25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Mubadalah di Era Digital: Rumah Tangga Juga Perlu Literasi Digital dan Emosi

Oleh :
Nur Kamilia
Dosen Hukum STAI Nurul Huda Situbondo

Di era sekarang, gawai adalah benda pertama yang kita lihat saat bangun dan terakhir sebelum tidur. Tidak terkecuali dalam rumah tangga, digitalisasi sudah menjadi bagian dari dinamika relasi suami-istri. Komunikasi via WhatsApp, pengelolaan keuangan lewat aplikasi, bahkan cek kabar pasangan lewat unggahan Instagram atau status Facebook. Tapi pertanyaannya: apakah kedekatan digital ini membuat kita semakin dekat secara emosional?

Realitanya, tidak selalu. Justru semakin banyak konflik rumah tangga yang dipicu oleh kesalahpahaman lewat media digital dari pesan yang dibaca tapi tak dibalas, status yang menyinggung, hingga interaksi pasangan dengan orang lain di media sosial yang menimbulkan rasa cemburu atau curiga.

Di sinilah pentingnya literasi digital dan literasi emosi dalam rumah tangga. Dan lebih jauh lagi, prinsip mubadalah kesalingan, keadilan, dan empati harus diterapkan dalam kehidupan digital kita sehari-hari. Sebab mubadalah tidak berhenti di dapur dan ruang tamu, tapi juga hadir dalam notifikasi dan kolom komentar.

Ketika Privasi dan Kepercayaan Dipertaruhkan
Salah satu persoalan yang sering muncul adalah soal privasi. Sebagian pasangan merasa perlu memeriksa ponsel satu sama lain sebagai bentuk keterbukaan. Sebagian lagi menganggap hal itu melanggar batas privasi. Di sinilah nilai mubadalah bisa menjadi jembatan: kepercayaan dibangun bukan dari pengawasan, tapi dari komunikasi yang terbuka dan saling percaya.

Berita Terkait :  Peringati HUT Ke-24 Partai Demokrat, DPC Lakukan Doa untuk Negeri dan Bhakti Sosial

Suami tidak perlu merasa “menguasai” ponsel istri, dan sebaliknya. Jika ada rasa curiga, bukan HP yang perlu dibongkar, tapi dialog yang harus dibuka. Mubadalah mengajarkan bahwa tidak ada relasi yang sehat jika satu pihak menekan, dan pihak lain merasa diawasi.

Overthinking Digital: Beban Emosi yang Tak Terlihat
Fenomena lain adalah overthinking digital, yang diam-diam menghantui banyak istri bahkan tanpa diketahui suami. Misalnya, istri melihat suaminya aktif di grup lain tapi tidak membalas pesan darinya. Atau melihat suami menyukai unggahan perempuan lain di media sosial, dan itu memicu kecemasan.

Dalam relasi mubadalah, suami perlu belajar peka terhadap beban emosi digital yang dialami pasangannya. Tindakan kecil seperti membalas pesan dengan tulus, memberi tahu jika sedang sibuk, atau menghindari interaksi yang menimbulkan persepsi negatif, bisa menjadi bentuk kasih sayang yang nyata.

Di sisi lain, istri juga bisa menerapkan prinsip yang sama tidak menyimpan prasangka terlalu lama, dan memberi ruang kepada pasangan untuk menjelaskan. Relasi saling memahami adalah kunci agar digitalisasi tidak berubah menjadi jurang.

Media Sosial: Cermin atau Topeng?
Banyak pasangan juga mengalami tekanan sosial akibat perbandingan digital. Melihat pasangan lain membagikan momen romantis, hadiah mahal, atau liburan mewah, bisa membuat seseorang merasa rumah tangganya “biasa saja.” Akibatnya, muncul rasa tidak puas, merasa kurang dicintai, bahkan memicu konflik dengan pasangan.

Berita Terkait :  Disnaker Situbondo Gelar Job Fair, Sediakan 6.470 Lowongan Kerja

Mubadalah hadir sebagai pengingat bahwa setiap rumah tangga punya cerita dan perjalanan sendiri. Kita tidak sedang berlomba menjadi pasangan paling mesra di internet, tapi menjadi pasangan yang saling menguatkan di dunia nyata. Apresiasi kecil setiap hari, saling dukung dalam kesulitan, dan keterbukaan soal harapan adalah wujud cinta yang lebih penting dari sekadar unggahan.

Etika Digital dalam Rumah Tangga
Dalam Islam, akhlak tidak hanya berlaku di dunia nyata, tapi juga dalam ruang digital. Mubadalah memperluas nilai-nilai itu ke ranah daring: tidak menyindir pasangan di status, tidak membuka aib keluarga di media sosial, dan menjaga etika dalam berinteraksi dengan lawan jenis di platform digital.

Jangan sampai layar 6 inci membuat kita lupa akan perasaan orang yang tidur di sebelah kita. Jangan sampai dunia maya menjadi tempat kita lebih hangat kepada orang asing daripada kepada pasangan sendiri.

Literasi Digital + Literasi Emosi = Rumah Tangga Tahan Uji

Untuk menjaga keharmonisan rumah tangga di era digital, kita butuh dua hal: literasi digital (memahami cara kerja teknologi, etika bermedia, serta perlindungan data dan privasi), dan literasi emosi (kemampuan mengenali, mengelola, dan merespons emosi dengan sehat).

Prinsip mubadalah menuntun kita untuk terus saling belajar tidak hanya membagi tugas domestik dan ekonomi, tapi juga membagi perhatian, kepedulian, dan waktu berkualitas di tengah kesibukan digital.

Berita Terkait :  Merayakan 10 Muharram Bersama Keluarga: Antara Tradisi, Cinta dan Kesadaran Sosial

Hubungan yang sehat tidak ditentukan oleh status “online”, tetapi oleh kemampuan untuk tetap hadir baik secara fisik, emosi, maupun spiritual. Mubadalah menawarkan jalan: bukan siapa yang paling dominan dalam rumah tangga, tapi siapa yang paling mampu menyayangi dengan adil, termasuk dalam ruang digital yang kini tak terpisahkan dari kehidupan kita.

Maka dari itu, di tengah dunia yang makin cepat dan terkoneksi, mari kita bangun rumah tangga yang bukan hanya canggih, tapi juga beradab secara digital, beradab secara emosional, dan tentu saja berkesalingan secara mubadalah.

—————- *** ———————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru