Hasil seleksi nasional penerimaan mahasiswa baru atau SNPMB lewat jalur tes atau seleksi nasional berdasarkan tes (SNBT) di perguruan tinggi negeri tahun akademis 2024/2025 diumumkan pada pekan lalu. Hasil seleksi itu menunjukkan perguruan tinggi akademis tetap menjadi favorit para calon mahasiswa baru.
Meskipun jumlah peminat program studi vokasi juga menunjukkan peningkatan, program studi vokasi yang dipilih mayoritas calon mahasiswa baru itu adalah yang di bawah pengelolaan perguruan tinggi akademis.
Ini menunjukkan lulusan SMK yang melanjutkan studi di perguruan tinggi negeri banyak yang memilih program studi akademis atau sarjana, bukan program studi vokasi.
Perguruan tinggi akademis adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan dengan fokus mengarah pada pendidikan sarjana, yaitu penguasaan dan pengembangan disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni tertentu.
Di perguruan tinggi akademis para mahasiswa harus menguasai aspek analisis, pemahaman konsep, hingga penguasaan ilmu. Data yang cenderung konsisten tiap tahun, bahwa perguruan tinggi akademis menjadi favorit lulusan SMA/SMK/MA untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi, meniscayakan perhatian pemerintah menjaga akses ke perguruan tinggi akademis-universitas, institut, dan sekolah tinggi-yang inklusif.
Artinya, siapa saja lulusan SMA/SMK/MA yang memiliki kemampuan intelektual cukup dan lolos seleksi harus berkesempatan sama untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi (akademis). Lewat seleksi yang ketat inilah akses masuk ke perguruan tinggi akademis-terutama perguruan tinggi negeri-dijaga agar tetap inklusif.
Faktanya, inklusivitas perguruan tinggi akademis “ternodai” dengan biaya masuk dan biaya kuliah yang makin mahal. Perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri, kini terkesan hanya untuk mereka yang kaya. Seorang pejabat Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi menyebut pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier.
Pernyataan ini tidak tepat dalam konteks pembangunan sumber daya manusia Indonesia dan inklusivitas pendidikan tinggi. Menyebut pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier sama saja dengan menyebut pendidikan tinggi bukanlah prioritas bagi lulusan SMA/SMK/MA.
Seolah-olah hanya orang-orang tertentu, yang mampu secara ekonomi, yang bisa mengenyam pendidikan tinggi. Pemerintah berkewajiban menjamin seluruh anak bangsa lulusan SMA/SMK/MA yang memiliki kemampuan intelektual cukup-dan lolos seleksi-bisa merasakan pendidikan di perguruan tinggi, termasuk dari kalangan keluarga miskin.
Realitas bahwa kini perguruan tinggi makin mahal dan hanya bisa diakses kalangan kaya adalah kesalahan fatal pemerintah yang gagal menjaga akses ke perguruan tinggi-terutama perguruan tinggi negeri-inklusif sepenuhnya.
Realitas ini harus dikoreksi. Protes masif atas rencana kenaikan uang kuliah tunggal beberapa waktu lalu adalah bagian dari protes terhadap praktik kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi. Praktik yang menyebabkan akses ke perguruan tinggi negeri tak lagi inklusif. Pemerintah harus selekasnya mengoreksi realitas ini.
———– 000 —————