Surabaya, Bhirawa.
Dunia yang tanpa batas menuntut manusia beradaptasi dengan cepat ditambah lagi kebutuhan hidup dan dinamika zaman saling susul menuju kemutakhiran. Demikian pula peran laki-laki dan perempuan dalam perekonomian.
“Hari Perempuan Internasional yang kita peringati pada 8 Maret lalu kembali mengingatkan kita pada pentingnya membangun gender awareness dalam masyarakat,” ungkap Direktur Utama PT Cemerlang Statistika Indonesia (StatsMe), Lussi Agustin saat merilis hasil riset Data & Gender pada Senin (10/3) di Quest Hotel Darmo, Surabaya.
Lussi menambahkan belakangan, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kesetaraan gender memang meningkat. Salah satu dampaknya adalah naiknya jumlah angkatan pekerja perempuan. Ada semakin banyak ruang dan peluang bagi perempuan untuk mengaktualisasikan diri mereka di luar rumah alias bekerja.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, rasio pekerja perempuan di Indonesia masih rendah. Dalam kajiannya, IMF menyebutkan bahwa rata-rata rasio pekerja perempuan masih 20 persen di bawah rata-rata rasio pekerja laki-laki. Namun, kondisi di Malaysia, Singapura, Hongkong, dan China relatif lebih baik ketimbang Indonesia.
Hingga Februari 2024 lalu, GoodStats mencatat bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan di Indonesia mencapai 55,41 persen. Angka tersebut naik sekitar 1 persen dari tahun sebelumnya. Potensi tersebut masih akan terus meningkat karena komposisi penduduk perempuan Indonesia juga semakin besar.
Data Ditjen Dukcapil Kemendagri hingga semester I 2024 menyebutkan, jumlah penduduk perempuan di Indonesia adalah 139.907.921 jiwa dari total 282.477.584 penduduk.
Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia meramalkan bahwa komposisi penduduk perempuan di Indonesia akan menyalip laki-laki pada 2040 nanti. Itu artinya potensi perempuan sebagai kekuatan ekonomi juga kian besar.
“Di sisi lain, fakta meningkatnya angkatan kerja perempuan dan kian tumbuhnya kesadaran masyarakat akan kesetaraan gender ternyata tidak serta merta mengikis beban ganda perempuan,” jelas Lussi.
Untuk StatsMe menyoroti fenomena tersebut dalam survei yang diselenggarakan pada 14-25 Februari lalu. Melibatkan 479 responden dari 21 kota/kabupaten di Jawa Timur, survei menyasar pekerja perempuan yang sudah menikah. Hasilnya menyebutkan bahwa sebagian besar responden berbagi tugas-tugas rumah tangga dengan suami mereka. Angkanya mencapai 58,87 persen.
Sebanyak 45,93 persen responden StatsMe adalah lulusan S1/S2/S3. Sedangkan 34,45 persen dan 13,99 persen lainnya masing-masing tamatan SMA/ sederajat dan diploma. Latar belakang pendidikan yang baik itulah yang berkontribusi positif dalam pembagian peran dalam rumah tangga. Artinya, para responden tidak sendirian mengurus rumah.
Sebanyak 42,80 responden mengakui bahwa suami terlibat dalam sebagian besar urusan rumah. Yakni, sekitar 51-75 persen. Sementara, menurut 28,39 responden yang lain, suami mereka berkontribusi dalam sebagian kecil urusan rumah atau sekitar 26-50 persen.
Kendati demikian, konstruksi sosial seringkali menempatkan perempuan sebagai objek dengan peran (dan tentu saja beban) berlimpah. Salah satunya adalah kebiasaan memasrahkan pengasuhan anak di tangan perempuan. Juga, kebiasaan menyorot perempuan untuk urusan kebersihan dan kesehatan anggota keluarga serta lingkungan sekitar rumah.
Stigma masyarakat bahwa perempuan lebih baik di rumah saja menjadi beban tersendiri bagi para perempuan pekerja. Sebab, mereka dituntut untuk menjalankan perannya sebagai istri dan ibu secara maksimal.
Tanpa kerja sama dan dukungan yang baik dari suami, beban tersebut menjadi pemicu perselisihan, konflik, bahkan kekerasan dalam rumah tangga.
Akibat beban ganda itu, perempuan yang secara fisik memang lebih lemah ketimbang laki-laki seringkali merasa kelelahan. Belum lagi fakta biologis yang membuat perempuan mengalami ketidakstabilan hormon satu bulan sekali saat menstruasi. Maka, selain fisik, perempuan juga rentan mengalami kelelahan mental.
Dalam survei, StatsMe menemukan bahwa sebanyak 54,28 responden mengaku kelelahan dan stres menjalankan peran mereka sebagai pekerja sekaligus ibu dan istri. Jika itu terus terjadi, keharmonisan hidup rumah tangga bisa terancam.
Berdasar wawancara lanjutan yang StatsMe lakukan terhadap sebagian responden, perempuan yang bekerja sangat membutuhkan dukungan fisik dan mental dari suami dan lingkungan. Hal paling sederhana yang bisa dilakukan tiap keluarga adalah menyeimbangkan waktu bekerja dan istirahat.
Bukankah tugas yang dikerjakan bersama-sama akan lebih cepat selesai? Itu pula yang dibutuhkan para perempuan bekerja dalam rumah tangga mereka. Teamwork.
Suami dan istri sama-sama mengurus rumah tangga dengan porsi yang seimbang. Dalam hal ini, mengasuh anak-anak juga termasuk sebagai urusan rumah tangga. Maka, suami dan istri perlu berperan aktif.
Selain berbagi beban, dua hal lain yang bisa dilakukan adalah membuat skala prioritas dan meluangkan waktu untuk healing alias menghalau stres. Pembiasaan-pembiasaan berbagi peran dan bekerja sama di dalam rumah tangga itu akan memengaruhi pula cara pandang lingkungan masyarakat terhadap peran perempuan dan laki-laki. Baik peran mereka sebagai pelaku ekonomi, maupun sebagai istri dan suami serta ibu dan ayah, dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, para perempuan pekerja yang di memikul beban ganda di pundak mereka pun akan mampu menjalankan peran dengan seimbang. Punya peluang dan ruang untuk mengaktualisasikan diri merupakan kunci kebahagiaan perempuan. [riq.ca]