32 C
Sidoarjo
Wednesday, March 19, 2025
spot_img

Nabi Adam dan Ketamakan

Oleh :
Akhmad Faishal
Pengelola perpustakaan SMAN 15 Surabaya

Selalu saja ada keinginan lebih yang harus dipenuhi. Begitulah salah satu sifat manusia. Tamak. Kita mengenalnya dengan keserakahan.

Suatu kali, almarhum Nurcholish Madjid menyampaikan perihal itu. Kalau, dosa pertama yang dilakukan oleh manusia, yakni tamak. Ia mendasari perkataannya dengan mengutip salah satu ayat suci Al-Qur’an : Al-Baqarah ayat 35. Ayat tersebut menjelaskan, kalau nabi Adam dan istrinya, Hawa, diperbolehkan tinggal di surga dengan sebebas-bebasnya se-suka-sukanya. Namun, di tengah kemewahan itu, ada satu larangan yang ditetapkan oleh Tuhan. Hanya satu, toh, tetap dilanggar juga mengingat begitu banyak hal yang didapatkannya

Pada kasus yang sama, meski beda tempat dan waktu. Ribuan tahun kemudian, sifat tamak nampaknya tidak mampu benar-benar hilang dari muka bumi. Manusia seakan tidak mampu berbuat apa-apa dihadapan kemewahan dunia, seakan kehilangan kontrol atas dirinya. Dan itulah yang membuat manusia, meski sejarah telah memberikan pelajaran seperti itu, tetap saja tidak mampu mencerna pesan-Nya. Bahwa ketamakan dapat menjerumuskan ke hal-hal yang tidak mengenakkan. Berujung pada kepahitan.

Tamak atau keserakahan mendorong terjadi korupsi. Berdasarkan UU no. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, definisinya begitu jelas, yakni memperkaya diri sendiri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Itu pasal 2 di UU yang sama. Artinya, keserakahan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu mengakibatkan dampak buruk bagi seluruh rakyat Indonesia. Padahal, dengan pendapatan atau gaji yang diterima, mustahil untuk melakukan korupsi.

Namun, mustahil juga untuk percaya, kalau ada pihak-pihak yang hendak menjauhi korupsi. Justru mereka, yang berkata tidak, malah yang melakukannya. Kasus partai Demokrat pada masa Angelina Sondakh membuktikannya.

Berita Terkait :  Gelar Program Kondusip, Polres Mojokerto Kota Edukasi SMPN 7 Bahaya Narkoba

Barangkali, sudah sifat manusia pada umumnya yang memang sulit menerima kekurangan atau lemah dalam rayuan dengan tidak mampu mengatakan “tidak” atau tidak kuasa menolak di depan kemewahan. Persis sebagaimana yang dituturkan oleh alm. Nurcholish, kalau manusia diberikan satu gunung penuh emas, maka ia akan meminta dua gunung. Besaran gaji mestinya bukan bertujuan untuk menghindari perilaku korup mengingat banyak direktur atau pejabat tinggi berkerah putih yang tertangkap. Padahal gaji mereka diatas rata-rata pendapatan rakyat Indonesia. Tidak ada jaminan apapun!

Hal itu membuat kenyataan akan hidup menjadi miris dan menyedihkan. Gaji kecil korupsi. Gaji besar juga korupsi. Tidak ada lagi yang mampu mengemban amanah. Tidak ada lagi yang mampu dapat dipercaya untuk mengelola negara. Ketamakan telah menjangkiti setiap individu di negara ini. Mereka yang pada mulanya terlihat bersih, ternyata memiliki pribadi yang kotor, karena melakukan korupsi.

Lantas bagaimana sebaiknya? Solusi seperti apa agar tidak terjadi hal yang serupa dikemudian hari?

Sejauh yang dipahami, korupsi yang sekarang terjadi telah melampaui korupsi-korupsi yang pernah terjadi pada masa lalu. Dari sekedar buah apel-pada masa Adam-hingga kini berjumlah ratusan milyar dan triliun. Lihatlah bagaimana korupsi yang terjadi pada masa Soeharto hingga masa Joko Widodo sudah berapa banyak dana yang dikeruk secara ilegal. Sudah berapa banyak tokoh atau pelaku yang ditangkap karenanya. Semua itu membikin kita mengelus dada.

Lihatlah bagaimana korupsi terjadi pada sesuatu yang kita anggap penting, yakni bantuan sosial Covid-19, kasus pertalite-pertamax, Minyak Kita dan lain sebagainya.

