solid, dan jumlah bakteri (TPC, total plate count). Harga susu di tingkat peternak antara Rp7000-7800 per liter dan di tingkat IPS harga susu Rp8000-9000 per liter. Dengan harga tersebut peternak memperoleh keuntungan antara Rp1000-1500 per liter.

Kelima, kualitas susu sapi lokal kurang terjamin. Dalam beberapa kasus IPS terpaksa menolak susu peternak karena kualitas susu rendah. Selain karena manajemen pemeliharaan dan penanganan susu pasca pemerahan, rendahnya kualitas susu juga diakibatkan oleh kecurangan peternak maupun pengepul susu. Ada istilah “bengkel susu” untuk merekayasa susu kualitas rendah agar menjadi terdeteksi susu kualitas baik. IPS menolak susu yang telah rusak maupun susu yang tidak memenuhi standar kualitas akibat pemalsuan (adulteration), kandungan antibiotik, atau upaya-upaya mencampurkan bahan-bahan seperti hidrogen peroksida, tepung, dan sebagainya. Bagi IPS persoalan standar kualitas susu sangat sensitif dan menjadi prioritas karena menyangkut keberlanjutan perusahaan, keamanan pangan dan keselamatan konsumen.

Berita Terkait :  Dorong Upaya Pengentasan Kemiskinan Melalui Pendidikan

Keenam, tidak ada kewajiban penyerapan SSDN bagi IPS. Pada tahun 1982 pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan yang memuat ketentuan bahwa izin impor bahan baku susu diberikan kepada IPS apabila ada tanda bukti penyerapan SSDN yang dikenal dengan mekanisme BUSEP (Bukti Serap). Penerapan kebijakan tersebut berdampak pada peningkatan rasio penyerapan SSDN naik menjadi 1:3,5 (19% serapan SSDN) dari perbandingan 1:20 (5% serapan SSDN) tahun 1979. Kebijakan ini terpaksa dicabut ketika terjadi krisis moneter sejak ditandatangani kesepakatan antara Pemerintah RI dengan IMF pada Januari 1998 tentang penghapusan kebijakan nontarif. Sejak saat itu sampai saat ini, industri sapi perah dalam negeri harus bersaing bebas dengan industri susu sapi perah impor yang berkualitas lebih baik. Harga susu impor bisa lebih murah atau lebih mahal daripada susu lokal tergantung penawaran dan permintaan komoditas susu pada perdagangan internasional.

Ketujuh, pemerintah kurang serius mengembangkan industri sapi perah di Tanah Air. Rencana pengembangan industri sapi perah tertulis pada “Road Map Industri Susu 2010-2025” yang dikeluarkan Departemen Perindustrian (2009) dan “Cetak Biru Persusuan Indonesia 2013-2025” yang diluncurkan pada 26 Februari 2014 oleh Kemenko Perekonomian. Pada kedua dokumen tersebut disebutkan bahwa sasaran jangka panjang industri persusuan Indonesia adalah meningkatkan pasokan SSDN menjadi 50-60% pada tahun 2025. Sayangnya hingga kini sangat sedikit program aksi yang diimplementasikan sehingga hasilnya masih jauh di bawah target yang ditetapkan. ***

———— *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img