31 C
Sidoarjo
Tuesday, December 16, 2025
spot_img

Media Sosial: Musuh atau Teman Gen Z?


Oleh :
Shafa Athisyah Nurtain
Penulis adalah mahasiswi program studi Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya

Di era digital saat ini, kehidupan manusia seolah tidak dapat dipisahkan dari media sosial. Setiap hari, terutama bagi Gen Z, membuka media sosial telah menjadi rutinitas yang tak terelakkan mulai dari bangun tidur hingga sebelum tidur kembali. Dari semua platform seperti Instagram, Whatsapp, X (Twitter), dan Tiktok yang menjadi salah satu platform paling berpengaruh saat ini.

Aplikasi berbagi video pendek tersebut bukan hanya sekadar hiburan, tetapi telah membentuk standar baru dalam gaya hidup, cara berpikir, bahkan cara menilai diri sendiri dan orang lain. Namun, di balik popularitasnya, muncul pertanyaan besar: apakah TikTok dan media sosial sejenis benar-benar menjadi teman bagi Generasi Z, atau justru musuh yang perlahan mengendalikan kehidupan mereka.

Tidak dapat disangkal bahwa TikTok membawa banyak dampak positif. Aplikasi ini memudahkan siapa pun untuk mengekspresikan diri, berbagi ide, dan menemukan berbagai informasi. Banyak anak muda yang memanfaatkan TikTok untuk belajar, berjualan, atau menyebarkan konten edukatif dan kreatif.

Dalam hitungan detik, seseorang bisa mendapatkan informasi tentang tren, berita, hingga tips karier. TikTok juga membuka peluang besar bagi siapa saja untuk dikenal publik tanpa harus memiliki modal besar. Dengan satu video yang menarik, seseorang bisa menjadi viral dan mendapatkan pengakuan dari banyak orang. Dari sisi ini, TikTok bisa menjadi ruang yang mendukung kreativitas dan pertumbuhan.

Berita Terkait :  Srikandi Goes To Campus, Kerja Bareng Unirow dan PLN Nusantara Power Up Tanjung Awar-Awar Tuban

Namun, di balik sisi positif tersebut, TikTok juga memiliki dampak negatif yang signifikan, terutama terhadap cara Generasi Z memandang diri dan kehidupannya. Saat ini, standar kehidupan modern seolah dibentuk oleh TikTok. Apa yang dianggap bagus, menarik, atau bernilai sering kali ditentukan oleh tren yang sedang viral. Contohnya, standar kecantikan, gaya berpakaian, bahkan cara berbicara banyak diikuti berdasarkan apa yang sedang populer di TikTok. Akibatnya, banyak remaja yang merasa harus menyesuaikan diri agar tidak tertinggal dari tren yang ada.

Fenomena ini tanpa disadari menciptakan standarisasi kehidupan yang tidak realistis. Banyak pengguna merasa perlu tampil sempurna seperti influencer atau konten kreator terkenal. Mereka berlomba-lomba menunjukkan kehidupan yang tampak ideal seperti rumah rapi, tubuh proporsional, wajah mulus, hingga gaya hidup mewah. Padahal, tidak semua hal yang ditampilkan di media sosial adalah kenyataan. Sebagian besar hanya hasil dari penyuntingan, pencahayaan, atau sekadar momen terpilih yang ingin diperlihatkan. Sayangnya, Generasi Z yang tumbuh bersama dunia digital sering kali lupa membedakan antara realitas dan ilusi.

Dampak paling nyata dari hal ini adalah munculnya rasa tidak percaya diri dan kecemasan sosial. Banyak remaja merasa hidup mereka tidak seindah orang lain di TikTok. Mereka membandingkan diri dengan standar yang ditentukan oleh dunia maya. Jika tidak memiliki gaya hidup yang sama, mereka merasa gagal. Lebih parah lagi, pengakuan diri sering kali diukur dari jumlah likes, komentar positif, atau jumlah pengikut. Hal ini menimbulkan ketergantungan terhadap validasi sosial yang justru merusak kesehatan mental.

Berita Terkait :  Lindungi Anak dari Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik

Selain itu, TikTok yang sangat personal membuat penggunanya mudah terjebak dalam lingkaran konten berulang. Pengguna tanpa sadar menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menonton video pendek yang terus bermunculan sesuai minat mereka. Akibatnya, produktivitas menurun dan fokus terhadap dunia nyata semakin berkurang. Ironisnya, meskipun terus terhubung dengan banyak orang, banyak anak muda justru merasa semakin kesepian dan kehilangan arah.

Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana TikTok telah menjadi alat yang menentukan nilai sosial seseorang. Misalnya, seseorang bisa lebih dihargai hanya karena memiliki banyak pengikut atau sering muncul di beranda For You Page atau biasa disebut FYP. Tren ini membuat banyak anak muda berlomba mencari popularitas instan, bahkan tidak jarang dengan cara-cara yang merugikan. Ada yang membuat konten ekstrem demi menarik perhatian, atau mengikuti tren yang tidak sesuai dengan nilai moral hanya ingin cepat viral. Standarisasi semu seperti ini perlahan menggeser nilai-nilai penting seperti kerja keras, ketulusan, dan keaslian diri.

Meski demikian, tidak adil jika TikTok atau media sosial sepenuhnya disalahkan. Media sosial itu hanya alat, dan dampaknya tergantung pada bagaimana kita menggunakannya . Banyak juga kreator muda yang menggunakan TikTok untuk hal-hal positif seperti menyebarkan edukasi, literasi keuangan, kampanye sosial, atau pesan-pesan motivasi. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial bisa menjadi teman yang berharga, asalkan digunakan dengan bijak, penuh kesadaran, dan tidak dijadikan patokan untuk menilai diri sendiri.

Berita Terkait :  10.758 Warga Kabupaten Pasuruan Terima BLT DBHCHT

Untuk mengatasi dampak standarisasi kehidupan di TikTok, Gen Z perlu memiliki kesadaran digital dan kemampuan berpikir kritis. Mereka harus menyadari bahwa apa yang viral tidak selalu benar, dan apa yang populer tidak selalu baik. Dunia nyata jauh lebih luas daripada layar ponsel. Kehidupan yang autentik dan bermakna tidak bergantung pada tren atau jumlah pengikut, tetapi pada kemampuan diri untuk tumbuh, belajar, dan menghargai proses.

Pada akhirnya, media sosial seperti TikTok memang memiliki dua sisi yang berlawanan. Ia bisa menjadi teman yang menginspirasi dan membuka peluang, tetapi juga bisa menjadi musuh yang mengendalikan pikiran dan standar kehidupan. Semua kembali pada pilihan kita sebagai pengguna apakah kita ingin memanfaatkan TikTok untuk berkembang, atau membiarkan diri dikendalikan oleh tren media sosial yang sementara.

Generasi Z memiliki kekuatan besar untuk menentukan arah penggunaan media sosial. Jika digunakan dengan bijak dan penuh kesadaran, media sosial akan menjadi jembatan menuju kemajuan. Namun, jika dibiarkan membentuk standar hidup yang semu, media sosial justru akan menjadi musuh yang perlahan mengikis jati diri. Oleh karena itu, penting bagi Generasi Z untuk kembali pada nilai-nilai menjadi diri sendiri, berpikir kritis, dan tidak membiarkan media sosial menentukan kebahagiaan mereka. [*]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru