Indonesia patut menjaga “supremasi” penghasil kelapa sedunia. Sekaligus bisa mengambil “untung” seiring pelonjakan harga kelapa Tingkat global. Maka Pemerintah seyogianya mulai meng-inisiasi pertambahan luas areal perkebunan kelapa (nyiur). terutama pada daerah yang selama ini dikenal sebagai sentra kelapa. Butir kelapa biasanya diproses menjadi minyak kelapa (virgin coconut oil, VCO). Saat ini harga minyak kelapa global mencapai Rp (US$ 1.800 per-mt).
Perdagangan kelapa di dalam negeri, juga bukan sembarang komoditas. Bahkan harga di dalam negeri lebih mahal dibanding harga global. Saat ini harga kelapa utuh (bersih sudah dikuliti) mencapai Rp 20 ribu per-butir. Sedangkan kulit, dan batok kelapa memiliki harga tersendiri. Tidak dibuang, melainkan menunggu diambil (beli) produsen arang nata de coco. Kulit serabut juga menunggu diambil berbagai pengrajin. Nilai “hilirisi” kelapa bisa mencapai 6 kali harga buah kelapa.
Sejak lama di Indonesia nilai ke-ekonomi-an kelapa bukan sekadar buahnya. Melainkan seutuhnya pohon kelapa juga bernilai mahal. Termasuk daun muda (disebut janur), serta daun tua (disebut blarak) sama-sama bernilai. Batang pohon kelapa (disebut gelugu) berfungsi sebagai kayu bangunan (untuk rumah dan jembatan). Beberapa daerah di Riau, Maluku Utara, Sulawesi, dan Jawa Timur, menjadikan pohon kelapa sebagai “aset” pertanian dengan kemanfaatan berkelangjuitan (jangka panjang).
Saat ini komoditas kelapa global sedang dalam kondisi sangat baik, naik melonjak tajam. Dulu hanya senilai Rp 1.350,-, sekarang sudah mencapai Rp10 ribu per-butir (utuh). Begitu pula produk turunan kelapa, VCO, saat ini harganya mencapai Rp145 ribu per-kilogram. Sehingga diharapkan petani tidak menjual kelapa dengan harga murah kepada tengkulak.
Sebagai supremasi komoditas kelapa, Indonesia dicatat menghasilkan lebih dari 16 juta ton kelapa per-tahun. Areal tanam kebun kelapa juga sangat luas, mencapai 3,6 juta hektar. Meliputi pekerja sebanyak 2 juta rumah tangga (melibatkan anggita keluarga bekerja di kebun kelapa). Terutama keluarga di wilayah Sulawesi, Sumatera, dan Jawa. Perkebunan kelapa Indonesia berperan strategis dalam rantai pasok global. Namun ke-supremasi-an terancam tergusur (oleh Filipina), karena tren produksi yang stagnan.
Kementerian Pertanian seyogianya cermat mengikuti pelonjakan pasar kelapa. Terutama permintaan global (China), Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Menurut data Market Research Future, pasar minyak kelapa murni tumbuh rata-rata 6% per-tahun. Nilai perdagang VCO pada tahun 2025 mencapai US$10 milyar (sekitar Rp 162 trilyun). Khusus AS, dan Uni Eropa saja, sudah mencapai US$4,1 milyar. Sedangkan di Kawasan Asia, pelonjakan permintaan terbesar terjadi di Jepang, dan Korea Selatan.
Nilai ekspor minyak kelapa (dan produk turunannya) Indonesia tercatat mencapai sekitar US$1,2 miliar dollar AS (sekitar Rp 19 triliun). Artinya, hanya sebesar 8,5% kebutuhan dunia. Bahkan Kementerian Perinustrian, mencatat ketersediaan bahan baku kelapa dalam negeri juga sangat kurang. Hanya sekitar 30% kebutuhan. Sehingga menjadi “tantangan” petani Perkebunan untuk menyediakan kelapa segar.
Konon pemerintah (melalui Kemnterian Pertanian) meng-alokasikan anggaran sebesar Rp 750 miliar (pada 2025) untuk revitalisasi perkebunan kelapa. Terutama penyediaan bibit unggul, pelatihan petani, dan pengadaan alat modern pengelolaan Perkebunan. Anggaran juga digunakan untuk pasca-panen, serta kebutuhan on-farm (termasuk irigasi).
Alokasi anggaran, seyogianya dipusatkan pada daerah sentra kelapa. Antara lain Riau, seantero Jawa, Maluku, dan Sulawes. Di Jawa misalnya, hamparan kebun nyiur (milik rakyat) terbentang sejak Anyer (di Banten) sampai Muncar (di Banyuwangi, Jawa Timur). Dapat menjadi andalan perekonomian rumah tangga petani, sekaligus tambang devisa negara, menandingi sawit.
——— 000 ———


