Oleh:
Andika Drajat Murdani
Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Slamet Riyadi.
Kegiatan ekspor bagi Indonesia berkontribusi penting terhadap GDP. Produk ekspor Indonesia memegang peran strategis dalam rantai pasok global, dengan reputasi sebagai hub manufaktur untuk industri seperti pada industri tekstil, elektornik dan kendaraan bermotor. Banyak komponen untuk industri lain yang diproduksi di Indonesia, kemudian dikirim ke negara lain, untuk diproses lebih lanjut sebagai produk jadi.
Namun, di tengah upaya Indonesia bersaing di pasar global, rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia dari 11% menjadi 12% pada 2025 menghadirkan tantangan besar. Kebijakan ini diproyeksikan untuk memperkuat stabilitas fiskal. Akan tetapi, di sisi lain, dapat memengaruhi kemampuan Indonesia untuk bersaing, terutama dalam industri yang terintegrasi dengan rantai pasok global. Rencana kenaikan PPN sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), memicu pertanyaan besar: apakah kebijakan ini justru akan menggerus daya saing Indonesia di pasar internasional?
Biaya Produksi dan Harga Ekspor
PPN adalah pajak konsumsi yang secara langsung memengaruhi harga barang dan jasa. Meskipun PPN umumnya dikenakan pada transaksi domestik, dampaknya dapat merembet ke sektor manufaktur yang terintegrasi dalam rantai pasok global. Industri seperti tekstil dan elektronik, yang sangat bergantung pada bahan baku impor, akan menghadapi kenaikan biaya produksi karena pengenaan PPN pada bahan baku tersebut sebelum barang jadi diekspor.
Walaupun barang ekspor umumnya dikecualikan dari PPN, proses pengembalian pajak (restitusi) di Indonesia sering kali memakan waktu. Hal ini bisa mengakibatkan gangguan likuiditas, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), yang menyumbang sekitar 16% dari total ekspor Indonesia.
Dalam konteks perdagangan internasional, kenaikan biaya produksi akibat PPN dapat diterjemahkan ke dalam harga produk ekspor yang lebih tinggi. Industri unggulan Indonesia, seperti batu bara, kelapa sawit, besi dan baja, hingga elektronik, bisa kehilangan daya tariknya di pasar global. Harga barang Indonesia di pasar global berpotensi menjadi kurang kompetitif dibandingkan dengan negara pesaing seperti Vietnam atau Thailand, yang menawarkan efisiensi biaya lebih baik dan proses administrasi pajak yang lebih sederhana.
Perspektif Investor Global
Investor asing tidak hanya melihat tarif pajak korporasi ketika mengevaluasi daya tarik suatu negara, tetapi juga mempertimbangkan struktur pajak keseluruhan, termasuk pajak konsumsi seperti PPN. Kenaikan PPN dapat menciptakan persepsi bahwa Indonesia adalah lokasi yang lebih mahal untuk berproduksi, terutama jika dikombinasikan dengan biaya logistik yang tinggi dan tantangan infrastruktur.
Sebagai contoh, Vietnam telah menarik banyak perhatian investor global berkat kombinasi tarif pajak korporasi yang kompetitif (20%) dan kebijakan insentif pajak untuk sektor tertentu. Selain itu, Vietnam memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat, yang semakin meningkatkan daya tariknya sebagai pusat manufaktur global.
Di Asia Tenggara, negara-negara seperti Thailand dan Vietnam memiliki daya tarik tinggi dalam perdagangan internasional. Thailand mempertahankan PPN sebesar 7% selama bertahun-tahun, memberikan keuntungan kompetitif dalam hal konsumsi domestik dan biaya ekspor. Sementara Vietnam aktif mengembangkan hub manufaktur untuk sektor elektronik dan otomotif. Jika Indonesia menaikkan PPN tanpa strategi mitigasi yang kuat, produsen global dapat memindahkan operasinya ke negara-negara tersebut, yang menawarkan lingkungan pajak lebih stabil dan infrastruktur yang mendukung.
Efek Bola Salju dalam Rantai Pasok Global
Dalam rantai pasok global, setiap kenaikan biaya pada salah satu titik akan memberikan efek bola salju (snowball effect) pada seluruh rantai. Jika biaya produksi di Indonesia meningkat akibat kenaikan PPN, perusahaan multinasional dapat memindahkan produksi mereka ke negara lain dengan struktur pajak yang lebih kompetitif. Situasi ini tidak hanya akan mengurangi ekspor Indonesia, tetapi juga dapat berdampak pada hilangnya lapangan kerja di sektor manufaktur.
Sebagai gambaran, industri elektronik yang menjadi salah satu pilar ekspor Indonesia menghadapi tantangan ketat dari Vietnam, yang berhasil menarik investasi besar dari perusahaan seperti Samsung dan Intel. Jika Indonesia gagal menjaga daya saingnya, perusahaan serupa mungkin memilih memindahkan operasi ke Vietnam atau Thailand. Tentu saja, dampaknya ada pada tenaga kerja.
Kebijakan Pajak dan Daya Saing Global
Kenaikan PPN mungkin dirancang untuk memperkuat stabilitas fiskal Indonesia, tetapi pemerintah perlu mengimbangi kebijakan ini dengan langkah-langkah yang mendukung daya saing global. Agar kenaikan PPN tidak mengikis posisi Indonesia dalam perdagangan internasional, pemerintah perlu menerapkan strategi mitigasi.
Salah satu langkah penting yang perlu dilakukan adalah peningkatan efisiensi administrasi pajak. Mempercepat proses restitusi PPN untuk barang ekspor dan mengurangi hambatan birokrasi yang sering menjadi keluhan pelaku usaha. Maka, hal ini harus diperbaiki dengan seksama.
Selain itu, pemerintah perlu memberikan insentif untuk industri prioritas. Misalnya, dengan memberikan keringanan pajak tambahan untuk sektor manufaktur berorientasi ekspor, seperti elektronik, otomotif, dan tekstil. Berbagai industri ini perlu dijaga agar daya saingnya tetap terjaga. Tak bisa dipungkiri, sejak tahun 2022, industri tekstil Indonesia sudah banyak menelan pil pahit dari persaingan global, hingga tak sedikit yang pada akhirnya harus dinyatakan pailit.
Pemerintah perlu memberi dukungan peningkatan infrastruktur dan logistik. Memperbaiki infrastruktur logistik untuk menurunkan biaya operasional yang selama ini menjadi salah satu kendala terbesar bagi pelaku industri di Indonesia. Dengan menurunkan biaya logistik domestik yang tinggi, dapat mengimbangi kenaikan biaya produksi akibat beban tambahan dari PPN.
Selain itu, Indonesia perlu memanfaatkan momentum keanggotaan di forum seperti ASEAN dan G20 untuk memperkuat posisi tawar sebagai tujuan investasi yang kompetitif. Kenaikan PPN adalah langkah penting untuk menjaga stabilitas fiskal Indonesia, tetapi efeknya terhadap perdagangan internasional tidak boleh diabaikan. Kenaikan PPN menjadi 12% perlu diimbangi dengan kebijakan yang memastikan daya saing Indonesia dalam rantai pasok global tetap terjaga.
Dengan strategi mitigasi yang tepat, Indonesia dapat menjaga daya saingnya dan tetap menjadi pemain kunci di pasar global. Jika tidak, negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand siap memanfaatkan situasi ini untuk menarik lebih banyak investasi dan memperkuat posisi mereka dalam rantai pasok global.
Kebijakan perpajakan harus sejalan dengan visi Indonesia untuk menjadi pusat manufaktur dan perdagangan di Asia Tenggara, agar tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga produsen unggul di dunia internasional. Sebagai pemain utama di Asia Tenggara, Indonesia harus berhati-hati agar tidak kehilangan momentum sebagai pusat manufaktur yang kompetitif. Sebab, di dunia yang semakin terhubung, daya saing bukan hanya soal tarif pajak, tetapi juga soal efisiensi dan persepsi di mata pelaku bisnis internasional.
————— *** ——————