Kepala SMKN 2 Tulungagung, Endah Susilowati
Tulungagung, Bhirawa
Kepala SMKN 2 Tulungagung, Endah Susilowati, kecewa atas proses hukum yang dinilai janggal dan merugikan pihak sekolah terkait permintaan data BPOPP dan BOS tahun 2022–2023, lengkap dengan laporan pertanggungjawabannya (LPJ) secara detail dan rinci. Permintaan ini diajukan oleh salah satu LSM di Tulungagung.
Endah Susilowati mengatakan sekolah tidak memiliki kewenangan sebagai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), namun tetap dipaksa memberikan data oleh Komisi Informasi hingga Mahkamah Agung (MA).
“Kami sebenarnya sudah menjawab, bahwa data sudah saya laporkan ke Kementerian dan Dinas Pendidikan Provinsi Jatim dan semuanya sesuai prosedur. Tapi kami tetap dilaporkan ke Komisi Informasi,” ujarnya, Kamis (20/11).
Permasalahan bermula ketika LSM Badak meminta data BPOPP dan BOS Nomor: 28/ B.A.D.A.K/ V / 2024, Nomor: 38/B.A.D.A.K/ VI / 2024, Nomor : 44/ B.A.D.A.K/VI/2024 kepada pihak sekolah dengan dalih keterbukaan informasi publik. Permintaan tersebut kemudian dilaporkan ke Komisi Informasi karena dianggap tidak diberikan oleh pihak sekolah.
Perempuan berjilbab ini mengaku heran karena pemanggilan dari Komisi Informasi dinilai terlalu cepat, bahkan hampir setiap minggu pihak sekolah dipanggil. Menurutnya, hal itu berbeda dengan informasi umum bahwa proses di Komisi Informasi biasanya memerlukan waktu cukup lama.
“Ini yang perlu dipertanyakan. Kok begitu cepatnya? Bahkan hampir tiap minggu kami dipanggil. Ada apa dengan Komisi Informas,” tanyanya.
Ia juga menyoroti putusan Komisi Informasi Nomor: 23/X/KI-Prov. Jatim-PS-A/2024 yang ditujukan kepada PPID SMKN 2 Tulungagung, padahal sekolah bukan PPID.
“Meski salah alamat, proses sidang tetap berjalan dan sekolah diputuskan bersalah karena tidak memberikan informasi. Putusan itu dituangkan dalam keputusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 249 K/TUN/KI/2025,” paparnya.
Sebelum menerima putusan tersebut, pihak sekolah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Surabaya Nomor : 143/G/KI/2024/PTUN/SBY, sebelum putusan Komisi Informasi berkekuatan hukum tetap (inkrah). Di PTUN, gugatan pihak sekolah dikabulkan dan pihak sekolah dinyatakan menang.
Namun perjalanan perkara tidak berhenti. Pihak lawan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan MA memutuskan sebaliknya, pihak sekolah dinyatakan kalah.
“Kami heran. Dari awal suratnya salah, di PTUN kami menang, tapi di MA justru diputus kalah. Apakah mereka tidak memahami bahwa sekolah bukan PPID? Ini sangat merugikan kami,” terangnya.
Ia menilai putusan MA yang mewajibkan sekolah memberikan data tersebut berlawanan dengan aturan bahwa kewenangan informasi publik berada pada PPID pemerintah daerah, bukan pada satuan pendidikan.
Endah Susilowati juga menyampaikan kasus seperti ini bukan hanya menimpa dirinya. Menurut dia, ada banyak kepala sekolah lain yang mengalami hal serupa dan merasa dikriminalisasi karena dianggap menghalangi akses informasi, padahal bukan pemegang kewenangan.
“Kami ini hanya sekolah. Apakah benar kami boleh memberikan informasi yang bukan wewenang kami? Siapakah yang bisa memberikan informasi publik menurut UU Keterbukan Informasi publik (KIP). Apakah pihak sekolah termasuk badan publik. Tapi menurut putusan pengadilan, ternyata boleh. Ini sangat membingungkan,” tandasnya.
Ia berharap persoalan ini dapat beredar luas agar ada kejelasan hukum dan perlindungan bagi kepala sekolah yang bekerja sesuai aturan.
“Keadilan ini harus ada untuk kami para kepala sekolah, jangan sampai hal ini terjadi kepada kepala sekolah di seluruh Indonesia,” pungkasnya. (wed.hel).


