Oleh:
Ali Mursyid Azisi, M.Ag
Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI) & Pengamat Sosial-Politik, Nahdliyyin
Sebagai warga Nahdliyyin di akar rumput, hati saya ikut teriris menyaksikan gonjang-ganjing yang kini melanda tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Penyebab utamanya bukan dari pihak ekstrenal, melainkan dari ketidakakuran elit Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan macetnya roda organisasi NU itu sendiri. Beberapa bulan terakhir, NU kerap disorot media: dari fenomena Gus-gus-an, hingga tudingan feodalisme pesantren yang memantik banyak hujatan netizen. Kini, hujatan tersebut semakin membara. Bukan hanya dari pihak eksternal, melainkan juga dari warga NU sendiri yang kecewa dengan para petinggi NU sekaligus adanya politik kekuasaan (manuver) segelintir pihak di PBNU.
Macetnya Roda Organisasi dan Krisis Kepercayaan
Gejolak tuntutan mundur Gus Yahya ini bukan sekadar riak perselisihan internal biasa, melainkan cerminan kelam dalam kepemimpinan tertinggi NU. Sumbu konflik yang mengemuka adanya Surat Edaran yang dihasilkan dari Rapat Harian Syuriah yang digawangi oleh Sekjen Gus Saifullah Yusuf dan Bendahara Umum Gus Gudfan, namun, tidak melibatkan Ketum PBNU. Janggalnya lagi, SE tersebut hanya dibubuhi tanda tangan Rais Aam. Situasi ini menunjukkan mesin organisasi yang berjalan tanpa melibatkan nahkoda utamanya. Jelas, manuver yang kental dengan makna politis sedang dimainkan di tubuh NU.
Secara formal, alasan pemecatan bertumpu pada isu undangan narasumber AKN Peter Berkowitz yang terafiliasi dengan zionis-Israel. Namun, publik meyakini bahwa di balik layar, tersimpan motif yang jauh lebih substansial: seperti tuduhan “one-man show”, isu infiltrasi, dan indikasi manuver struktural diam-diam menjelang muktamar berikutnya.
Tak bisa dimungkiri, NU merupakan organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Dominasi ini terbukti dari hasil survei tahun 2023 oleh Lembaga Survei Indonesia yang mencatat bahwa 56,9% masyarakat mengaku berafiliasi dengan NU. Tahun berikutnya jumlahnya meningkat, Alvara Research Center pada September 2024 merilis terjadi penetrasi mencapai 57,6%. Data ini menegaskan posisi NU sebagai raksasa organisasi di Tanah Air.
Bayangkan, sebuah entitas sebesar ini, yang seharusnya fokus mengayomi dan menjalankan roda jam’iyah untuk kepentingan umat, justru harus menghadapi “silent treatment” dari Sekjen, Bendahara Umum, dan Rais Aam terhadap Ketua Umumnya.
Sikap demikian adalah bukti nyata bahwa struktural NU saat ini tengah macet, bahkan mati! Apakah Rais Aam menjadi korban dari semua intrik ini, ataukah justru terlibat? Terlepas dari itu, langkah tersebut dinilai tidak tepat secara teknis, sebab penggulingan Ketum harus tunduk pada mekanisme yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Baik Rais Aam maupun Ketum sama-sama merasa memegang mandat dari Muktamar, namun jika AD/ART diabaikan, maka ke depan pedoman tersebut hanya akan menjadi draf mati tanpa fungsi bagi organisasi.
Namun, semua bisa berubah. AD/ART terkadang bisa diakali jika ada kebutuhan mendesak, seperti menyelamatkan jam’iyah NU misalnya. Semua sudah terjawab, bahwa penggulingan Gus Yahya sebagai Ketum secara resmi ditetapkan sejak 26 November 2025 melalui SE terbaru yang dikeluarkan pada 26 November 2025 pukul 00:45. SE yang tertandatangani KH. Afifuddin Muhajid sebagai Waki Rais Aam dan KH. A. Tajul Mafakhir sebagai Katib secara garis besar mengembalikan kendali NU pada Rais Aam. Pertama dalam sejarah, Ketum PBNU diberhentikan.
Gagal Menghidupkan Gus Dur
Sejak awal kepemimpinannya, Gus Yahya lantang menggaungkan jargon “Menghidupkan Gus Dur”, yang kemudian diterjemahkan melalui agenda-agenda internasional. Salah satunya yaitu peran strategis NU dalam perdamaian konflik global, seperti melalui forum Religion of Twenty (R20), Humanitarian Islam, hingga Muktamar Fikih Peradaban.
Ironisnya, semua upaya tersebut seolah runtuh seketika manakala beberapa waktu lalu Ketum kedapatan mengundang akademisi terafiliasi Israel pada forum kaderisasi tertinggi NU dan menjadikan Charles Holland Taylor penasihat khusus PBNU yang juga kedapatan terafiliasi zionis. Bahkan, PBNU sendiri justru dilanda konflik internal.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin NU bisa berkontribusi pada perdamaian global jika di dalam “rumah”-nya sendiri tengah terjadi perang dingin? Apa yang terjadi ini jelas jauh panggang dari api dan bertolak belakang dengan nilai-nilai luhur Gus Dur dan Muassis (pendiri) NU yang selalu menjunjung kearifan dan persatuan.
Parahnya lagi, kini muncul isu miring soal masalah tambang yang diduga menjadi pemicu ketidakpercayaan di antara elit PBNU. Jika isu ini benar, maka ini merupakan “benalu jam’iyah” yang menggeser tujuan utama NU (melayani umat dan membangun bangsa), menjadi arena perebutan kekuasaan dengan mengendarai nama besar NU.
Jalan Pulang: Menyederhanakan dan Mengembalikan Nafas NU
Saya sangat sepakat dengan statemen Prof. Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), dalam merespon gejolak ini. Di instagramnya, berliau menulis “Menyederhanakan NU”, upaya untuk mengembalikan organisasi pada nadi perannya. Upaya pertama, menata ulang struktur puncak agar tidak terjadi dualisme antara Rais Aam dan Ketua Umum. Cukup Rais Aam yang dipilih Muktamar, dan Ketua Umum dipilih oleh Rais Aam terpilih.
Kedua, kemandirian ekonomi NU harus betul-betul diterapkan, bukan sekadar jargon kosong. Tujuannya supaya NU tidak tergantung pada pihak ketiga atau segelintir orang yang menunggangi dan memanfaatkan organisasi. Ketiga, dengan mengembalikan NU ke nafas awal yang didirikan atas dasar kesederhanaan: mengajar, mengayomi umat, bukan sibuk “berdinamika”. “Ulama adalah mereka yang memberikan ketenangan, ketentraman, mengayomi umat dan tidak menimbulkan ketakutan pada umatnya.” Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA, dalam sambutannya pada “Multaqo Ulama, Habib, dan Cendekiawan Muslim, 2019.
Konflik PBNU ini bisa dibaca melalui teori Organisational Culture yang dikemukakan oleh Edgar H. Schein dalam bukunya Organizational Culture and Leadership (2010). Schein berargumen bahwa konflik yang muncul di tingkat elit (level Espoused Values atau nilai-nilai yang dinyatakan) dan melanggar aturan dasar organisasi (level Artifacts atau struktur yang terlihat, seperti AD/ART) menunjukkan adanya erosi pada Basic Underlying Assumptions (asumsi dasar yang tak terucapkan), yaitu nilai-nilai luhur pendirian organisasi, seperti keikhlasan, ketulusan, dan pengabdian ulama. Ketika kepentingan politik dan ekonomi (yang bertentangan dengan asumsi dasar) mulai mendominasi, maka stabilitas dan tujuan organisasi akan terancam.
NU, sebagai organisasi yang mengklaim menjunjung tinggi ukhuwwah, moderasi (wasathiyyah), keadilan (‘al-adl), dan nafas-nafas Islam santun kini sedikit memudar. Kegaduhan ini tidak mencerminkan wajah NU sesungguhnya. Maka, mengembalikan nafas NU adalah jalan satu-satunya.
Mengembalikan nafas NU berarti kembali pada relnya: berkhidmah untuk umat, bukan berkhidmah untuk kekuasaan. Saatnya kini bagi para elit PBNU untuk segera menyudahi drama internal. Saatnya duduk bersama, dan mengutamakan maslahat al-‘ammah di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Jangan sampai jantung organisasi yang sakral ini terus tercekik, dan ruh ke-NU-an yang teduh menghilang ditelan hiruk-pikuk politik organisasi.
—————– *** ——————–


