30.4 C
Sidoarjo
Wednesday, July 16, 2025
spot_img

Siapa Mau Jam Sekolah Maju?

Oleh :
Mukhlis Mustofa
Dosen FKIP Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar ( PGSD ) Universitas Slamet Riyadi Surakarta

Medio 1998 Roem topatimasang menuliskan buku “Sekolah Itu Candu” sedemikian menggelitik nalar penyelenggaraan Pendidikan dalam bingkai sekolah. konteks kekiniannya buku tersebut sedemikian monumental menyikapi bagaimana penyelenggaraan sekolah. Buku berisi hakikat peserta didik terbius dengan sekolah sehingga melupakan fenomena sosial disekelilingnya perlahan-lahan mulai menuai realisasinya dengan beragam pola dan pada akhirnya penguasa setempat merasa memerlukan aktualiasi penyelenggaran Pendidikan seakan kecanduan akut. Kondisi ini sedemikian ironis manakala perkembamgan Pendidikan digulirkan untuk lebih humanis menjadi antiteori jika sebatas mengatur kapan dimulainya sekolah Candu sekolah ini menarik semua elemen dinegeri ini memposisikan sekolah idaman menurut mereka.

Rencana Kebijakan Gubernur Jawa barat memajukan jam sekolah menjadi pukul 06.00 WIB seperti terlansir di Media Indonesia 3 Juni 2025 menegaskan betapa perspektif penyelenggaraan sekolah ini menjadi sedemikian penting dengan parameter mengawali jam sekolah. Kebijakan inipun sontak menyentuh nalar netizen untuk menggoda pemimpin daerah lain untuk mengikutinya walaupun disikapi dengan beragam kekhawatiran penyerta. Konteks kekinian menyikapi bagaimana pembelajaran tatap muka telah menyeret sedemikian utama dalam penyelenggaraan pendidikan kita. Galibnya Pembelajaran Tatap muka menjadi sedemikian dirindukan dari segenap aspek terkait pendidikan tersebut, baik dari sisi Guru, Siswa berikut orang tuanya namun berkebalikan menjadi peristiwa menegangkan . Gambaran keunggulan pembelajaran tatap muka seakan menunjukkan betapa sekolah telah menyihir segenap elemen publik. Carut marut dimulainya sekolah pasca masa pendemi Covid-19 saat menjadi wacana menarik di negeri dalam beragam ranah.

Khalayak negeri ini nampaknya sedemikian akut sudah terjangkiti candu sekolah ini sehingga seluruh hakikat kualitas pendidikan berpusat pada sekolah. Merujuk definisi sekolah dalam pembukaan buku tersebut dinyatakan sekolah berasal dari etimologis yunani Skhole,Scola, Scolae atau Schola secara harafiah waktu luang atau waktu senggang terjemah waktu senggang untuk belajar. Konteksnya pada masa pasca pendemi ini sekolah selayaknya tidak sekedar hadir secara formal namun hadir dalam segala tindakan keseharian. Linieritas kehidupan ini nampaknya sejalan dengan jargon pendidikan yang diungkapkan mas menteri pendidikan dan kebudayaan bahwa pada masa kini adalah masa merdeka belajar.

Berita Terkait :  Hasil Pemeriksaan Internal Terbukti Asusila dan KdRT, Karyawan PT Petrokimia Gresik Dipecat

Publik masih ternganga dengan penyelenggaraan sekolah selama ini dengan sederet formalitas dan mematikan kebebasan belajar sehingga manakala pendemi muncul permasalahan formalitas dibandingkan esensi sekolah. Pesona luar biasa sekolah tersebut sangatlah rapuh dan terasa sekali pada masa pendemi ini sehingga pada akhirnya khalayak serba kalang kabut menghadapi konteks kekinian. Hakikat pendidikan utama selayaknya diperankan orang tua dengan sepenuh hati mengajarkan dan menanamkan pengetahuan bagi sang buah hati. Namun hakikat suci terbantahkan dengan mekanisme pasrah bongkokan sehingga orang tua merasa “terpenjara” dengan penyikapaan kebijakan pendidikan di masa pendemi ini. Membanjirnya Status kewalahan hingga konflik dengan sang buah hati akibat tugas sekolah lebih mewarnai media sosial di masa pendemi ini dibandingkan peningkatan kehangatan keluarga merupakan bukti sahihnya.

Konteks sosiologis yang harus dikonstruksikan sebenarnya teramat jelas, Sekolah sebagai salah satu entitas budaya masyarakat selayaknya menjadi stimulus budaya kekinian bukan penggiringan opini kebenaran absolut. Perspektif cerdasnya sekolah bukanlah segala-galanya menentukan karakter bangsa. Persepsi inilah yang selayaknya harus diluruskan semua pihak sehinga kesetaraan peran meneuka dibandingkan membawa diskursus pendidikan tak berkesudahan. Aksesibilitas layanan pendidikan merupakan hak asasi setiap warganegara, kebebasan pemilihan layanan pendidikan tersebut selama ini terpenuhi dengan penyelenggraan beragam model. Beragamnya pola sekolah tersebut seakan terpetakan khusus sesuai dengan kadar kemampuan peserta didik bersangkutan.

Mainstream pendidikan
Terbiusnya candu sekolah diawali dengan bagaimanakah persepsi layanan pendidikan selama ini. Mainstream pendidikan hingga saat ini masih simpang siur dan pola yang berlaku bersifat sedemikian bias. Parahnya konstruksi Publik selama ini berada di zona nyaman manakala menyikapi pendidikan terutama penyelenggaraan sekolah. Idiom yang muncul jika anak berhasil dalam pendidikan siap dulu dong orangtuanya namun manakala sang anak bermasalah dalam pendidikan siapa sih gurunya, bersekolah dimana sang anak ?. Kontrol sosial pada sekolahpun lebih pada mekanisme balas dendam penyelenggraan. Beragam kasus menjelang pendemi menunjukkan betapa sekolah menjadi sansak empuk manakala sebuah kasus mengemuka.

