Oleh:
Frisca Asri Qorilia; Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Bayangkan sebuah tempat di mana Anda bisa menarik napas dalam-dalam tanpa khawatir akan polusi, di mana udara terasa lebih ringan, segar, dan menyejukkan paru-paru Anda. Tempat itu nyata, dan letaknya bukan di Swiss atau pegunungan Himalaya, melainkan di ujung timur Pulau Madura, tepatnya di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Namanya Gili Iyang-sebuah pulau kecil yang kini mulai dikenal dunia sebagai pemilik kadar oksigen tertinggi kedua di dunia, setelah Antartika.
Pulau Gili Iyang, atau oleh masyarakat setempat sering disebut sebagai “Pulau Oksigen”, bukan sekadar julukan dan promosi wisata. Tapi telah dibuktikan sejak tahun 2006, oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bersama LIPI dan Balitbang Kabupaten Sumenep telah melakukan pengukuran intensif terhadap kualitas udara di pulau ini. Hasilnya mencengangkan, kadar oksigen di Gili Iyang mencapai 20,9% pada siang hari dan meningkat hingga 21% pada malam hari, angka yang berada sekitar 3% hingga 4% di atas kadar oksigen normal di dataran rendah, yang biasanya berkisar di angka 18-19%.
“Udara di sini memang luar biasa. Rasanya beda, Mbak. Kalau bangun pagi tuh, dada ringan, kepala segar, Napas jadi panjang dan enteng,” ujar Hamzah, warga Desa Banraas yang juga aktif di Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Gili Iyang. Ia mengaku tak heran jika banyak wisatawan yang kini penasaran untuk datang ke pulau ini.
“Sebenarnya satu pulau ini, di semua tempat, kadar oksigennya bagus,” lanjutnya. Hamzah sudah terbiasa menyambut tamu dari luar kota bahkan luar negeri yang datang ke Gili Iyang untuk sekadar mencicipi segarnya udara alami pulau ini. “Bahkan banyak yang bilang, tidur di sini lebih nyenyak dari di hotel bintang lima,” tambahnya sambil tertawa kecil.
Apa yang membuat udara di Gili Iyang begitu bersih dan kaya oksigen? Kualitas udara di Gili Iyang tidak datang begitu saja. Ada beberapa faktor alami yang diyakini mendukung keistimewaan ini. Salah satu faktornya adalah kondisi geologis unik pulau ini. Menurut Ahyak Ulumuddin, Ketua Pokdarwis Gili Iyang, tanah di pulau ini memiliki struktur berongga alami yang memungkinkan udara bersirkulasi dan tersaring dengan optimal.
“Kalau malam hari, udara makin segar karena terjadi semacam filterisasi alami melalui rongga tanah dan gua-gua yang ada,” jelasnya. Udara yang berasal dari laut kemungkinan besar mengandung aerosol garam, terutama magnesium sulfat, yang memiliki manfaat membersihkan saluran pernapasan. Ditambah lagi, pulau ini memiliki banyak gua alami seperti Gua Mahakarya yang membantu sirkulasi dan penyaringan udara secara alami.
Gili Iyang memang kaya akan gua alami. Setidaknya tercatat 19 gua tersebar di pulau ini, beberapa di antaranya terhubung satu sama lain membentuk jaringan bawah tanah yang cukup luas. Gua Mahakarya adalah yang paling terkenal, sering dikunjungi wisatawan karena bentuk stalaktit dan stalagmitnya yang eksotis. Menurut warga, gua-gua ini bukan hanya warisan geologi, tetapi juga “paru-paru alami” yang menjaga udara tetap bersih dan murni.
Tak hanya itu, pulau ini minim polusi. Tidak ada kendaraan bermotor yang padat, tidak ada pabrik, dan banyak pohon yang menaungi rumah-rumah warga. Jalanan sepi, udara sejuk, dan burung-burung masih bebas terbang di antara pepohonan rindang.
Selain itu, dampak positif dari kadar oksigen tinggi juga terlihat nyata pada kualitas hidup masyarakat. Sebuah penelitian kolaboratif antara Badan Lingkungan Hidup dan Bappeda Kabupaten Sumenep pada tahun 2011 mencatat bahwa 50% penduduk Gili Iyang berusia di atas 60 tahun, dan 23,5% di antaranya bahkan berusia di atas 80 tahun. Ini merupakan angka yang jauh melebihi rata-rata nasional. Uniknya lagi, sebagian besar lansia di sini masih aktif bekerja dan berjalan kaki setiap hari.
