31 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Dibalik Refleksi Hari Guru Nasional 2025, Agar Guru Inspiratif Tidak (Hanya) Imajinatif

Oleh :
Mukhlis Mustofa
Dosen FKIP Universitas Slamet Riyadi Surakarta Program Studi PGSD dan Konsultan Pendidikan Yayasan Pendidikan Jama’atul Ikhwan Surakarta

Selebrasi hari guru setiap tahun tidak akan menumbuhkan habit baru pembelajaran seperti tuntutan zaman. Guru Hebat, Indonesia Kuat sebagai tema sentral perayaan hari guru nasional tahun inipun sekedar menjadi slogan indah manakala tidak menumbukkan inspirasi baru menghadapi masa depan. Menarik mencermati pernyataan Anies baswedan semasa masih menjadi mendikbud bahwa siswa saat ini mengalami banyak permasalaan disebabkan mereka disiapkan menghadapi abad 21 sementara mendapatkan materi dari guru abad 20 sehingga Guru harus menjadi pembelajar (SOLOPOS 23 November 2015) semakin menjadikan beragamnya tuntutan pada profesi guru.

Guru Hebat, Indonesia Kuat merupakan sebuah tuntutan logis dalam konteks kekinian. Dibalik booming beragam media menjadikan guru berpotensi memunculkan beragam intrepetasi. Perwujudan guru inspiratif sedikit banyak berlawanan dengan konteks kekinian profesi guru. Harapan indah beban guru bersangkutan sedemikian sakralnya dan berpotensi meneguhkan pernyataan tidak membumi pada profesi guru. Perwujudan guru inspiratif namun pengebirian profesi dilakukan sedemikian masif menjadikan pertanyaan tersendiri dan manakala tidak disikapi proporsional justru menyuburkan pesimisme dikalangan guru.

Konkteks kekinian profesi guru selama ini terciderai dengan beragam tindakan kontraproduktif yang justru dipertontonkan insan pengelola pendidikan didalamnya. Perampasan wewenang guru dengan ujian bersama, kanibalisasi profesi guru bertajuk pemenuhan jam mengajar hingga minimnya pemerolehan kesempatan menangguk rezeki berlebih bertajuk sertifikasi lebih mewarnai profesi guru saat ini.

Tuntutan peningkatan kualitas pendidikan berbasis kepicikan Ujian Nasional menjadi warna tersendiri bagi guru dalam menjalankan tugas profesionalnya. Disisi lain tuntutan publik agar percepatan reposisi pendidikan sesuai konteks kekinian merebak dan tak pelak guru menjadikan guru tidak ubahnya sansak penyimpangan pendidikan. Semakin merosotnya moral pelajar, kriminalisasi berbasis teknologi oleh segelintir oknum pelajar dituding menjadi bentuk kegagalan guru dalam menjalankan profesinya.

Berita Terkait :  Plt Bupati Lamongan Ajak Perangi Masalah Sosial

Bagaimanakah selayaknya memposisikan profesi guru dalam pemartabatan pendidikan menjadi pertanyaan pokok menyikapi sporadisnya tuntutan profesionalitas guru selama menjalankan tugasnya. Pertanyaan pokok ini menjadi permasalahan riil dibandingkan pengedepanan narsisme profesi guru menjelang selebrasi hari lahirnya.

Jebakan administrasi guru
Keingingan menjadikan guru inspiratif tidak ubahnya menegakkan benang basah di tempat lembab. Fenomena ini berpijak bahwa sedemikian sakralnya administrasi guru sehingga tidak jarang mengubur idealisme pembelajaran. Keinginan guru mengembangkan pembelajaran dihadang tuntutan administratif, permasalahan jam mengajar guru profesional cukup memberi pelajaran betapa mengurus guru tidak sekedar urusan mekanik semata. Donie kusuma dalam opini kompas edisi 13 november 2013 menyatakan hal ini tidak lepas dari adanya logika pabrik dalam pengelolaan pendidikan di negeri ini.

Sangatlah menggelikan manakala memperhitungkan profesionalisme guru sebatas besaran jam mengajar 24 jam/minggu atau rencana ketentuan baru 40jam/minggu. Permasalahan ini semakin parah mengingat untuk merealisasikan besaran jam tersebut guru harus melakukan beragam metode. Menggeser guru honorer, menambah jabatan administratif hingga mengajar hingga beberapa sekolah dimahfumkan untuk mencapai besaran kuantitatif tersebut. Keheranan publik sendiri pun muncul bagaimana mungkin seorang guru dianggap profesional sementara untuk mencapainya dipengaruhi dengan mentalitas sikut menyikut yang menunjukkan rendahnya kompetensi emosional pribadi bersangkutan.

Pendewaan jam mengajar untuk dianggap guru profesional tersebut tidak lepas dari kuatnya pengebirian guru dengan beragam regulasi profesi. Dampak konkrit pengebirian berbasis regulasi ini menjadikan keberadaan guru inspiratif kunjung terealisasi. Keberadaan guru diberangus sedemikian rupa sehingga tidak bertaji dan seakan tidak memiliki nyali untuk mengatasi keresahan pendidikan berbasis kapitalisasi pembelajaran. Keberadaan Ujian Nasional ( UN ) yang nyata-nyata bertentangan dengan mekanisme pembelajaran sehat dibiarkan. Guru sedemikian permisifnya menyikapi keberadaan UN padahal nyata tervisualkan bagaimanakah pendzaliman pembelajaran ini berlangsung sedemikian sistematisnya. Teramat naif mendapati gelontoran ratusan milyar rupiah setiap pelaksananaan UN ditengah ambruknya bangunan sekolah dan masih mininya aksesibilitas pendidikan.

Berita Terkait :  Jelang Sidang Dugaan Penipuan Madu Klanceng Kota Kediri, Chrisma Terkesan Dipaksakan sebagai Tersangka

Posisi Guru sedemikian manisnya melihat penyimpangan pendidikan berlangsung di depan mata sementara tindakan konkrit minimal aksi keprihatinan tidak jua muncul. Mengguritanya dugaan penyimpangan dalam PPDB Online di kota solo hingga memaksa komite ombudsman turun tangan adalah sebuah kegamangan edukatif tak terperi. Terlepas dari motif pengungkapan dugaan kasus tersebut memunculkan keprihatinan tersendiri, Bagaimana mungkin dugaan penyimpangan PPDB online justru diusung oleh organisasi non keguruan yang tidak berkorelasi langsung dengan pola pembelajaran. Bukannya mengecilkan arti pengusung tuntutan transparansi PPDB tersebut, logikanya mengapa guru yang berkaitan langsung dengan penyimpangan pembelajaran tersebut justru tidak mengetahui adanya konspirasi negatif dibalik proses pembelajaran selama ini.

Revolusi keguruan merupakan harga mati untuk mengatasi carut marut profesi keguruan ditengah maraknya tuntuan pada profesi guru ini. Perubahan mainstream guru dalam menjalankan tugas profesinya menjadikan pembelajaran teramat berarti bagi negeri ini. Guru inspiratif pun tidak sebatas pengedepanan narsisme sempit guru bersangkutan namun benar-benar pelurusan profesi guru ditengah godaan matrealisme.

Dukungan revolusi keguruan tidak akan berjalan efektif jika tidak direalisasikan dengan tindakan konkrit perubahannya. Pemberlakuan revolusi keguruan ini menjadi optimal dengan memperhatikan beberapa elemen pokok diantaranya

Pengembangan networking seutuhnya bagi profesi guru merupakan langkah awal revolusi keguruan. Saat ini komponen guru masih terpecah dalam beragam bentuk yang mengatasnamakan organisasi profesi guru. Bukannya mengecilkan arti Persatuan Guru Republik Indonesia ( PGRI ) dalam menjalankan peran organisasinya, namun pada kenyataannya belum seluruh guru mengakui kebermaknaan organisasi profesi ini. Klaim PGRI sebagai satu – satunya organisasi guru di Indonesia sedemikan narsisnya dan mengurangi nalar positif pengembangan hakikat profesi guru. Kemunculan beragam organisasi guru lain selayaknya disikapi sebuah mekanisme kebebasan berserikat dan berkumpul profesi guru bukannya mencurigai organisasi lain tidak ubahnya organisasi terlarang.

Berita Terkait :  Soroti Insiden Keracunan MBG, Ketua Komite III DPD RI Dorong Penguatan Regulasi Teknis dan Pengawasan

Sangatlah elegan manakala seluruh komponen guru tersebut terposisikan dalam tingkatan sama sehingga pengembangan dan kontrol pendidikan akan berlangsung proporsional dan mencerdaskan. Relasi positif antar organisasi yang mengatasnamakan guru ini akan mengikis stigma marginalisasi guru berbasis status kepegawaian.

Secara tidak langsung relasi organisasi profesi guru menjadikan pihak pengambil kebijakan memiliki pola pemikiran lebih proporsional manakala menggulirkan kebijakan pendidikan. Teramat menggelikan manakala menyikapi ajakan mogok mengajar salah satu organisasi profesi guru beberapa saat silam yang tidak direspon positif dan dianggap sebatas rengekan si kecil meminta mainan.

Relasi yudikatif memadai menjadi langkah pendukung utama ditengah era transparansi pendidikan ini berlangsung. Keberadaan putusan MA berkaitan penyelenggaraan UN dengan persyatatan ketat tiga tahun lalu menegaskan bahwa lembaga peradilan dapat meningkatkan posisi tawar guru pada kebijakan pendidikan. Ditengah carut marut penyelenggaraan lembaga yudikatif di negeri ini relasi proporsioanl guru dengan beragam komponen di negeri ini teramat dinantikan seluruh elemen bangsa. Guru inspiratif bukan sekedar imajinatif jika seluruh komponen guru melakukan usaha sadar demi pencerdasan anak bangsa seutuhnya tanpa pretensi berlebihan.

Selamat Hari Guru

———– *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru