Oleh :
Sutawi
Kepala LPPM dan Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang
Provinsi Jawa Timur merupakan gudang pangan nasional, terutama komoditas pertanian dan peternakan. Pada subsektor tanaman pangan, Jawa Timur menyumbang 17,86% produksi padi, 29,97% produksi jagung, 28,03% produksi kedelai, dan 19,02% produksi ubi jalar nasional. Pada subsektor perkebunan, Jawa Timur menyumbang 49,63% produksi tebu nasional. Pada subsektor hortikultura, Jawa Timur menyumbang 41,88% produksi cabai rawit dan 24,13% produksi bawang merah nasional. Pada subsektor peternakan, Jawa Timur menyumbang 22,25% produksi daging sapi, 15,58% produksi daging ayam ras, 14,67% daging ayam buras, 23,61% produksi telur ayam, dan 54,90% produksi susu sapi nasional.
Kontribusi Jawa Timur terhadap produksi pangan nasional diperkirakan akan semakin menurun seiring pembangunan jalan tol Trans Jawa sepanjang 1.167 km yang melintas di Provinsi Jawa Timur sepanjang 511,27 km (43,81%) dari Kabupaten Ngawi sampai Kabupaten Banyuwangi. Pembangunan infrastruktur jalan tol Trans Jawa merupakan salah satu andalan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk transformasi perekonomian. Sepanjang 2015-2023 telah dibangun 2.132 km jalan tol baru, di mana 1.005 km di antaranya berlokasi di Jawa dan 986 km di Sumatera. Jalan tol yang terbangun dalam sembilan tahun tersebut melampaui capaian empat dekade pemerintahan periode 1978-2014 yang hanya mampu membangun jalan tol sepanjang 933 km.
Pembangunan jalan tol yang terkonsentrasi di Jawa semakin mengancam lumbung pangan di seluruh Jawa, terutama Provinsi Jawa Timur. Jalan tol Trans Jawa ini melintasi Provinsi Jawa Timur sepanjang Ngawi-Kertosono 87,02 km, Kertosono-Mojokerjo 40,50 km, Subaraya-Mojokerto 35,27 km, Surabaya-Gempol 45 km, Gempol-Pasuruan 34,15 km, Pasuruan-Probolinggo 39,85 km, Gempol-Pandaan 13,61 km, dan Pandaan-Malang 38,48 km. Sejumlah ruas jalan tol tersebut sudah beroperasi, sedangkan ruas tol Probolinggo-Banyuwangi sepanjang 176,4 km sedang dalam proses pembangunan.
Kebutuhan lahan untuk pembangunan jalan tol di Jawa Timur sekitar 80% memakan lahan sawah. Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada 2024 melaporkan penurunan signifikan lahan sawah di lima daerah yang dilalui ruas tol Ngawi-Solo (35 km) dan ruas tol Ngawi-Kertosono (87,02 km), yaitu Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, Kota Madiun, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Nganjuk. Selama pembangunan jalan tol 2013-2018 terjadi konversi lahan sawah seluas 14.350 ha di lima daerah ini. Kabupaten yang mengalami kehilangan sawah terluas adalah Ngawi (7.300 ha), diikuti Madiun (3.940 ha), dan Magetan (2.420 ha). Seiring dengan beroperasinya jalan tol, selama 2013-2022 lima daerah ini kembali kehilangan sawah seluas 5.160 ha, terluas di Kabupaten Magetan (2.410 ha) dan Kabupaten Nganjuk (2.050 ha). Pembukaan ruas tol sepanjang 122 km telah memicu hilangnya sawah seluas 19.510 ha di lima daerah ini. Dengan demikian, setiap 1 km jalan tol telah membuat alih fungsi sawah hingga 160 ha.
Provinsi Jawa Timur menempati posisi pertama sebagai produsen padi terbesar di Indonesia tahun 2023 dengan produksi 9,59 juta ton GKG padi atau setara dengan 5,53 juta ton beras. Produksi tersebut dihasilkan oleh luas panen 1,705 juta hektar dan produktivitas 5,86 ton padi per hektar. Jika dihitung dengan Indeks Pertanaman 200 (IP 200) atau program tanam padi dua kali satu tahun, maka potensi penurunan produksi padi sebagai dampak pembangunan jalan tol sepanjang 511,27 km di Jawa Timur mencapai 929.284 ton per tahun atau 16,62% dari total produksi padi tahun 2023. Jika dihitung keseluruhan, maka jalan tol Trans Jawa sepanjang 1.167 km berpotensi menurunkan produksi padi sebanyak 2,188 juta ton GKG per tahun atau 4,09% dari total produksi padi nasional tahun 2023 sebanyak 53,53 juta ton GKG.
Ada beberapa alasan pemerintah mengorbankan lahan sawah untuk ekspansi jalan tol di Jawa. Pertama, jalan tol berperan penting dalam memajukan ekonomi daerah dan negara. Dengan adanya jalan tol, daerah akan lebih maju, perjalanan menjadi lebih cepat, distribusi barang dan jasa menjadi lancar guna menunjang pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan pemerataan hasil pembangunan. Hasil kajian Ahmad (2022) di 13 kabupaten/kota yang dilintasi tol Trans Jawa di Jawa Tengah menunjukkan adanya kenaikan pertumbuhan ekonomi dua tahun sebelum dan dua tahun setelah beroperasi jalan tol dari rata-rata 5,527% menjadi 5,664%. Hasil kajian Safitri dkk. (2024) membuktikan bahwa keberadaan jalan tol meningkatkan PDRB dan pertumbuhan ekonomi lima kabupaten/kota yang dilalui jalan tol Surabaya-Malang yaitu Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kota Malang. PDRB kelima kabupaten/kota mengalami kenaikan sebesar 10% dari tahun 2016-2018 ke tahun 2019-2021, sedangkan pertumbuhan ekonomi meningkat dari 5,72% pada 2016-2018 menjadi 5,99% pada 2019, kemudian menurun drastis pada 2020-2021 karena wabah Covid-19.
Kedua, harga beras impor lebih murah, sehingga penurunan produksi beras akibat jalan tol dapat disubstitusi dengan beras impor. Selama periode tahun 2019-2022 volume impor beras rata-rata kurang dari 450.000 ton per tahun. Impor beras melonjak menjadi 3.06 juta ton tahun 2023, dan diproyeksikan mencapai 5,17 juta ton sepanjang tahun 2024. Kecanduan pemerintah terhadap beras impor disebabkan pemikiran bahwa biaya mengimpor beras itu lebih murah daripada biaya meningkatkan produksi beras dalam negeri. Laporan Bank Dunia bertajuk “Indonesia Economic Prospect (IEP) December 2022” menyebutkan harga eceran beras Indonesia selama satu dekade (2012-2022) secara konsisten tertinggi di ASEAN. Selama periode Januari 2012 sampai Januari 2022 harga eceran beras di Indonesia berkisar 0,9-1,2 USD per kg, Philippina 0,7-0,9 USD per kg, sedangkan Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand hanya 0,3-0,6 USD per kg. Jika dihitung dengan kurs konversi Rp15.000 per USD, berarti harga beras di Indonesia mencapai Rp13.500-18.000 per kg, Philippina Rp10.500-13.500 per kg, sedangkan Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand hanya Rp4.500-9.000 per kg
Ketiga, pemerintah merasa telah memberi kompensasi yang layak kepada petani, sehingga bisa digunakan untuk membeli sawah di lokasi lain, atau merintis usaha baru di luar pertanian. Hasil penelitian Afifah dan Daryono (2016) tentang dampak jalan tol di Mojokerjo menunjukkan sebanyak 52% petani membagi uang ganti rugi sawah kepada anak dan saudara; 45% petani beralih mata pencaharian; dan petani mengalami penurunan pendapatan sebesar 16,8%. Siddig dan Zain (2016) melaporkan bahwa pembangunan jalan tol di Pasuruan menyebabkan jumlah petani tersisa 68,75%, 10,42% petani beralih pekerjaan, dan 20,83% tidak bekerja. Tentang pemanfaatan uang ganti rugi, 36,36% petani membeli/menyewa lahan pertanian baru, 20,77% untuk perbaikan rumah, 11,69% untuk belanja rutin, 9,09% untuk haji atau umroh, 6,49% untuk modal usaha, sisanya untuk keperluan lain. Hasil serupa dilaporkan oleh Handayani dkk. (2016) di Gresik bahwa jumlah petani menurun 20%, uang ganti rugi untuk modal usaha 30%, untuk dibagikan kepada anak dan saudara 16,67%, untuk renovasi rumah 13,33%, dan hanya 6,67% yang digunakan untuk membeli lahan usahatani. Berdasarkan hasil penelitian ketiga peneliti dapat disimpulkan bahwa pembangunan jalan tol semakin memarjinalkan kehidupan petani baik dari sisi pekerjaan maupun pendapatan.
———— *** ————-