Oleh :Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya
Setiap tahun, setiap tanggal 9 Desember seluruh dunia memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa tindakan atau perilaku korupsi telah membudaya jauh dalam relung dan sendi-sendi berbangsa dan bernegara bahkan masuk ke celah kehidupan sehari-hari. Korupsi tidak pandang bulu, dilakukan siapa saja, dimana saja dan berbagai bentuk atau dimensinya hingga modusnya baik skala kecil (remeh temeh), menengah hingga skala besar atau berlabel korporate. Korupsi yang sudah dinyatakan tegas sebagai extraordinary crime nyata-nyata masih menimpa bangsa tercinta ini entah sampai kapan dapat diberhangus. Potret riil diatas merupakan pemandangan yang lazim dibaca, didengar dan “dinikmati” semua khalayak terutama dalam dunia digital dan media sosial. Bahkan alarm peringatan melalui serangkaian Hari Antikorupsi telah dimasifkan setiap tahunnya sehingga momentum ini harus dijadikan tonggak bersama bahwa korupsi merupakan musuh bersama (common enemy) yang harus dibasmi, diperangi dan dilawan dari tataran konsep pemikiran, aksi perbuatan dan membuat efek jera.
Upaya memerangi korupsi terkadang amat mudah diucapkan namun teramat sulit diimplementasikan manakala kondisi atau sistem organisasi yang telah terbiasa berperilaku koruptif walau kapan disamarkan atau diklamufasekan dengan berbagai macam dalih atau hiasan kata-kata semata. Beberapa bentuk umum kamuflase korupsi antara lain : pertama, tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dimana seorang pejabat misalnya menggunakan posisi atau pengaruh mereka untuk keuntungan pribadi, sering kali dengan membenarkan tindakan mereka sebagai “demi kepentingan umum” atau “kebutuhan administratif”. Kedua, pencucian uang (money laundry) dimana dana yang diperoleh secara ilegal disalurkan melalui berbagai transaksi keuangan yang rumit (misalnya, melalui perusahaan fiktif atau investasi properti) agar tampak berasal dari sumber yang sah.
Ketiga, korupsi dengan modus legalitas prosedural yang merupakan tindakan ilegal disembunyikan dibalik kepatuhan atau ketaatan yang tampak terhadap prosedur hukum dan administrasi dengan memanfaatkan celah atau kelemahan dalam birokrasi dan peraturan yang rumit agar terlihat sah atau “legal di atas kertas. Korupsi bermodus “legalitas” prosedural biasanya disamarkan dengan memastikan semua dokumen dan prosedur formal, meskipun bertujuan menguntungkan pihak tertentu secara tidak adil (misalnya, dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah). Keempat, benturan kepentingan yang disembunyikan (concealed conflicts of interest): Pejabat atau eksekutif membuat keputusan yang menguntungkan bisnis atau kerabat mereka tanpa mengungkapkan hubungan sehingga keputusan tersebut lebih “tampak objektif”. Kelima, sponsor dan donasi palsu yakni uang suap atau gratifikasi disamarkan sebagai kontribusi kampanye politik, donasi amal, atau sponsor bisnis. Momen bersejarah dimulai sejak era reformasi hingga saat ini, isu KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) masih menjadi salah satu tantangan terbesar dan momok serius bagi bangsa ini.
Dengan berbagai wajah, modus dan bentuk KKN terus mengemuka di berbagai sendi kehidupan. Korupsi misalnya terus menjelma menjadi monster di setiap pemerintahan yang berdampak pada kemiskinan, kerusakan alam hingga ekonomi berbiaya tinggi. Oleh karena itu dalam peringatan Hakordia Tahun 2025 mengangkat tema “Satukan Aksi, Basmi Korupsi” yang mengajak kepada seluruh elemen bangsa untuk bersatu padu dalam memberantas korupsi. Melalui tema ini, diharapkan semakin kuat komitmen dan partisipasi aktif masyarakat dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berintegritas demi tercapainya tujuan Pembangunan Nasional. Sesungguhnya harus dimaknai bahwa Hakordia bukan hanya sekadar peringatan atau seremonial sesaat, tetapi juga merupakan salah satu sarana untuk melaporkan kepada publik mengenai langkah-langkah pendidikan, pencegahan, dan penindakan korupsi yang telah dilakukan, baik oleh institusi penegak hukum maupun pemangku kepentingan antikorupsi lainnya.
Infeksi Segala Lini
Daya jelajah virus korupsi dapat menyebar dan menginfeksi sektor-sektor esensial-fundamental dalam pembangunan seperti sektor kesehatan. Dalam banyak kasus, obyek korupsi yang banyak terjadi adalah sektor pengadaan alat kesehatan (alkes), dana jaminan kesehatan, infrastruktur rumah sakit, dana obat-obatan, infrastruktur puskesmas/rumah sakit, dana alat kontrasepsi, dana operasional rumah sakit, dan pengadaan lahan rumah sakit. Adapun modus yang dilakukan adalah penggelembungan anggaran (mark up), penyalahgunaan anggaran, penggelapan, penyalahgunaan wewenang, kegiatan fiktif, pemotongan/penyunatan dana, suap/gratifikasi, dan pemerasan.
Secara karakteristik layanan kesehatan memang memiliki kekhasan dan sifat tidak berwujud (intangibility), tidak terpisahkan antara produksi dan konsumsi (inseparability), bervariasi (inconsistency/variability), tak dapat disimpan (inventory), dan adanya ketidakpastian kebutuhan dan ketidakseimbangan informasi antara provider dan pasien, serta eksternalitas (dampak ke publik), yang semuanya dipengaruhi oleh aspek mutu seperti ketepatan waktu, keandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati. Memang dampak korupsi khususnya di sektor kesehatan, selain dampak kerugian finansial negara yang besar, dapat menurunkan kualitas layanan Kesehatan, memperburuk ketimpangan (gap) akses Kesehatan yang merata dan berkeadilan serta berpotensi menjadi ancaman langsung terhadap nyawa pasien.
–———– *** ————-