Berita Terkait :  Lewat STP, Upaya ITS Perkuat Hilirisasi Produk Riset

Mungkin, Tuhan pun akan geleng-geleng melihat kelakuan umat-Nya yang ada di Indonesia ini. Dan nampaknya perilaku korup yang terus terjadi ini, karena Tuhan telah menghilang dari Indonesia. Lalu, menyerahkan segala sesuatunya pada kita sendiri. Bertindak atau menanti ambruknya republik kita tercinta.

Ada sisa-sisa pelajaran dari kehidupan Adam dan Hawa tentang bagaimana kalau sudah terjadi atau melakukan ketamakan. Pengusiran Adam dari surga dapat menjadi inspirasi. Ternyata, Tuhan memberikan petunjuk. Apakah Tuhan menghukum mati Adam dan Hawa setelah keduanya memakan buah terlarang itu? Tidak! Dia justru mengeluarkan keduanya dari kenikmatan yang selama ini mereka rasakan. Dia meletakkan mereka ke bumi. Memisahkan mereka sebelum mempertemukan. Dari kehidupan yang mewah ke kehidupan yang sederhana. UU perampasan aset seharusnya mampu menjadi jalan keluar.

Kemiskinan merupakan kehidupan yang ingin dihindari oleh koruptor. Kesederhanaan merupakan hal yang ingin dijauhi. Memisahkan mereka dari kehidupan mewahnya dapat menjadi pelajaran yang berarti. Pengasingan. Dan, menjauhkan komunikasi, baik dari lingkaran orang terdekat atau keluarga mereka.

Bayangkan, ketakutan mereka akibat tidak mampu berkomunikasi dengan orang terdekat. Kesunyian menjadi sesuatu yang sangat melekat dalam benak mereka. Terasing dari dunia luar. 15 tahun tanpa komunikasi dengan siapapun pasti sangat berat dialami oleh siapapun. Ini jauh lebih baik daripada sekedar hukuman mati.

Dan hukuman mati, seperti penggal kepala, tembak dan kursi listrik hanya sebagai akomodasi keinginan rakyat atas apa yang telah diperbuat oleh koruptor. Kita memang jengkel kepada mereka. Kita memang geram terhadap apa yang dilakukan oleh mereka. Namun, kita juga ingin mereka merasakan kehidupan tergencet, tidak mampu mengakses bahkan pada tingkat skala kecil sekalipun. Lihatlah bagaimana Adam dan Hawa setelah terusir dari surga dan hidup di bumi. Sembari menjalani pengasingan itu, ia mengevaluasi, mengapa dapat terjebak dan tertipu oleh bujuk rayu setan. Mengapa harus memenuhi ketamakannya?

Berita Terkait :  Lumbung Sosial, Skenario Risma - Gus Hans untuk Warga di Daerah Rawan Bencana Sekitar Semeru

Sejarah Adam dan Ketamakan merupakan pelajaran penting. Bahwa ada batas dari setiap tindak-tanduk perilaku kita di masyarakat. Sekali melewati batas, secerdik apapun cara untuk menghindari hukuman, pasti tetap akan kena batunya. Namun, sekalipun begitu, ada saja pihak-pihak yang akan melakukan keburukan itu. Seperti pengulangan yang tidak pernah ada habisnya.

Dosa-dosa yang dilakukan sejak zaman dimana waktu belum ditetapkan, akan terulang kembali. Jauh lebih modern caranya. Jauh lebih besar korupsinya.

Selama tidak adanya penanganan yang serius dan berlindung dibalik sila kedua, perilaku korup akan terus berulang. Dan bagi masyarakat, kehidupan semacam itu yang dipertontonkan akan menjadi hal yang biasa. Muak rasanya sebagai rakyat yang kehidupan terbatas dan sederhana harus menyokong pribadi-pribadi yang mempermainkan kepercayaan.

Kesejahteraan sebagai tujuan bernegara ternyata hanya dinikmati oleh golongan tertentu. Negara Republik Indonesia layaknya sebuah perusahaan yang dimiliki oleh segelintir orang. Tergantung pemilihan direkturnya.

Hendak menguntungkan siapa? Memang kepentingan dan kebutuhan selalu ada. Dan selalu saja ada orang yang tidak mampu mengendalikan diri. Tamak. Warisan dosa Adam yang tidak pernah mati.*

————– *** ——————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru