26 C
Sidoarjo
Thursday, November 21, 2024
spot_img

Menanti Gubernur Peduli Kesejahteraan Petani


Oleh :
Sutawi
Kepala LPPM dan Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Sektor pertanian merupakan salah satu andalan perekonomian Provinsi Jawa Timur. Sektor pertanian memberi kontribusi sebesar Rp325,985 triliun (11,04%) dari Rp2.953,546 triliun PDRB Jawa Timur tahun 2023. Provinsi Jawa Timur merupakan gudang pangan nasional, terutama komoditas pertanian dan peternakan. Pada subsektor tanaman pangan, Jawa Timur menyumbang 17,86% produksi padi, 29,97% produksi jagung, 28,03% produksi kedelai, dan 19,02 produksi ubi jalar nasional. Pada subsektor perkebunan, Jawa Timur menyumbang 49,63% produksi tebu nasional. Pada subsektor hortikultura, Jawa Timur menyumbang 41,88% produksi cabai rawit dan 24,13% produksi bawang merah nasional. Pada subsektor peternakan, Jawa Timur menyumbang 22,25% produksi daging sapi, 15,58% produksi daging ayam ras, 14,67% daging ayam buras, 23,61% produksi telur ayam, dan 54,90% produksi susu sapi nasional. Pertanian juga merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar penduduk Jawa Timur. Kementan (2023) mencatat jumlah petani di Jawa Timur sebanyak 6,795 juta (16,36%) dari 41,53 juta penduduk Jawa Timur, terdiri petani tanaman pangan 2,625 juta orang, hortikultura 678.582 orang, perkebunan 1,522 juta orang, dan peternakan 1,969 juta orang.

Banyaknya populasi petani merupakan lumbung suara potensial bagi tiga pasangan calon yang telah dinyatakan memenuhi syarat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur untuk mengikuti kontestasi Pemilihan Gubernur Jawa Timur pada 27 Nopember 2024 mendatang. Ketiga pasangan adalah Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim nomor urut 1, Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak nomor urut 2, dan Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta nomor urut 3. Usai ditetapkan KPU pada 22 September lalu, ketiga pasangan melakukan kegiatan kampanye mulai 25 September sampai 23 November 2024. Dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024 Pasal 1, kampanye diartikan sebagai kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota. Di antara ketiga pasangan cagub-cawagub, hanya pasangan petahana Khofifah-Emil yang secara tersurat menyebut pertanian dan petani pada rumusan visi dan misinya. Pasangan Khofifah-Emil menulis pada misi ke-6, “Jatim Agro: Meningkatkan kesejahteraan petani, peternak, nelayan dengan tata niaga yang berkeadilan, akses optimal kepada sarana produksi, pembiayaan, daya dukung infrastruktur pertanian untuk memperkuat posisi Jawa Timur sebagai penyangga ketahanan pangan nasional.”

Berita Terkait :  Jalan Tol Semakin Panjang, Pangan Semakin Berkurang

Kesejahteraan petani merupakan satu persoalan utama bagi petani. BPS Jawa Timur (2023) mencatat 45% masyarakat miskin di Jawa Timur adalah petani. Hasil Survei Pertanian Terintegrasi (SITASI) tahun 2021 oleh BPS menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan bersih petani skala kecil yang mengelola lahan kurang dari 2 hektar hanya sebesar Rp5,23 juta per tahun (Rp435.833 per bulan), sedangkan usaha pertanian kelompok dan perusahaan pertanian dapat meraup penghasilan sebesar Rp22,980 juta per tahun (Rp1,915 juta per bulan). Penghasilan petani tersebut sangat jauh di bawah upah minimum propinsi Jawa Timur Rp2.114.335-Rp4.525.479 per bulan. Rendahnya pengasilan petani terkait sangat erat dengan luasan lahan yang dikelola petani. Hasil SITASI 2021 menunjukkan sebanyak 99,94 persen unit usaha pertanian perorangan mengelola lahan pertanian rata-rata seluas 0,95 ha, 0,05 persen unit usaha pertanian kelompok mengelola lahan seluas 2,81 ha, dan 0,01 persen perusahaan pertanian mengelola lahan seluas 4,535 ha. Provinsi Jawa Timur termasuk salah satu provinsi dengan petani skala kecil terbanyak di Indonesia sebesar 74,69 persen.

Korporasi Petani
Salah satu upaya strategis untuk meningkatkan kesejahteran petani adalah membangun konsolidasi usahatani melalui pengembangan kelembagaan atau organisasi petani. Upaya ini pernah digagas oleh Menteri Pertanian Muhammad Prakosa pada Era Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) melalui melalui inovasi kelembagaan Corporate Farming. Corporate Farming adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi dari sekelompok petani dengan orientasi agribisnis melalui konsolidasi pengelolaan lahan sehamparan dengan tetap menjamin kepemilikan lahan pada masing-masing petani, sehingga efisiensi usaha, standarisasi mutu, dan efektivitas serta efisiensi manajemen pemanfaatan sumber daya dapat dicapai. Gagasan Corporate Farming ini tidak terlaksana karena Mentan Prakosa diganti Prof. Bungaran Saragih ketika terjadi pergantian pemerintahan Presiden Gus Dur ke Presiden Megawati Soekarnoputri.

Berita Terkait :  Perketat Pengawasan Produk Impor Demi Lindungi UMKM

Hasil penelitian Kasijadi dkk. (2003) menunjukkan bahwa pemberdayaan petani melalui model “Corporate Farming” di Jawa Timur belum dapat diterima petani, terutama penyerahan pengelolaan lahan dan konsolidasi lahan. Sekitar 60 persen petani tidak bersedia lahan usahanya dikelola dalam satu manajemen dan petani sebagai pemegang saham. Pemberdayaan petani yang sesuai dan dapat diterima petani adalah model “Cooperative Farming”, yaitu pengelolaan sarana produksi dan pemasaran secara korporasi. Penerapan model “Cooperative Farming” mampu menekan harga sarana produksi, menurunkan produktivitas minimal untuk mencapai titik impas 5-15 persen, dan dapat meningkatkan daya saing hasil padi, karena dapat meningkatkan produktivitas 5-37 persen, meningkatkan keuntungan bersih 14-64 persen dan keunggulan kompetitif lebih tinggi 7-22 persen.

Gagasan konsolidasi usahatani muncul kembali pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam Rapat Terbatas Kabinet Kerja pada 12 September 2017 Presiden Jokowi menekankan pentingnya penumbuhan dan pengembangan “Korporasi Petani” sebagai landasan peningkatan kesejahteraan petani. Kementan Amran Sulaiman kemudian mengeluarkan Permentan No. 18/2018 Tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani. Pada Pasal 1 (2) disebutkan, Korporasi Petani adalah kelembagaan ekonomi petani berbadan hukum berbentuk koperasi atau badan hukum lain dengan sebagian besar kepemilikan modal dimiliki oleh petani. Di Jawa Timur, gagasan Korporasi Petani ditindaklanjuti oleh Gubernur Khofifah Indar Parawansa melalui Pergub No. 31/2020 Tentang Masterplan Kawasan Pertanian Provinsi Jawa Timur Berbasis Korporasi Petani Tahun 2020-2024.

Berita Terkait :  Dorong Upaya Pengentasan Kemiskinan Melalui Pendidikan

Korporasi petani dibentuk dari, oleh, dan untuk petani melalui konsolidasi manajemen usaha dari skala kecil menjadi skala besar berorientasi ekonomi. Korporasi petani adalah bagian dari transformasi ekonomi, yaitu gerakan besar untuk mengubah sistem ekonomi konvensional menjadi sistem ekonomi yang demokratis. Korporasi petani juga merupakan infrastruktur sosial ekonomi yang akan mentransformasikan kegiatan ekonomi berbasis individual menjadi berbasis korporat. Oleh karena itu, penumbuhan korporasi petani memiliki dimensi strategis dalam pengembangan kawasan pertanian karena diyakini mampu menggerakkan ekonomi melalui pengelolaan sumber daya secara terintegrasi, konsisten, dan berkelanjutan. Korporasi petani bertujuan meningkatkan nilai tambah serta daya saing wilayah dan komoditas pertanian untuk keberlanjutan ketahanan pangan nasional; memperkuat sistem usaha tani secara utuh dalam satu manajemen kawasan; dan memperkuat kelembagaan petani dalam mengakses informasi, teknologi, prasarana dan sarana publik, permodalan, serta pengolahan dan pemasaran. ***

———– *** ————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img