Simbol Kelas dan Kritik Sosial
Oleh :
Tegard Herman
adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya.
Di tengah hiruk-pikuk ibukota Korea Selatan, Seoul, “Parasite” karya Bong Joon-ho muncul sebagai cerminan tajam atas kesenjangan sosial yang menyusup dalam kehidupan masyarakat modern. Lebih dari sekadar drama thriller, film ini membawa pesan yang mendalam, menyoroti bagaimana perbedaan kelas membentuk cara pandang yang sangat berbeda antara mereka yang berada di bawah dan yang hidup dalam kemewahan. Menggunakan teori standpoint, film ini menunjukkan bagaimana latar belakang sosial seseorang menentukan cara mereka memandang dan memahami dunia.
Keluarga Kim dan Sudut Pandang Kelas Bawah
Film ini berfokus pada keluarga Kim – Ki-taek, Chung-sook, Ki-woo, dan Ki-jung – yang hidup dalam kemiskinan di sebuah apartemen sempit di distrik kumuh Seoul. Kehidupan mereka adalah gambaran nyata dari perjuangan kelas bawah untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Dalam teori standpoint, pengalaman mereka dibentuk oleh posisi mereka dalam hierarki sosial. Terbiasa dengan hidup yang keras, keluarga Kim memiliki kecerdikan untuk bertahan, namun juga menyimpan rasa frustrasi terhadap kehidupan yang mereka pandang penuh ketidakadilan.
Di sisi lain, keluarga Park hidup dalam kenyamanan dan stabilitas finansial di sebuah rumah besar dengan taman luas. Mereka menjalani hidup yang tenang, bebas dari kekhawatiran tentang masa depan. Bagi keluarga Park, segala kebutuhan sudah tersedia, dan kenyamanan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Kontras dengan keluarga Kim, impian untuk hidup serupa bagi mereka nyaris mustahil.
Ketegangan Antar-Kelas yang Terusik
Hubungan antara keluarga Kim dan keluarga Park mencerminkan ketegangan yang sering tersembunyi namun tetap terasa. Keluarga Kim bekerja sebagai tenaga bantuan di rumah keluarga Park – Ki-woo sebagai guru privat, Ki-jung sebagai terapis seni, dan Ki-taek sebagai sopir keluarga. Meski begitu, keluarga Park tidak sepenuhnya melihat mereka sebagai individu setara. Dalam satu adegan, Tuan Park mengomentari bau tubuh Ki-taek sebagai “bau subway,” yang menyiratkan ketidaksukaan dan jarak terhadap orang kelas bawah.
Komentar tersebut menunjukkan ketidakmampuan keluarga Park untuk memahami kerasnya hidup yang dihadapi keluarga Kim. Teori standpoint menjelaskan bahwa posisi keluarga Park yang berada di atas menghalangi mereka untuk berempati dengan realitas kelas bawah. Sebaliknya, keluarga Kim mampu memahami dunia keluarga Park karena hidup mereka menuntut mereka untuk mengamati, beradaptasi, dan memahami dunia orang-orang yang lebih beruntung.
Simbol Taman dan Basement
Rumah keluarga Park dengan taman luasnya menjadi simbol kenyamanan dan kemewahan yang hanya bisa dinikmati kelas atas. Sebaliknya, apartemen basement keluarga Kim yang sempit dan minim cahaya melambangkan ketidakberdayaan mereka, terkurung dalam kemiskinan yang sulit diatasi. Dua latar ini bukan sekadar penataan ruang, tetapi menjadi simbol dari perbedaan status sosial yang mencolok.
Puncak Konflik Akibat Frustrasi Kelas
Puncak konflik muncul ketika Ki-taek melihat sikap dingin Tuan Park terhadap seorang ajudan yang terluka. Ketidakpedulian ini memicu kemarahan Ki-taek yang akhirnya memuncak menjadi tindakan kekerasan. Ini bukan sekadar ledakan emosi, tetapi bentuk frustrasi yang telah lama terpendam akibat penindasan dan ketidakadilan yang ia rasakan sepanjang hidup. Dalam perspektif teori standpoint, tindakan Ki-taek mencerminkan ketegangan yang selama ini tersembunyi antara kelas atas dan kelas bawah.
Kritik Tajam terhadap Kesenjangan Sosial
Melalui “Parasite,” Bong Joon-ho tidak hanya menyajikan kisah dua keluarga dengan dunia berbeda, tetapi juga kritik sosial yang menggugah. Film ini mengingatkan bahwa posisi sosial-ekonomi seseorang sangat memengaruhi cara mereka melihat dan mengalami dunia. Keluarga Kim, dengan perjuangan dan kecerdikan mereka, menjadi simbol dari perjuangan kelas bawah yang terus mencari jalan di tengah ketimpangan yang mengakar.
“Parasite” bukan hanya sebuah film, tetapi juga sebuah penggambaran tajam tentang kenyataan hidup banyak orang. Bong Joon-ho mengajak penonton untuk merenungkan kesenjangan sosial yang ada, dan bagaimana hal ini memengaruhi cara pandang setiap individu dalam masyarakat.
————- *** ————–