“Saya umur 98 tahun, masih berkebun sendiri,” ujar Pak Makmun, sambil menunjuk kebun kecil miliknya di belakang rumah. Ia bercerita bahwa sejak muda, ia hampir tak pernah keluar pulau dan mengandalkan hidup dari hasil alam.
“Di sini nggak ada asap kendaraan, nggak ada pabrik, cuma pohon dan laut,” tambahnya.
Keseharian masyarakat Gili Iyang memang masih sangat sederhana dan dekat dengan alam. Mayoritas bekerja sebagai petani, nelayan, atau pengrajin. Tidak ada kendaraan bermotor yang mendominasi jalanan. Anak-anak berjalan kaki ke sekolah, dan kegiatan masyarakat dilakukan secara gotong royong. Semua itu turut menjaga ekosistem udara tetap stabil dan bersih.
Pulau ini juga menyimpan potensi wisata luar biasa. Selain Gua Mahakarya, terdapat Pantai Ropet, Batu Cangga, serta jalur-jalur trekking yang menyenangkan untuk dijelajahi. Dengan segala potensi ini, tak heran jika Gili Iyang kini mulai dilirik sebagai destinasi wisata kesehatan (wellness tourism). Pemerintah Kabupaten Sumenep pun terus berupaya meningkatkan fasilitas dasar seperti dermaga, penginapan ramah lingkungan, serta pelatihan masyarakat dalam bidang pariwisata berbasis alam dan budaya.
Untuk berkunjung ke Gili Iyang, akses menuju pulau ini cukup mudah, pengunjung harus menempuh perjalanan laut selama 30 hingga 40 menit menggunakan perahu motor dari Pelabuhan Dungkek. Setibanya di pulau, wisatawan bisa menikmati panorama pantai alami seperti pantai pasir putih di Pantai Ropet, menjelajah formasi karst di Batu Cangga atau trekking ke area konservasi gua, atau sekadar duduk santai sambil menghirup udara laut segar yang bersih dari polusi.
Namun yang paling dicari tetaplah kesegaran udaranya. Tak sedikit pengunjung yang membawa alat pengukur kadar oksigen sendiri hanya untuk membuktikan klaim yang selama ini beredar. Dan nyatanya, angka-angka itu tidak bohong.
“Kalau malam hari, udara makin adem dan segar. Banyak tamu dari kota yang bilang mereka bisa tidur lebih nyenyak di sini,” kata Ibu Sri, pemilik warung yang juga menyediakan tempat singgah bagi para tamu. “Banyak tamu dari Jakarta, Malang, Surabaya. Ada yang datang dua hari, tapi malah betah seminggu. Katanya di sini bisa tidur nyenyak, badan enteng,” ungkapnya sambil menyajikan teh jahe hangat kepada tamu.
Kini, Gili Iyang tengah dikembangkan sebagai destinasi wisata kesehatan, tempat di mana orang bisa menyegarkan tubuh dan pikiran secara alami. Pemerintah Kabupaten Sumenep bersama kelompok masyarakat sadar wisata sedang menata fasilitas dan promosi, sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan pulau. Masyarakat dan pemerintah daerah berharap Gili Iyang bisa terus berkembang tanpa kehilangan jati diri alaminya. “Kami ingin wisata berkembang, tapi jangan sampai merusak alam dan udara kami,” ujar Ahyak. Semangat menjaga alam ini juga sejalan dengan prinsip pariwisata berkelanjutan yang mulai digaungkan di berbagai daerah Indonesia.
“Kalau ke sini, bukan cuma liburan. Tapi juga untuk menyembuhkan lelah jiwa dan raga,” tutup Pak Hamzah dengan senyum bangga.
Gili Iyang kini bukan hanya sekadar pulau terpencil di Madura. Ia adalah contoh hidup tentang harmoni antara manusia dan alam, serta bagaimana udara bersih bisa menciptakan generasi yang sehat, damai, dan panjang umur. Dengan segala keunikan dan kekayaannya, Gili Iyang bukan hanya tempat wisata, tapi juga laboratorium hidup di mana manusia dan alam hidup berdampingan dalam keseimbangan. Sebuah pulau kecil yang menawarkan napas panjang dan kehidupan yang lebih tenang. [*]