Oleh :
Akhmad Faishal
Pengelola Perpustakaan SMAN 15 Surabaya dan Pengajar Freelance Sosio-Sejarah di PT. Kreasi Edulab Indonesia
Ternyata, dibalik persentase penurunan atau rendahnya tingkat kemampuan literasi remaja dalam PISA, kalau diamati salah satu faktor penyebabnya yakni, ketiadaan role model literasi dari orang-orang dewasa. Ada poin penting yang dapat diambil dari seminar nasional yang diselenggarakan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) pada Selasa, 23 September 2025 lalu. Yakni, terkait perlunya role model literasi sebagai upaya untuk meningkatkan literasi masyarakat.
Kesimpulan ini, penulis ambil dari pemaparan Dr. Dessy Harisanty (Guru Besar Vokasi Unair) dimana penulis juga hadir sebagai peserta dalam acara seminar itu. Ia menanggapi pertanyaan salah satu peserta tentang mengapa minat baca dikalangan remaja begitu rendah. Dr. Dessy menjelaskan dengan menitikberatkan pada peran keluarga, khususnya orang tua. Hal itu disebabkan, posisi orang tua yang dianggap sangat dekat dan berperan penting untuk menaikkan kemampuan literasi remaja. Hal itu membuatnya harus menjadi contoh utama.
Idelanya, kalau orang tuanya memiliki sikap cinta baca buku, anaknya pun akan memiliki kecintaan yang serupa. Sayangnya, dalam implementasi di lapangan ternyata tidak seperti itu. Mengutip laporan digital 2024 : Global Overview Report oleh We Are Social (goodstats.id) mayoritas generasi muda lebih banyak menghabiskan waktu untuk media sosial (63 persen) dibandingkan dengan membaca buku (27 persen). Bahkan, aktivitas tersebut lebih rendah daripada persentase menghabiskan waktu untuk berolahraga (32 persen) dan bermain dengan teman (38 persen). Apalagi menurut laporan yang sama, secara keseluruhan generasi, mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk media sosial (3 jam) dibandingkan dengan membaca media pers (1 jam).
Ditambah seringkali orang tua mengabaikan hal semacam itu. Dan anak diberikan kebebasan yang boleh jadi justru menjauhkannya dari sikap itu. Hal inilah yang menjadi penyebab ketiadaan role model literasi. Di samping itu, Dr. Dessy juga menyoroti bahwa penting sekali di dalam sebuah rumah terdapat koleksi buku. Hal ini sebagai alternatif agar sesekali remaja membuka buku, kalau bosan bermain HP atau hendak berganti bacaan. Dari digital ke fisik.
Namun, penulis merasa hal tersebut belumlah efektif. Karena, kenyataannya sebagian besar waktu remaja kekinian lebih banyak dihabiskan di luar rumah. Atau sebagaimana berdasar laporan diatas bahwa waktu mereka lebih banyak scroll media sosial. Tiktok dan instagram menjadi media sosial yang paling banyak diakses (70 – 81 persen) dan waktu yang dihabiskan 16 – 38 jam per bulan. Belum ditambah dengan banyak waktu yang dihabiskan di sekolah daripada di rumah. Oleh sebab itu, peranan perpustakaan sekolah dalam hal ini menjadi terasa penting.
Pada pembicara kedua, yakni Bambang Prakoso (Dosen Ilmu Perpustakaan UWKS) memaparkan contoh para tokoh penggila buku. Yakni, Moh. Hatta, Soekarno, dan Sutan Sjahrir. Ketiganya memang sangat terkenal dan melegenda, hanya saja bagi generasi muda mereka kurang relevan untuk kehidupan atau contoh gaya hidup masa kini. Termasuk, Elon Musk, Larry Page, dan pendiri BYD, Wang Chuanfu.
Ketiga tokoh yang terakhjr itu juga, meski masih hidup dan hadir dalam kehidupan para remaja masa kini, tetapi pihak-pihak tersebut tidak begitu dekat dalam keseharian mereka. Hal ini membuat peluang untuk meningkatkan kemampuan literasi melalui role model generasi muda kekinian menjadi kecil. Bahkan, mustahil.
Remaja kekinian lebih menggandrungi tokoh-tokoh muda yang aktif di media sosial para generasi muda. Seperti Rachel Vennya, Fuji, Jennifer Bachdim, Nanda Arsyinta, dan Tasya Farasya. Selain itu ada juga Denny Sumargo, Deddy Corbuzier, Tretan Muslim, Raditya Dika, Panji Pragiwaksono, termasuk wapres RI Gibran Rakabuming Raka dan lainnya. Mereka tokoh muda yang sangat digandrungi dan memiliki efek kejutan yang cukup besar. Tentu, mohon maaf dibandingkan dengan Duta Literasi Perpustakaan Nasional seperti Najwa Shihab dan Gol A Gong, efek keduanya hanya dirasakan di kantong-kantong kelompok kecil saja.
Dengan memanfaatkan kepopuleran para pesohor itu, masih ada asa untuk menaikkan kemampuan literasi para remaja, lebih-lebih mampu menaikkan ranking Indonesia di ranah PISA.
Dalam upaya itu, ada banyak strategi yang disampaikan oleh para pemateri. Contohlah pembentukan lingkungan pergaulan literasi, adanya kelas literasi hingga membentuk klub literasi. Hanya saja, pada saat ini memang yang terpenting yaitu memunculkan sosok penggeraknya. Sosok yang mampu memunculkan kesan dan kejutan hebat, kalau membaca buku merupakan aktivitas gaya hidup kekinian. Oleh sebab itu, kiranya diperlukan langkah agresif dari pihak IPI dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, baik kota maupun provinsi dapat menggandeng mereka untuk tujuan semacam itu. Bukankah para pembicara dalam forum itu mendorong agar pihak yang terjun dalam dunia perpustakaan dan literasi tidak melangkah sendiri-sendiri?
Dan tentu langkah itu dirasa tepat bagi kepemimpinan baru IPI di bawah komando Prasetyo Adi (Ketua IPI periode 2025-2028). Kerja sama antar pihak itu nantinya akan mendatangkan keuntungan yang tidak hanya dirasakan oleh IPI maupun Dinas terkait. Melainkan juga dari pihak-pihak yang terintegrasi dengan bidang perpustakaan serta literasi.
Langkah itu juga akan mampu mengubah kehidupan remaja saat ini yang rentan dengan tindakan-tindakan yang menjurus ke arah kriminal. Contoh, kasus yang baru-baru ini terjadi. Pembakaran bangunan berstatus cagar budaya, Mapolsek Tegalsari, di Kota Surabaya. Tidak hanya itu, kemunculan sikap ketersinggungan yang menjadi alasan baku hantam, kesulitan berkomunikasi dengan baik, dan bahkan ada kecenderungan untuk merusak toleransi yang dapat menimbulkan kegaduhan. Semua itu memang tidak terlepas dari kemampuan literasi remaja yang rendah atau minim.
Maka, sungguh akan terlambat, kalau poin tentang sosok role model literasi ini tidak direspon secara serius. Dan mengapa belum ada kesadaran yang mengarah ke sana. Mungkin, penulis juga akan mengabaikan sosok role model, kalau tidak hadir disana. Tentu, role model literasi ini diharapkan dapat mencegah kejadian semacam itu akan terulang kembali pada masa-masa mendatang.
Yang terakhir, terkait peranan sekolah sebagaimana yang disinggung oleh Dr. Dessy kiranya juga perlu diperhatikan. Bahwasanya harus ada kerjasama antar pihak, yakni Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, Dinas Pendidikan, dan pihak penerbit. Ketiganya akan menjadi pilar untuk menjalankan program sebagaimana yang dijalankan di Jepang (berdasarkan penuturan Dr. Dessy).
Program 15-20 menit membaca sebelum dimulai mata pelajaran pertama atau setelah berdoa diberikan waktu khusus untuk itu. Kalau berdasarkan contoh yang disampaikan olehnya, program ini baik dan memang seharusnya ada. Mereka diwajibkan membaca karya sastra sebagai langkah pertama untuk memancing ketertarikan membaca. Semisal, pada jenjang SMA kelas X wajib membaca Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Kelas XI wajib membaca Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Jenjang kelas XII wajib membaca Bumi Manusia karya Pramodya Ananta Toer.
Tentu usaha semacam itu menjadi salah satu cara meningkatkan literasi para remaja. Selain itu, juga sebagai bentuk pencegahan agar para remaja tidak melakukan tindakan tercela yang menjurus pada tindakan kriminal.
Dengan demikian peran penuh dari semua pihak sangat ditunggu demi mewujudkan generasi muda yang melek informasi.
———– *** ————–


