28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Refleksi Polemik Bendera One Piece

Oleh :
Rahmat Hidayat
Guru MTsN 1 Sumenep dan Founder Rumah Belajar Literasi

Baru-baru ini, jagat media sosial digemparkan oleh fenomena pengibaran bendera Jolly Roger yang berasal dari anime One Piece. Bendera dengan simbol tengkorak dan tulang silang ini tentu tidaklah asing di mata para penggemarnya-termasuk penulis.

Tindakan tersebut kemudian memicu beragam respon, baik positif maupun negatif. Namun, sebagian pejabat memberikan tanggapan sinis terhadap pengibaran bendera One Piece yang dilakukan oleh sejumlah warga.

Salah satunya, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menyatakan bahwa pengibaran bendera bajak laut One Piece menjelang HUT ke-80 Kemerdekaan Indonesia merupakan bentuk pelanggaran hukum sekaligus tindakan makar.

Hal itu disebut-sebut dapat mencederai simbol negara. Tanggapan negatif tersebut menimbulkan pertanyaan dalam pikiran. Benarkah pengibaran bendera tengkorak dan tulang silang itu melanggar hukum di negeri ini?

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 menegaskan bahwa pengibaran bendera lain diperbolehkan selama tidak lebih tinggi atau lebih besar dari Bendera Merah Putih. Dalam banyak video dan gambar yang beredar, posisi bendera One Piece tidak lebih tinggi dari bendera negara.

Sejatinya, pengibaran bendera bajak laut tersebut merupakan bentuk kritik terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah yang belakang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Sebagai simbol yang hidup di ruang virtual, ia tidak muncul dari ruang hampa.

Suara Hati
Pemerintah tidak perlu gegabah menganggap pengibaran bendera One Piece sebagai tindakan makar, apalagi melakukan penangkapan terhadap rakyat sipil yang melakukan tindakan tersebut.

Berita Terkait :  Peringati Hari Bhayangkara, Polres Gresik Gelar Donor Darah dan Bagikan Kacamata Gratis

Keberadaan bendera tersebut jelas tidak dimaksudkan untuk menggantikan Bendera Merah Putih sebagai simbol negara. Sebab, bendera itu bukan milik ideologi kelompok tertentu. Bahkan secara legal-formal, pengibaran simbool tersebut diperbolehkan selama sesuai ketentuan undang-undang.

Berkibarnya bendera bergambar tengkorak dan tulang silang di berbagai tempat adalah simbol yang mewakili suara hati rakyat yang mulai muak dengan situasi suram di republik ini.

Sebagaimana para bajak laut dalam anime One Piece, rakyat menggunakan bendera Jolly Roger sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan dan sebagai ekspresi kekecewaan atas kinerja penguasa yang kurang memuaskan.

Perlu digarisbawahi bahwa kritik berbasis simbol bukan hal baru dalam khazanah sosial masyarakat Nusantara. Ia memiliki akar historis yan panjang.

Menurut Purnawan Basundoro, dalam Jawa Pos (05/08/25), ketika kekuasaan politik monarki masih kuat di Nusantara, wong cilik (orang kecil) melakukan tindakan simbolik untuk mengkritik kebijakan raja yang dirasa tidak adil. Aksi itu dikenal sebagai tapa tepe.

Mereka duduk bersila di depan pintu keraton selama berjam-jam, berjemur di bawah terik matahari, menunggu dengan penuh tekad hingga sang raja keluar dari istananya untuk mendengarkan keluhan atau uneg-uneg mereka.

Kini, bendera One Piece menjadi bahasa alternatif yang dipilih oleh masyarakat dalam menyuarakan kritik. Pilihan simbol ini muncul ketika bahasa aksi (demonstrasi), bahasa lisan, dan bahasa tulisan tidak lagi mampu mengetuk pintu hati para penguasa yang membatu

Sebagai ‘homo symbolicus’, manusia menggunakan simbol untuk merepresentassikan pikiran dan perasaan, sebagaimana yang dinyatakan Clifford Geertz, seorang antropolog terkemuka Amerika. Simbol adalah media untuk berkomunikasi, berinteraski dan beintegrasi dalam kehidupan sosial.

Berita Terkait :  Rutan Situbondo Tandatangani Kerjasama Pemberantasan Narkoba dan HP

Simbol juga membantu manusia dalam memaknai apa yang terjadi di lingkungannya. Oleh sebab itu, simbol yang lahir dari kreativitas manusia lebih bersifat publik dan tidak individual

Kritik simbolik melalui pengibaran bendera One Piece adalah bagian dari partisipasi publik dalam demokrasi. Fenomena ini merepresentasikan keresahan masyarakat atas situasi sosial dan ekonomi yang suram, gelap dan tanpa harapan

Karena itu, aparat negara tidak perlu melakukan razia atau intimidasi kepada warga yang mengibarkan bendera One Piece. Tindakan semacam itu justru mencederai prinsip demokrasi yang menjamin kebebasan berekspresi.

Otokritik
Menghadapi fenomena ini, pemerintah seharusnya tidak merespon dengan penindakan, apalagi represi. Yang dibutuhkan bukan hukuman, melainkan refleksi diri, perbaikan sistem, dan realisasi janji-janji politik yang pernah diumbar.

Para pejabat yang menikmati “kue kekuasaan”-mulai dari presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, hingga bupati-perlu bercermin secara jernih sebagai bentuk otokritik. Sudahkah mereka hadir sebagai pengayom rakyat atau justru menjadi pemeras?

Bercermin berarti mempertanyakan dengan jujur: apakah kebijakan yang dibuat benar-benar didasarkan pada kepentingan rakyat atau hanya untuk melayani kepentingan elit birokrasi? Sebelum viralnya pengibaran bendera One Piece, publik disuguhi serangkaian kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil.

Contohnya, ketiadaan langkah strategis untuk mengatasi jumlah kemiskinan dan pengangguran, di tengah besarnya gelombang PHK yang menimpa kalangan usia produktif. Tekanan ekonomi akibat inflasi rupiah juga semakin menyulitkan rakyat dalam memenuhi kebutuhan pokok. Situasi ini diperparah dengan lahirnya kebijakan-kebijakan yang tidak pro-rakyat.

Berita Terkait :  Didik Madiyono Ditunjuk sebagai Plt Ketua Dewan Komisioner LPS

Misalnya, kebijakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang menyatakan bahwa tanah yang menganggur selama dua tahun akan diambil alih oleh negara-kebijakan ini menghantam rasa keadilan.

Belum lagi usulan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Fahri Hamzah, yang ingin mengenakan pajak tinggi bagi rumah tapak di kota agar rakyat “dipaksa” pindah ke rumah susun. Kebijakan ini terkesan represif karena menggunakan pajak sebagai alat pemaksaan.

Kebijakan lain yang juga menimbulkan kegelisahan adalah pemblokiran rekening dormant oleh PPATK, yang memicu kepanikan publik.

Dan terakhir, pernyataan kontroversial Bupati Pati yang menantang warga untuk berdemo usai menaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen. Sikap arogan tersebut kemudian menuai protes keras dari masyarakat.

Semua kebijakan dan sikap pejabat yang jauh dari keadilan itulah yang menyulut kemarahan kolektif.

Pengibaran bendera One Piece merupakan perlawanan simbolik sekaligus alarm sosial yang mengingatkan setiap pemangku kebijakan agar segera memenuhi janji-janji politik mereka.

Jangan sampai pemerintah justru membalikkan narasi dan menuduh warga yang menggibarkan bendera tengkorak dan tulang silang sebagai pelaku makar atau penghina simbol negara.

Kritik harus direspon dengan aksi nyata, bukan dengan intimidasi atau kampanye pencitraan yang dijalankan buzzer yang tak kasat mata.

————— *** ——————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru