25 C
Sidoarjo
Monday, March 24, 2025
spot_img

Perempuan dan Pusaran Seksisme di Ruang Publik

Oleh :
Uswah Sahal
Mahasiswa Pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga

Masih ramai persoalan Miftah Maulana dengan penjual es teh di media sosial, namun kini juga ramai bermunculan video Miftah Maulana yang melontarkan humor seksis kepada pentas wayang Bude Yati. Dalam video tersebut Miftah dengan mudahnya mengatakan, “Kulo iku bersyukur Bude Yati elek, milih dadi sinden. Lak ayu dadi lonte… Kulo iso keracunanan, pun expired ini susune (Saya ini bersyukur Bude Yati jelek, memilih jadi sinden. Kalau cantik jadi pelacur. Saya bisa keracunan, sudah kadaluwarsa susunya)”. Omongan Miftah yang serampangan tersebut disambut gelak tawa oleh orang-orang yang ada di sekitar. Yang lebih menyebalkan lagi, Meski Bu Yati telah menunjukkan respon tidak nyaman, Miftah tetap melanjutkan humor seksisnya tanpa rasa bersalah.

Saya pribadi tidak bisa membayangkan jika itu terjadi pada diri saya sendiri. Apalagi dalam konteks ramai. Belum kasus tersebut mereda, muncul lagi Miftah dan Habib Zidan dalam acara harlah pendosa pencari surga di Magelang yang juga melakukan humor seksis kepada perempuan. Ketika perempuan tersebut memperkenalkan dirinya dengan nada penyiar.

Miftah menyela dengan mengatakan “suarane enak koyok ngunu, opo maneh desahene” (suaranya saja enak, apalagi desahannya). Perempuan itu menjawab “kulo polos gus” Miftah menimpali lagi dengan tertawa keras “cowok itu memang suka dengan cewek yang polos, baik polos dengan pikirannya maupun polos busananya, iyaaaaa modyarr”. Kemudian diikuti tawa penonton.

Mengapa humor seksis di ruang publik acap kali dinormalisasi? Bagi saya, hal ini terjadi karena beberapa hal, pertama kepercayaan publik kepada Miftah sebagai tokoh agama yang dianggap panutan, kedua kurangnya kepekaan kesadaran gender di tengah-tengah masyarakat. Jadi meskipun humor yang dibawa Miftah adalah humor seksis yang melanggengkan stereotype dan objektivikasi tubuh perempuan, penonton menganggap hal tersebut sebagai sesuatu hal yang wajar. Ketiga relasi kekuasaan dalam kelompok sosial. Dalam beberapa situasi, humor seksis digunakan untuk memperkuat kekuasaan kelompok mayoritas (biasanya laki-laki) atas kelompok minoritas (perempuan atau gender lain), sehingga hal ini menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang lebih besar. Keempat, pengaruh media dan representasi popular. Media sering kali memuat humor seksis sebagai bagian dari hiburan, sehingga masyarakat terbiasa melihatnya sebagai sesuatu yang normal. Film, acara TV, dan komedi stand-up sering kali menjadi wadah penyebaran humor yang mengobjektifikasi gender tertentu.

Berita Terkait :  Dorong Regenerasi Petani Lewat Pendidikan Vokasi

Mengapa humor atau kalimat yang diucapkan Miftah termasuk tindak kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan? Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan Komnas Perempuan bahwa pelecehan seksual merupakan tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Hal itu termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, colekan, dan sentuhan di bagian tubuh yang mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, hingga menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

Bahaya Seksisme di Ruang Digital
Seperti yang disampaikan pemerhati gender Dewi Candraningrum dalam jurnal perempuan, menyebutkan bahwa humor seksis adalah humor-humor yang melihat seseorang secara inferior, mengejek bentuk atau ukuran tubuh dan menjadikannya sebagai objek seks terhadap perempuan, laki-laki, maupun non biner. Bukan hanya bernada seksual, kadangkala lelucon seksis dikemas dalam bentuk halus namun tetap bersifat merendahkan orang lain.

Dalam narasi jurnal tersebut dijelaskan, bahwa seseorang yang melakukan seksisme beranggapan bahwa satu jenis kelamin lebih dominan daripada jenis kelamin lainnya. Dalam konteks kasus ini laki-laki lebih dominan daripada perempuan. Hal ini sejalan dengan budaya masyarakat patriarki, seksisme hadir dalam beragam wajah seperti prasangka, subordinasi, objektivikasi hingga lelucon vulgar. Tak bisa dipungkiri candaan-candaan di media sosial masih kerap ditemui hingga saat ini, apalagi dalam wajah perpolitikan di Indonesia.

Di tengah badai kekerasan yang menimpa perempuan hari ini, ruang publik, baik secara fisik maupun digital, sudah seharusnya menjadi tempat di mana setiap individu memiliki kebebasan untuk berekspresi, berinteraksi, dan berpartisipasi secara setara. Media sosial, sudah seharusnya menjadi platform untuk berbagi ide dan memperluas jaringan, bukan malah menjadi tempat di mana perempuan menjadi sasaran pelecehan online. Mulai dari komentar merendahkan hingga ancaman kekerasan, banyak perempuan yang harus menghadapi konsekuensi emosional yang berat hanya karena berani menyuarakan pendapat mereka, dengan tidak melakukan seksisme di media, sesungguhnya kita sedang mengupayakan ruang publik inklusif bagi semua.

Berita Terkait :  Janji Presiden Tentang Swasembada Pangan

Bagi saya, seksisme di ruang publik bukanlah masalah individu, melainkan masalah sistemik yang membutuhkan perhatian kolektif. Dengan menciptakan ruang yang aman dan inklusif, kita tidak hanya memberdayakan perempuan, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Ruang publik adalah milik semua, dan setiap individu berhak untuk merasakan kebebasan dan keamanan di dalamnya.

Saatnya Berhenti Menormalisasi Seksisme di Ruang Publik
Jika hal itu terjadi pada kita, apalagi di ruang publik. Kita sebagai perempuan tentu memerlukan banyak keberanian, kesadaran, dan pendekatan yang tepat. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan ketika kita melihat ataupun menjadi obyek humor seksis, tanpa menciptakan konflik yang lebih besar dengan orang lain.

Pertama, jangan merespon secara spontan. Bersikap tenang dengan mengatakan dengan tegas bahwa kita merasa tidak nyaman dengan candaan tersebut.

Kedua, ajukan pertanyaan untuk menggugah kesadaran. Dengan kita memberi pertanyaan seperti “Apa maksud dari lelucon itu?” atau “Apakah menurutmu lelucon itu adil untuk perempuan?”. Saya pikir cara ini dapat membuat pelaku berpikir ulang tanpa merasa diserang.

Ketiga , kita bisa mengingatkan jika memungkinkan, kita bisa menyampaikan informasi bahwa candaan seksis bisa menjurus pada pelecehan dan merugikan pihak lain. Kita bisa berbicara secara pribadi dengan orang yang bersangkutan mengenai candaan yang pantas dan tidak pantas.

Keempat, diam adalah pilihan. Kita bisa menghindari percakapan dengan tidak merespon pembicaraan yang merugikan. Diam atau meninggalkan percakapan bisa jadi pilihan yang terbaik. Tunjukkan ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang tegas, yang menandakan bahwa kita tidak suka dengan candaan tersebut.

Berita Terkait :  Perayaan Adat Rajabiyah 

Dengan bersikap tegas namun tetap bijaksana, kita bisa membantu mengurangi normalisasi seksisme dan mendorong terciptanya lingkungan yang lebih adil dan menghormati semua individu. Maka, penting bagi kita mengupayakan ruang aman untuk menyikapi humor seksis dan juga penting untuk mengedukasi orang lain dengan bijaksana.

————- *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru