Menuntaskan Wabah, Menjamin Jatim Penyokong Pangan Nasional
Oleh:
Hj. Anik Maslachah
Ketua Komisi B (Perekponomian) DPRD Jawa Timur.
“Dan raja berkata (kepada para pemuka kaumnya), “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus… .”
(AlQuran surat Yusuf ayat ke-43)
Takwil mimpi nabi Yusuf a.s., Bagai menjadi kenyataan pada masa kini. Me-wabahnya virus PMK (Penyakit Mulut dan Kuku), yang ditularkan sapi yang sakit (kurus) kepada sapi yang sehat (gemuk). Takwil yang disampaikan pada sekitar 3700 tahun (37 abad) lalu, juga mengajarkan penyelamatan bahan pangan, melalu konsep lumbung pangan. Mengantisipasi wabah, dan paceklik.
Di seantero Jawa, wabah mengalami lonjakan kasus sejak awal bulan Desember 2024 lalu. Pada pekan kedua Januari 2025, total kasus PMK yang telah dilaporkan mencapai 8.500. Jumlah kematian 300 lebih kasus, serta penyembelihan sebanyak 80 ekor. Juga masih ada yang dikuburkan diam-diam, tidak dilaporkan. Data tersebar di 9 propinsi, terutama di se-wilayah DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Nelangsa-nya, karena pengalaman bebas PMK, sudah berlalu hampir 40 (sejak 1986). Catatan di Fakultas Kedokteran Hewan, juga sudah tak terbaca. Sangat sulit dicari.
Ironisnya, seluruh Pemerintah propinsi, termasuk Jawa Timur terasa terlambat menetapkan status darurat bencana non-alam. Padahal wabah PMK (Penyakit Mulut dan kuku) sudah bisa di-mitigasi akan “kambuh” pada musim pancaroba. Angka kasus sudah melebihi berlipat-lipat dari patokan standar deviasi. Sehingga wabah PMK di Jawa Timur patut dinyatakan sebagai bencana non-alam. Bisa dinyatakan oleh Gubernur, serta oleh Bupati dan Walikota, pada kawasan terdampak wabah.
UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah menetapkan status ke-tanggap darurat-an. Pada pasal 51 ayat (1) dinyatakan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam ayat ke-2 dinyatakan, skala nasional dilakukan oleh Presiden. Skala propinsi dilakukan oleh Gubernur, sedangkan skala kabupaten dan kota dilakukan oleh bupati, dan walikota.
Pada wabah pertama (April 2022), Pemerintah secara eksplisit mengakui wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) sebagai bencana non-alam. Sehingga penanganan wabah PMK dipimpin oleh Kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur telah men-deklarasikan daerah Jawa Timur ber-status “Keadaan Darurat Bencana Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).” Dengan status bencana, akan berlaku dua UU sekaligus. Yakni UU Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Serta tentang UU Penanggulangan Bencana.
Walau sesungguhnya pada masa wabah PMK, terasa UU Peternakan dan Kesehatan Hewan “tidak ramah” terhadap peternak yang terdampak. Terutama biaya yang dibebankan kepada pemilik hewan ternak. Bagai pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan pada pasal 47 ayat (1), menyatakan, “Pengobatan hewan menjadi tanggung jawab pemilik hewan, peternak, atau perusahaan peternakan, baik sendiri maupun dengan bantuan tenaga kesehatan hewan.”
Penetapan Status Bencana
Begitu pula pasal 47 ayat (5) tentang pemusnahan hewan sakit menular yang tidak disertai kompensasi (ganti rugi). Padahal hewan ternak (sapi, dan kambing) menjadi aset utama rakyat di pedesaan yang tergolong liguid (gampang dijual belikan). Sampai disebut sebagai rajakaya. Sejatinya UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, juga mengenal visi wabah sebagai bencana.
UU Nomor 41 Tahun 2014 (Perubahan UU Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan) secara eksplisit men-definisikan wabah. Tercantum dalam pasal 1 (Ketentuan Umum) angka ke-37a, dinyatakan, “Wabah adalah kejadian penyakit luar biasa yang dapat berupa timbulnya suatu Penyakit Hewan Menular baru di suatu wilayah atau kenaikan kasus Penyakit Hewan Menular mendadak yang dikategorikan sebagai bencana nonalam.”
Penetapan status bencana non-alam terhadap wabah PMK, “melegakan” pemerintah daerah (propinsi serta kabupaten dan kota). Jika tanpa status bencana, maka daerah wabah, dan kawasan tertular hebat, tidak memiliki nomenklatur anggaran penanganan wabah PMK. Kelimpungan selama 2 bulan wabah (November sampai awal Januari) dengan kegiatan yang sangat padat. Seluruh biaya PMK ditanggulangi dari kantong pegawai, termasuk sokongan dari sivitas perguruan tinggi negeri, yang memiliki prodi Kehewanan.
Setelah penetapan status darurat bencana non-alam, dibutuhkan percepatan menanggulangi wabah PMK. Sekaligus antisipasi kerugian ke-ekonomi-an yang ditanggung rakyat. Perekonomian pedesaan di Jawa Timur sudah terancam wabah. Sejak Desember 2024, PMK menggejala lagi, muncul di Lumajang, dan Mojokerto. Berbeda dengan wabah PMK “gelombang pertama” (April 2022 lalu), tren saat ini (gelombang ketiga) penampakan gejala sakit tidak terlalu parah. Namun angka kematian (sapi) cukup banyak.
Pemerintah patut segera menggencarkan vaksinasi dan pengobatan, serta karantina hewan sistemik. Lalulintas perdagangan sapi juga patut diawasi ekstra ketat, terutama di kawasan perbatasan daerah wabah. Bahkan pada kawasan wabah perlu dilakukan “lock-down” penutupan pasar sapi. Sekaligus meningkatkan kesehatan kandang dengan peyemprotan disinfektan. Serta pencegahan dengan metode bio-security (melarang orang asing mendekati kandang). Hanya petugas kesehatan hewan yang boleh masuk kandang dengan mengenakan APD (alat pelindung diri).
Vaksin dan Ganti Rugi
Berdasar data Dinas Peternakan Jawa Timur, lebih dari dua dekade Jawa Timur menjadi penyokong sapi potong nasional, dengan jumlah ternak sebanyak 4,9 juta ekor. Sapi perah juga terbanyak nasional, dengan populasi sebanyak 301.700 ekor. Pada tahun 2024 dihasilkan sebanyak 108,5 ribu ton daging sapi. Pada tahun 2025 diperkirakan naik menjadi 109,5 ribu ton. Karena Jatim memiliki program “intan selaksa,” (inseminasi buatan sejuta kelahiran sapi).
Tetapi NTPT (Nilai Tukar Petani Ternak) Jawa Timur, masih sebesar 104,89. Jauh tertinggal dibanding NTP secara umum, yang sudah mencapai 111,96 per-Desember 2024. Peternak Jawa Timur masih trauma dengan wabah pertama, yang sangat mengguncang perekonomian. Sapi yang semula diharapkan bisa seharga Rp 25 juta hingga Rp 30 juta, realitanya hanya laku Rp6 juta, kadang lebih murah. Sedangkan ganti rugi dari pemerintah hanya sebesar Rp 10 juta per-ekor sapi. Serta ganti rugi kambing dan domba senilai Rp 1,5 juta
Maka Jawa Timur patut memperoleh perlindungan (kesiagaan) wabah PMK dengan skala prioritas nasional. Termasuk penggunaan vaksin. Tetapi sesungguhnya, vaksin adalah untuk sapi (dan kambing) yang sehat. Sedangkan hewan ternak yang sakit harus diobati. Ironis, pengalaman mengobati wabah PMK sudah berlalu hampir empat dekade. Tiada lagi dokter hewan (dan veteriner) yang turut serta dalam “pembebasan” PMK era 1980-an.
Indonesia sudah dinyatakan bebas PMK, diakui oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE, dalam bahasa Prancis, disebut Office International des Epzooties) pada tahun 1990 melalui Resolusi OIE No. XI. Sejak itu Indonesia tidak boleh memproduksi vaksin. Hingga kini masih impor (4 juta dosis) dari negara yang sama-sama masih diliputi wabah PMK. Antara lain, Prancis, China, Brasil, dan Argentina. Konon, karena wabah PMK tahun 2022, dan 2023, Indonesia telah memproduksi vaksin domestik yang lebih sesuai dengan karakter PMK yang mewabah.
Yang paling penting, dengan status “Bencana Non-alam,” penanganan wabah PMK kini leluasa menggunakan anggaran. Dulu, terdapat Kepmentan Nomor 518 Tahun 2022 diktum ke-8, juga memberi sharing biaya ganti rugi dengan anggaran daerah. Kompensasi, dan ganti-rugi bisa menjadi penglipur guncangan ekonomi. Namun sesuai amanat UU Penanggulangan Bencana, pemerintah masih patut menyediakan bantuan permodalan untuk memulai kembali suasana peternakan yang lebih baik.
——— *** ———