27 C
Sidoarjo
Wednesday, December 17, 2025
spot_img

Dari Dongeng ke Distorsi: The Ugly Stepsister, Representasi Cantik adalah Luka dalam Kacamata Budaya Populer


Oleh:
Marsyanda Dita Safinka
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya

Kisah Cinderella yang kita tahu telah lama menjadi simbol harapan, kemenangan kebaikan atas kejahatan menjadi doktrin dalam alam bawah sadar bahwa kecantikan akan selalu di anggap baik, dan yang jelek akan selalu di pandang jahat dan semena-mena. Namun dalam film The Ugly Stepsister (2025) karya dari Emilie Blichfeldt telah mampu membalikan narasi Cinderella yang seharusnya indah, penuh cinta dengan latar cerita klasik menjadi lebih radikal dan penuh kritik sosial. Film ini lebih terfokus pada kisah Elvira si saudari tiri Cinderella, saudari tiri yang selama ini dicap “jahat” “egois” dan memiliki wajah tidak sesuai standar kecantikan, film ini membuka ruang refleksi kritis tentang bagaimana standar kecantikan wanita dibentuk dan dipertahankan dalam budaya populer, dan berkaitan erat dengan relasi kekuasaan, ideologi serta resistensi.

Kecantikan yang memiliki prespektif berbeda pada setiap individu di masyarakat tentu memiliki pandangan yang tidak sama. Kata cantik merujuk ke berbagai spesifikasi terutama pada perempuan yang sadar atau tidak sadar terjebak dalam konstruksi sosial di masyarakat. Cerita dalam film seperti The Ugly Stepsister yang memfokuskan pada tokoh bernama Elvira, seorang gadis yang bermimpi menikahi pangeran, rela melakukan apa saja terutama dalam mengubah bentuk tubuh fisiknya untuk mengikuti standar cantik yang ada di masyarakat.

Satirnya plot cerita, menggali lebih dalam lensa gelap dari standar kecantikan bagi perempuan dan budaya patriarki yang masih menggrogoti lapisan masyarakat. Poin dimana ketika Elvira melalukan segala cara agar bisa menjadi cantik adalah skenario gila ciptaan Emilie Blichfieldt. Operasi hidung dengan menggunakan palu, meminum telur cacing pita sebagai cara diet instan, menjahit bulu mata hingga berdarah serta memotong jari kaki agar pas dengan sepatu milik Cinderella. Itu semua bukan hanya sekedar pelengkap cerita, melainkan wujud dominasi dari ideologi absolut atas tubuh seorang wanita.

Berita Terkait :  Rehabilitasi "Pemakai"

Analisis kritis cultural Studies, khususnya hegemoni, diskursus, representasi serta feminisme akan menunjukkan bagaimana film The Ugly Stepsister dapat mempertahankan kekuasaan, meruntuhkan harga diri sekaligus menolak norma norma kekuasaan patriarki dan elit sosial.

Menurut pendekatan yang di gagas oleh Antonio Gramsci, hegemoni terjadi ketika ideologi dominan menjadi sebuah “Common Sense” sebuah pengetahuan dan kepercayaan yang dianggap wajar oleh masyrakat, karena telah terbentuk oleh kebiasaan yang telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama.

The Ugly Stepsister menunjukkan bahwa berwajah cantik, berpenampilan menarik merupakan puncak dimana akan dengan mudah masyarakat menerima. Dalam perspektif Antonio Gramsci, konsep hegemoni merupakan pendekatan yang relevan untuk memahami tekanan sosial yang dialami oleh Elvira. Dimana pada film ini menunjukkan bagaimana idealnya kecantikan seorang wanita, Elvira dipaksa untuk menjalani prosedur kecantikan ekstrem demi memenuhi harapan dan standar yang ada. Dominasi budaya yang mampu menekan nilai-nilai kemanusiaan agar menjadi kebenaran yang mutlak.

Juga Stuart Hall menegaskan bahwa identitas dibentuk melalui representasi pada media dan budaya. The Ugly Stepsister mengubah streotip lama yang mengeasosiasikan kecantikan dengan kebaikan dan ketidaksempurnaan fisik dengan keburukan. Elvira bukan tokoh antagonis tanpa sebuah alasan, dia dalah korban dari sebuah keserakahan sistem budaya serta tekanan dari sang ibu Rebekka. Film ini sangat jelas juga menyinggung kelas sosial dan ekonomi, di mana wanita kelas bawah tanpa marga seperti Elvira diperlakukan, ketika identitas perempuan dibentuk oleh tekanan sosial, ekonomi, kasta dan budaya patriarki yang masih dipegang teguh oleh seluruh strata sosial di masyarakat.

Operasi hidung dengan cara klasik, mengetuk dengan palu hingga teriakan tak tertahankan, meminum telur cacing pita, menjahit bulu mata, serta memotong jari kaki merupakan poin penting yang hingga pada zaman modern ini masih dilakukan. Ini adalah diskursus sebagai sistem kuasa yang mengatur apa yang “normal” dan estetika yang dipaksakan menurut Michael Foucault.

Berita Terkait :  Pembelajaran di Sekolah Berbasis Religi dan Empati

Dari sisi perspektif feminis, film ini merupakan kritik secara terang-terangan terhadap normatif gender, bahwa wanita harus “menunjukkan” tampilan yang sempurna agar berhak hiduip bahagia. Selain itu, kritik berat terhadap objektifikasi pada tubuh wanita dan bagaimana seorang wanita yang menjadi korban budaya patriarki. Di mana tekanan untuk menjadi ‘sempurna’ tidak hanya berasal dari laki-laki, tetapi juga dari sisi sosial dan ekonomi.

Seperti Rebekka, seorang ibu yang rela melihat anaknya tersiksa demi bisa mempertahankan status sosialnya, dalam postkolonial sangat ironi sekali. Tidak peduli apa yang menyakitkan, apa yang dijalani, status sosial lebih penting daripada nyawa anak kandungnya sendiri, sebuah gambaran bagaimana warisan kolonialisme dan stratifikasi sosial masih membelenggu masyarakat pada zaman itu.

Lebih jauh, film ini juga menggambarkan bagaimana standar kecantikan dan kelas sosial saling terkait erat dalam membentuk identitas perempuan. Elvira yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah harus berjuang keras untuk menembus batasan sosial yang mengekang. Standar kecantikan yang dipaksakan tidak hanya soal estetika, tapi juga simbol kekuasaan dan status sosial. Hal ini mengingatkan kita pada konsep hegemonik yang tidak hanya menindas secara fisik, tetapi juga secara simbolik.

Film The Ugly Stepsister juga menampilkan bagaimana resistensi budaya dapat muncul dari dalam sistem kekuasaan yang menindas. Meskipun Elvira menjalani prosedur yang sangat menyakitkan, ada momen-momen di mana dia menolak sepenuhnya identitas yang dipaksakan. Ini sejalan dengan konsep subkultur dari Hebdige, di mana kelompok atau individu yang terpinggirkan mencoba menciptakan makna alternatif sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya dominan. Resistensi ini tidak selalu dalam bentuk besar, tapi bisa berupa penolakan kecil yang bermakna.

Berita Terkait :  Sekolah Alternatif: Suara Kecil yang Mulai Didengar

Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, saya sedikit banyak telah memahami film ini, film ini dibuat sebagai kritik terhadap kontribusi media dan budaya populer dalam membentuk dan mempertahankan struktur kekuasaan patriarki, feminis serta kekuasaan terhadap kelompok elit.

Saya memang tidak mampu untuk mengubah cara berpikir masyarakat terhadap mengelompokkan standar kecantikan. Namun, dari film ini masyarakat bisa cukup sadar untuk menganalisis secara kritis pesan-pesan media yang biasanya menyebarkan standar kecantikan yang sempit dan cenderung diskriminatif. Praktik-praktik budaya seperti yang ditampilkan dalam film ini harus ditentang melalui gerakan-gerakan sosial yang mengedepankan inklusivitas dan keberagaman identitas.

Tindakan lain yang dapat kita lakukan adalah memperkuat pemahaman positif mengenai bentuk tubuh dan kesadaran feminis yang menolak objektifikasi bentuk tubuh perempuan. Selain itu, tumbuhnya pemikiran tentang pembangkangan budaya yang memandang subkultur sebagai sarana untuk melawan dominasi dapat menjadi taktik yang mujarab. Dengan cara ini, perempuan dapat membebaskan diri dari tekanan sosial dan pikiran-pikiran buruk yang membatasi gerak perempuan serta perempuan harus mampu mencintai diri sendiri tanpa mengikuti standar kecantikan orang lain.

The Ugly Stepsister menunjukkan kepada kita perlunya kesadaran kritis, karena media tidak pernah netral, media adalah arena yang kuat untuk memproduksi makna. Sering kali, media dan budaya populer berfungsi sebagai tempat menyalurkan ideologi dominan dan dipersepsikan oleh semua orang dengan mudah, terutama ideologi patriarki dan kelas sosial elit. Namun, melalui narasi subversif seperti ini, film dapat membuka ruang untuk dialog dan perlawanan terhadap norma-norma yang membatasi.

Hal ini sesuai dengan pembelajaran Culture Studies dan kajian budaya populer yang menekankan pentingnya memahami representasi dalam adaptasi dongeng dan pengaruhnya terhadap persepsi sosial. Melalui hal ini, seseorang melihat film bukan hanya sebagai bentuk hiburan tetapi sebagai salah satu media paling ampuh untuk kritik sosial dan transformasi budaya. [*]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru