Oleh :
Harisansi Savari
Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur dari PKS
Saat ini Pemeirntah Provinsi dan DPRD Provinsi Jawa Timur sedang membahas Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Bencana Di Provinsi Jawa Timur. Raperda ini tidak hanya amanat dan kebutuhan yuridis bagi pemerintah Propinsi Jawa Timur, akan tetapi menjadi kebutuhan penting dan strategis dalam mendukung keberlangsungan pembangunan Jawa Timur, khususnya dalam mitigasi Penanggulangan Bencana Di Provinsi Jawa Timur yang lebih responsif, presisi, optimal dan integral.
Kita semua sebagai manusia, mahluk Tuhan Yang Maha Kuasa, dalam kehidupan sosial pasti tidak menginginkan hadirnya sebuah bencana, baik bencana alam maupun non alam, atau bencana apapun yang berakibat dan berdampak pada timbulnya korban dan kerusakan lingkungan. Namun demikian, Jika kita dekati dan dalami secara teologis, bencana dan kerusakan yang terjadi di darat dan di laut karena ulah tangan manusia. Al Qur’an Surah Ar Rum ayat 41 menjelaskan bahwa “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia”. Ayat ini memberi pesan yang kuat tentang bagaimana membangun hubungan yang bersahabat antara manusia dengan alam. Jika manusia memperlakukan alam dengan baik, maka alampun akan memperlakukan manusia dengan baik.
Secara filosofis sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945, salah satu tujuan dibentuknya negara Indoensia “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”, maka sudah menjadi kewajiban bagi Negara dalam hal ini direpresentasikan oleh Pemerintah (provinsi dan kab/kota) untuk melindungi bangsa Indonesia termasuk di dalamnya masyarakat sebagai warga negara dari bencana baik alam dan non alam yang berpotensi terjadi di negara Indonesia, termasuk di Provinsi Jawa Timur.
Terkait dengan bencana, setiap daerah memiliki karakteristik potensi bencana masih-masing. Baik bencana alam, non alam maupun bencana sosial dan sejenisnya. Tugas kita adalah bagaimana melakukan mitigasi secara dini terhadap berbagai potensi bencana yang kemungkinan terjadi di lingkungan kita. Membangun sistem peringatan dini yang lebik dan modern untuk mereduksi seminimal mungkin korban dan dampak kerusakan yang terjadi. Karena itu, satu hal yang harus terus dilakukan daerah adalah melakukan asesmen dan mitigasi terhadap pelbagai potensi bencana yang kemungkinan terjadi secara berkala dan bekelanjutan.
Sebagai langkah legislasi, hadirnya Racangan Perda dimaksud merupakan sebuah kenisacayaan untuk memastikan regulasi yang disusun dapat mengakomodasi berbagai aspek dalam mitigasi bencana. Penyusunan Raperda ini perlu mengedepankan paradigma baru dalam perlindungan terhadap warga. Raperda ini tidak sekadar regulasi, tetapi juga harus menjamin pemenuhan hak warga dalam perlindungan terhadap bencana, sebagaimana prinsip recognize, protect, dan fulfill.
Raperda Penanggulangan Bencana mengatur penyelenggaraan penanggulangan bencana di Provinsi Jawa Timur, yang meliputi upaya pencegahan, mitigasi, tanggap darurat, dan pemulihan. Raperda ini bertujuan untuk memperkuat sistem penanggulangan bencana di daerah, terutama di wilayah Provinsi Jawa Timur, serta menyelaraskan kebijakan penanggulangan bencana dengan kebijakan pembangunan daerah
Setiap daerah memiliki karakteristik masing-masing dalam masalah bencana, baik karekteristik bencana maupun karakteristik dalam penanggulangannya. penulis berpendapat, salah satu kekhasan yang perlu dimasukkan dalam Raperda ini adalah modal sosial yang dimiliki Provinsi Jawa Tmur, yakni nilai gotong royong yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat. Dengan adanya peran aktif masyarakat dan solidaritas yang tinggi, diharapkan penanggulangan bencana dapat berjalan lebih efektif dan optimal dengan melibatkan semua pihak
Catatan Kritis
Ada beberapa catatan yang dapat disampaikan berkaitan dengan Rancangan Perda tentang Penanggulangan Bencana di Jawa Ttimur, sebagai berikut; Pertama, Berkaitan dengan ketentuan dalam Raperda yang memuat kolaborasi pentahelix dalam penangggulangan bencana, Fraksi Sependapat. Hal in adalah terobosan hukum agar kolaborasi penanggulangan bencana dapat berjalan secara sustainable , terukur dan berdampak bagi setiap stakeholder. penulis menyarankan agar dalam Raperda ini juga dimasukkan mekaniseme tata kelola kolaborasi atau collaborative governance yang dapat dirinci melalui Peraturan Kepala Daerah atau Pergub, agar dapat memasukkan standarisasi dan cakupan stakeholder (lembaga, organisasi atau instansi) mana sajakah yang terlibat dalam kolaborasi, untuk mengantisipasi tumpang tindih dan ketidakefektifan mekanisme kolaborasi akibat terlalu banyak stakeholder yang terlibat.
Kedua, Berkaitan dengan ketentuan dalam Raperda yang memuat banyaknya dokumen perencanaan dalam penanggulangan bencana, penulis mencermati agar dalam implementasinya perlu dibuat kompilasi perencanaan penanggulangan bencana dalam sistem informasi perencanaan bencana terpadu. Hal ini penting untuk memudahkan pengawasan DPRD terhadap penyusunan, implementasi dan evaluasi, serta memudahkan DPRD dalam memberi masukan terhadap perubahan (revisi / reviu) dokumen perencanaan akibat perubahan situasi kebencanaan terbaru dan mendorong transparansi dan akuntabilitas.
Ketiga, Berkaitan dengan hasil Kajian Rawan Bencana sebagai bagian mitigasi pada kawasan rawan bencana, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Raperda, penulis mengingatkan agar dalam implementasinya dapat menyajikan kajian yang rinci dan komprehensif dan diinformasikan secara terbuka dan komunikatif. Keempat, Berkaitan dengan pembentukan forum pengurangan risiko bencana (FPRB) , sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 24A Raperda, penulis sependapat. penulis mengingatkan agar Perda yang menjadi payung hukum pembentukan FPRB ini juga menjelaskan tentang struktur organisasi dan koordinasi FPRB, wewenang dan tupoksi dan kejelasan bentuk fasilitasi oleh Pemerintah Daerah kepada FPRB, agar dapat berjalan secara optimal dan efektif.
Kelima, Berkaitan dengan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas tangguh bencana sebagaimana yang tertera dalam pasal 96D Raperda, penulis sependapat. Pembentukan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Destana), Pesantren Tangguh Bencana (Pestana), dan Keluarga Tangguh Bencana (Katana) harus dilakukan secara partisipatif bottom up (bukan top down), memiliki indikator dan parameter pembentukan dan evaluasi yang jelas, serta kejelasan bentuk fasilitasi bantuan atau pembinaan apa saja dari Pemerintah Daerah dan stakeholder lainnya (BUMN, BUMD) agar tidak membebani masyarakat/ komunitas dan program ini berjalan secara berkelanjutan
Melalui penyusunan Raperda ini, penulis berharap regulasi yang dihasilkan dapat menjadi landasan hukum yang kuat bagi seluruh elemen masyarakat dalam menghadapi dan menanggulangi bencana di Jawa Timur. Dengan prinsip kolaborasi lintas sektor serta dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, diharapkan Jawa Timur semakin siap dan matang dalam menghadapi beragam potensi bencana di masa mendatang.
———— *** ————–