Berita Terkait :  Sepulang Retret di Akmil, Bupati Muhammad Fawait Ajak Tiga Mantan Bupati Bersatu Bangun Jember

Saya tidak mengajak dan memihak satu atau dua pendapat tersebut ataupun menstigmakan kondisi pendemi ini adalah “karma” bagi orang tua selama ini namun menguak sisi edukatif peristiwa tersebut. Neil postman dalam the end of education menyoroti sekolah sedemikian jumud pada perkembangan sehingga kebaruan & pencerahan tidak kunjung tiba. Hal inilah yang terkadang dilupakan pihak terkait. Ortu menganggap sekolah bengkel, publik sangat berharap sekolah indah namun laku edukatif tidak diupayakan. Publik lebih rewel permasalahan bangunan sekolah mengganggu tampilan kenyamanan kampung, sementara ortu sangat nyinyir pada pembiayaan membumbung. Pertemuan ortu di sekolah sendiri diemohi karena dipersepsikan sekedar penarikan dana kegiatan.

Persepsi ini bukanlah isapan jempol semata, kegagapan pembelakukan kurikulum 2013 secara masal bukan disebabkan minimnya kompetensi guru merupakan penegasan belum kuatnya mainstream pendidikan hingga memunculkan beragam jebakan. Jebakan pembelajaran ini bermuara belum munculnya marwah pembelajaran yang pada akhirnya mendewakan pola administratif sehingga seluruh aktivitas harus terkait dengan pola administrasi.

Proporsionalitas Pendidikan
Persepsi ini sedemikian kuat terbuka mengingat pembelajaran di negeri ini tersandera pada gebyar pelaksanaan namun esensinya sangat jauh dari harapan. Permasalahan inilah yang selayaknya diselesaikan dengan proporsional tidak sekedar memaksakan salah satu pola persekolahan. Pembumian pembelajaran merupakan sebuah keharusan dalam pembudayaan baru sehingga sekolah tidak serta merta mencandui seluruh kalangan di negeri ini. Mekanisme edukatif dan ekonomis ini walaupun parsial patut menjadi perhatian tersendiri dalam penyelenggaraan konsepsi perubahan jam sekolah ini. Optimalisasi ini akan berlangsung efektif manakala memperhatikan beberapa aspek diantaranya

Momentum kuat reposisi pembelajaran menjadi dasar pemikiran utama penyelenggaraan pembelajaran berbasis lima hari kerja. Reposisi ini dapat diterjemahkan penyiapan segeap perangkat pendukung utamananya bagi kondusivitas pembelajaran. Mainstream pembelajaran jelas berubah total dibandingkan pola yang berkembang selama ini . Konsekuensi logisnya guru ditarik dari zona nyaman pembelajaran menjadi zona sedemikian dinamis.

Berita Terkait :  Lantik Anggota Madya dan Dewasa, PKS Jatim Minta Menangkan Khofifah-Emil di Pilgub

Optimalisasi elemen pendukung pendidikan menjadi pemikiran lanjutan untuk mendukung penerapan lima hari sekolah. Penyiapan segenap daya upaya pembelajaran menjadi sia-sia manakala tidak didukung komponen penyertanya. Pihak penyelenggara pendidikan dituntut memiliki blue print konkrit berkaitan kerjasama penyiapan infrastruktur pendukungnya. Ketersediaan sarana pendukung bagi anak mengembangkan dirinya dengan perubahan pemanfaatan waktu ini harus ditata sedemikian optimalnya. Saya teringat manakala kebijakan libur penuh siswa selama bulan Puasa saat Gus Dur menjadi presiden beberapa tahun lalu ternyata disikapi dengan perspektif negatif , yakni sang anak menjadi tidak karuan memanfaatkan waktu disebabkan tidak disibukkan dengan kegiatan sekolah.

Tidak kalah pentingnya konsistensi regulasi menjadi komponen pendukung pemberdayaan kebijakan pendidikan. Konsistensi regulasi ini dapat diterjemahkan dengan tidak melakukan manajemen pengelolaan yang mengedepankan ancaman semata dalam penyelenggaraannya. Segenap tindakan berbasis ketegasan tanpa arah jelas harus ditinggalkan. kebijakan menang kalah demi memajukan atau memeundurkan jadwal siswa. awalan pembalajaran bukanlah permasalahan krusial dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di negeri ini. jam 05.00 maupun jam 07.00 bukanlah harga mati dikaitkan dinamisasi pembelajaran sesuai perkembangan zaman. Berapapun kuantitas yang harus diretas seluruh komponen pembelajaran tidak akan memberikan makna apapun manakala tidak disikapi dengan kebeningan hati untuk mengembangkan kebermaknaan insani.

Sekolah sebagai salah satu pola pembelajaran tidak serta merta menyelesaikan carut marut pendidikan di negeri ini tanpa ada kesadaran bersama untuk mengelola pendidikan dalam arah konstruktif. Pendidikan sebagai usaha sadar manusia untuk kebermaknaan hidup haruslah memperhatikan bagaimanakah manusia yang akan melaksanakannya. Pascapendemi selayaknya menjadi masa merefleksikan diri dalam menjalankan edukasi persepsi ini akan kukuh manakala kerjasama sinergis dikedepankan dibandingkan peneguhan egoisme sesaat namun memarginalkan pemberdayaan peran generasi masa depan.

————— *** ——————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru