Oleh :
Jusrihamulyono A.HM
Trainer Pusdiklat Pengembangan SDM UMM
Beberapa hari yang lalu, ungkapan “kabur aja dulu” awalnya muncul dalam konteks guyonan netizen di media sosial yang semakin lama maknanya berkembang menjadi sindiran yang lebih serius terhadap kondisi sosial politik belakangan ini. Hastag kabur aja dulu tidak muncul secara tiba-tiba tanpa ada sebab yang melatarbelakangi. Kabur aja dulu lahir dari keresahan mendalam publik terhadap penyelenggaraan negara. Hatag kabur aja dulu menjadi indikasi bahwa kesejahteraan di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Banyak masyarakat merasakan berbagai pernyataan blunder pejabat, korupsi yang masih hidup, sulitnya mendapatkan pekerjaan, beban ekonomi, hukum yang gelap dan problematika lain yang dihadapi negeri ini. Kendati demikian, istilah “Madesu” atau masa depan suram kini merambat menyetir kesadaran generasi muda (generasi z) yang ingin mencari kelayakan hidup. Tidak mengherankan dunia maya seperti Instagram, X, dan tiktok dipenuhi dengan cuitan tersebut sebagai bentuk protes agar pemerintah bersikap adil akan setiap kebijakan yang dikeluarkan.
Menurut KBBI, kata “kabur” memiliki arti yaitu melarikan diri. Melarikan diri dengan dimensi ingin keluar dari sebuah ancaman dan tekanan. Artinya, orang yang memberi hastag keluar aja dulu memiliki makna ingin keluar dari penderitaan akibat pola sistem sosial politik yang dianggapnya tidak jelas di negaranya sendiri. Keluar secara sementara ataupun jangka panjang hingga mendapatkan kepastian dari segi pendapatan hingga kelayakan hidup.
Definisi Nasionalisme
Berangkat atau keluar negeri mendapatkan reaksi bahwa tidak memiliki jiwa nasionalisme. Hanya saja, pilihan ini menjadi jawaban yang dibutuhkan oleh beberapa orang yang seharusnya bekerja namun terbontan banting akan kebijakan politik kerja. Reaksi yang pro akan memilih kabur aja dulu sebagai upaya diri dalam memperbaiki keadaan finansial pribadi hingga keluarganya. Dengan bekerja di luar negeri, bukan menutup diri dan menjauh dari tanah kelahirannya sendiri melainkan ingin memperbaiki nasib hidupnya.
Maraknya generasi muda berniat keluar ke negara lain bukan untuk dipersalahkan apalagi dipertanyakan terkait esensi jiwa nasionalismenya. Ujian nasional kini merambat pada istilah “brain drain” dimana sebuah, fenomena ketika orang-orang berpendidikan tinggi dan terampil meninggalkan negaranya untuk bekerja atau tinggal di luar negeri. Fenomena ini juga dikenal sebagai human capital flight atau pelarian modal manusia. Ini kadang juga disebut pelarian cendekiawan atau pelarian intelektual.
Kita ambil contoh kisah BJ. Habibi yang berangkat ke Jerman demi mendapatkan cita-citanya yang akhirnya diminta untuk kembali mengembangkan keilmuannya di Indonesia. Dimensi nasional tidak sebatas mencintai melainkan adanya tindakan membangun bangsa yang potensial dan aktual serta membangun peradaban yang luar biasa. Keluar aja dulu bisa jadi upaya membesarkan nama Indonesia di manca internasional.
Badan Pusat Statistik (BPS), mempublikasikan data terkait sebaran pekerja migran Indonesia (PMI). Jika melihat jumlah pekerja migran Indonesia yang ditempatkan selama 2023 mencapai 273.964 orang. Artinya, mereka bekerja bisa jadi untuk pemenuhan dirinya namun lebih dari itu untuk membawa nama negara agar dapat menjadi pesaing internasional. Diaspora bukan orang yang lupa akan tanah airnya, namun mereka membabat dunia dengan membawa nama ibu Pertiwi agar tersohor di mata dunia.
Hal ini seharusnya diapresiasi bukan dihujat atas nama anti nasionalisme. Contoh kecil, ketika timnas main di ajang internasional, pendukung timnas yang setia selalu membanjiri stadion untuk memberikan dukungan. Lantas, apakah mereka masih layak dikatakan tidak setia terhadap NKRI?. Tentu tidak, disis lain mereka terbebani menjadi untuk berusaha dalam pengembangan dirinya serta finansial yang dinilai layak.
Representasi Kesejahteraan
Generasi muda atau yang kisaran berumur produktif (generasi z) kini sulit mencari yang sesuai dengan fashionnya dalam di dunia kerja. Hal ini pun nampak pada lulusan perguruan tinggi harus banting setir dengan bekerja sistem akrobatik. Bekerja sekedar demi mendapatkan penghasilan untuk hidup sehari-hari bahkan beban kerja tidak sebanding penghasilan. Disisi lain bila ini terus terjadi pada pandangan generasi muda, scary marriage menjadi dampak terburuknya. Bagaimana tidak, menghidupi diri sendiri saja sulit apalagi menghidupi orang lain.
Ditambah lagi beberapa kebijakan publik menjadi dinamika di awal kepemimpinan Pak Prabowo. Sebut saja, efesiensi dana anggaran pengeluaran belanja negara atau APBN. Penghasilan para pekerja serta efesiensi pelayanan publik berakibat pada pembukaan lowongan pekerjaan yang makin terbatas. Hal ini, ketakutan hidup di Indonesia menjadi tambah sulit dan mengkhawatirkan. Tuntutan kerja yang makin keras, daya beli yang menurun, tindakan hedonisme keluarga pejabat makin memperburuk representasi kesenjangan sosial.
Kabur aja dulu efek dari mencari kerja yang sulit, hal demikian karena sistem yang penuh dengan printilan. Syarat umur, pengalaman kerja, prestasi yang harus menunjang dan lain lain. Sedangkan lulusan perguruan tinggi tentunya ingin memulai untuk berkarir, namun terhambat dengan sistem yang berlapis tersebut. Hal ini diperparah dengan stigma masyarakat bahwa sekolah tinggi namun tidak mendapatkan pekerjaan sesuai ekspektasi rumpun keilmuannya. Gaji tidak memadai serta pajak yang makin melambung tinggi mengakibatkan perhitungan pengeluaran menggunakan sistem puasa.
Pada akhirnya, regulasi rekrutmen pekerja harus lebih diefisienkan. Penghasilan pun harus diramu agar keadilan serta hak- hak dunia pekerja terpenuhi. Netizen sebagai control society, hastag keluar aja dulu ungkapan mendalam akan perbaikan sistem kerja “rodi” ini di stop kan di negara Indonesia. Kabur aja dulu menjadi suara mendalam dari masyarakat kecil untuk tidak mendapatkan beban tambahan ditengah kehidupan serba sulit. Pemerintah pusat hingga daerah kini harus bekerja sama menemukan solusi dari dinamika sosial tersebut.
————— *** —————-