Oleh :
Nur Kamilia
Dosen Hukum STAI Nurul Huda Situbondo
Dunia saat ini menghadapi tantangan kemanusiaan yang semakin kompleks, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah. Konflik bersenjata, krisis pangan, pandemi, dan perubahan iklim menjadi faktor utama yang memperburuk kondisi masyarakat rentan. Populasi di wilayah ini sering kali kekurangan akses terhadap kebutuhan dasar seperti pangan, air bersih, dan layanan kesehatan. Dalam konteks global, situasi ini bukan hanya masalah lokal, tetapi memengaruhi stabilitas regional dan bahkan keamanan internasional.
Salah satu tantangan terbesar adalah ketergantungan negara-negara berpenghasilan rendah pada bantuan luar negeri. Selama beberapa dekade, donor internasional dan lembaga kemanusiaan telah menjadi sumber utama pendanaan untuk program kesehatan, pendidikan, dan bantuan pangan. Ketika aliran bantuan mengalami penurunan akibat dinamika politik atau ekonomi di negara donor, efeknya langsung terasa pada populasi yang rentan. Program-program yang sebelumnya berjalan stabil menjadi terhenti atau berkurang cakupannya, meningkatkan risiko penyakit, malnutrisi, dan kematian dini.
Kondisi ini menimbulkan dilema serius bagi pemerintah lokal. Di satu sisi, mereka berusaha mempertahankan layanan dasar dengan sumber daya yang terbatas. Di sisi lain, krisis kemanusiaan menuntut respons cepat dan efektif yang sering kali memerlukan bantuan eksternal. Ketidaksiapan atau kekurangan kapasitas administratif dapat memperburuk situasi, menciptakan lingkaran setan kemiskinan dan kerentanan.
Akibatnya, masyarakat yang paling lemah menjadi korban paling nyata dari kegagalan sistem.
Selain itu, krisis kemanusiaan berdampak pada aspek sosial dan politik. Ketidakadilan dalam distribusi bantuan, kelangkaan sumber daya, dan ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar dapat menimbulkan ketidakpuasan publik.
Dalam beberapa kasus, ketidakpuasan ini berkembang menjadi ketegangan sosial atau konflik internal. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kemanusiaan bukan hanya persoalan etika, tetapi juga berkaitan erat dengan stabilitas sosial dan tata kelola pemerintahan.
Fenomena krisis kemanusiaan juga memperlihatkan pentingnya koordinasi internasional. Respons yang parsial atau tidak terintegrasi sering kali menghasilkan tumpang tindih program atau ketidakefisienan alokasi sumber daya. Lembaga multilateral, organisasi non-pemerintah, dan negara donor harus bekerja sama secara harmonis agar bantuan dapat menjangkau masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Koordinasi yang baik tidak hanya meningkatkan efektivitas bantuan, tetapi juga membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem kemanusiaan global.
Di tengah tantangan tersebut, Indonesia dapat belajar banyak dari pengalaman negara-negara berpenghasilan rendah lainnya. Solidaritas internasional, baik melalui kontribusi finansial, teknis, maupun diplomasi kesehatan, menjadi kunci untuk menghadapi krisis. Indonesia, dengan pengalaman dalam penanggulangan bencana alam dan program kesehatan masyarakat, memiliki potensi untuk berbagi pengetahuan dan praktik terbaik melalui forum internasional maupun kerja sama bilateral.
Selain itu, krisis kemanusiaan ini menekankan pentingnya pembangunan kapasitas domestik. Ketergantungan berlebihan pada bantuan luar negeri, meskipun dapat menyelamatkan situasi jangka pendek, menyimpan risiko jangka panjang. Peningkatan kapasitas layanan kesehatan, penguatan sistem pendidikan, dan perbaikan infrastruktur sosial menjadi fondasi penting untuk menghadapi guncangan global. Investasi ini tidak hanya melindungi masyarakat dari risiko kemanusiaan, tetapi juga memperkuat daya tahan nasional dalam menghadapi tantangan di masa depan.
Lebih jauh, isu ini menyoroti keterkaitan antara kesehatan global, keamanan, dan ekonomi. Krisis kemanusiaan yang tidak tertangani dapat mengganggu produksi pangan, perdagangan regional, dan mobilitas tenaga kerja. Negara-negara berkembang yang memiliki hubungan ekonomi dengan wilayah terdampak akan merasakan efek domino dari krisis tersebut. Oleh karena itu, perhatian terhadap masalah kemanusiaan bukan hanya tindakan altruistik, tetapi juga strategi pembangunan yang cerdas dan berjangka panjang.
Selain persoalan geopolitik dan ekonomi, dampak sosial krisis kemanusiaan juga sangat nyata. Berkurangnya bantuan dapat memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap layanan publik, terutama di negara-negara yang sangat bergantung pada program bantuan internasional. Ketika layanan kesehatan, pendidikan, atau pangan menjadi tidak konsisten atau terhenti, kelompok masyarakat paling rentan seperti perempuan, anak-anak, dan komunitas miskin menjadi pihak yang paling terdampak. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi memperlebar kesenjangan sosial antarnegara dan meningkatkan risiko krisis lintas batas di masa depan.
Dalam konteks ini, peran negara-negara berkembang juga tidak boleh pasif. Indonesia, misalnya, dapat memperkuat diplomasi kesehatan melalui kerja sama Selatan-Selatan, berbagi pengalaman dalam penguatan layanan kesehatan primer, serta berkontribusi dalam forum multilateral. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat posisi Indonesia di tingkat global, tetapi juga menunjukkan komitmen terhadap solidaritas internasional.
Situasi saat ini menekankan bahwa perhatian terhadap krisis kemanusiaan harus bersifat berkelanjutan. Solidaritas, koordinasi, dan kapasitas domestik yang kuat menjadi kunci untuk mencegah situasi darurat menjadi bencana kemanusiaan berkepanjangan. Bagi Indonesia, pengalaman internasional ini dapat menjadi refleksi penting dalam memperkuat sistem sosial, kesehatan, dan kebijakan publik. Dengan perspektif yang tepat, investasi pada kapasitas nasional dan partisipasi aktif dalam kerja sama global akan menjadi fondasi bagi masa depan yang lebih aman dan berkeadilan bagi semua.
————– *** —————–


