25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Nada dan Pelukan: Cerita Anak Down Syndrome di BK3S Surabaya


Surabaya, Bhirawa
Mahasiswa dari Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Dian Cipta Nurrohman, berkesempatan melaksanakan kegiatan magang lapangan di Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BK3S) Surabaya bekerja sama dengan POTADS Angklung Surabaya. Dalam kegiatan ini magang ini , Dian dibimbing oleh dosen pembimbing, Ibu Fransisca Benedicta Avira Citra Paramita, S.I.Kom., M.Med.Kom.

Menurut Dian, selama magang, dirinya berperan sebagai pendamping anak-anak dengan down syndrome dalam kegiatan terapi musik angklung.

“Tugas utama saya adalah membantu proses belajar anak-anak dalam memainkan angklung, mendampingi mereka selama sesi latihan, serta mengamati perkembangan kemampuan motorik dan sosial mereka melalui media music,” jelas Dian.

Setiap sore di salah satu ruangan BK3S (Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial) Surabaya, terdengar suara angklung yang mengalun lembut. Tapi ini bukan sekadar pertunjukan seni. Angklung itu dimainkan oleh anak-anak spesial – anak-anak dengan down syndrome – yang sedang belajar mengenal dunia melalui musik dan kasih sayang.

Mereka datang dengan semangat yang tak bisa diukur dengan angka. Ada yang masih terbata-bata berbicara, ada yang sulit berkonsentrasi lama, tapi semuanya menyimpan semangat luar biasa untuk terus belajar. Dalam aktivitas bermain angklung, mereka tidak hanya bermain musik, tapi juga sedang membangun kepercayaan diri, fokus, keterampilan motorik, dan tentu saja – rasa bahagia.

“Kak, aku bisa lo main di nada do ,” kata Bagas, salah satu anak, dengan wajah tersenyum sambil memperlihatkan angklungnya. Yang bertuliskan angka 1 yang berarti Do

Berita Terkait :  Pemkot Pasuruan Bagikan Kain Seragam Sekolah Gratis untuk Siswa Baru

Sebuah kalimat sederhana, tapi menunjukkan keberanian yang telah tumbuh perlahan dari hari ke hari.

Down syndrome adalah kondisi genetik yang memengaruhi perkembangan fisik dan intelektual seseorang. Anak-anak dengan down syndrome sering menghadapi tantangan dalam hal komunikasi verbal dan sosial. Namun, justru melalui musik – khususnya angklung – mereka menemukan media yang dapat menjembatani keterbatasan itu.

Angklung tidak hanya digunakan sebagai alat seni, tetapi juga sebagai sarana terapi. Saat anak-anak menggenggam angklung, mereka belajar menunggu giliran, mengenali ritme, dan membentuk koordinasi tangan. Lebih dari itu, musik memberi ruang bagi ekspresi dan apresiasi. Satu tepukan kecil setelah mereka berhasil memainkan lagu akan menghadirkan senyum yang tak ternilai.

Aktivitas ini membuktikan bahwa musik adalah bahasa universal. Saat kata-kata sulit diucapkan, nada bisa menyampaikan rasa. Ketika ekspresi terbatas, suara angklung menjadi bentuk komunikasi yang jujur dan tulus.

Sebagai lembaga sosial, BK3S Surabaya telah lama aktif dalam mendampingi kelompok rentan, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Pendekatan mereka bukan sekadar “mengasuh”, melainkan “memberdayakan”. Anak-anak didampingi dengan program yang terarah dan disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi masing-masing.

Setiap pendampingan dilakukan dengan kesabaran dan empati. Tidak semua anak bisa langsung mengikuti irama atau memahami instruksi, tapi para pendamping di BK3S percaya: setiap anak bisa belajar jika diberi waktu, ruang, dan cinta.

Berita Terkait :  Peringati HSN 2024, Ribuan Siswa MI At-Taqwa Kirab 2 Kilometer

“Mereka bukan anak-anak yang kurang, mereka hanya punya cara belajar yang berbeda,” ungkap salah satu staf pendamping di sana.

Apa yang dilakukan BK3S menunjukkan bahwa inklusi sosial bukanlah sekadar wacana. Anak-anak down syndrome di sana diajak tampil dalam kegiatan bersama, belajar bersama, dan dikenalkan pada masyarakat dengan penuh rasa bangga. Mereka tidak disembunyikan, tidak dikasihani, tapi diberi panggung – secara harfiah dan maknawi.

Dalam proses ini, masyarakat juga belajar. Melihat anak-anak down syndrome memainkan angklung dengan bangga membuka mata bahwa keterbatasan bukan akhir. Justru di balik keterbatasan itulah kita belajar tentang keberanian, kerja keras, dan ketulusan yang tak dibuat-buat.

Anak-anak dengan down syndrome bukan beban, bukan masalah, dan bukan objek belas kasihan. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang layak mendapat tempat, kesempatan, dan dukungan. Melalui kegiatan seperti bermain angklung, mereka menunjukkan bahwa keterbatasan fisik atau intelektual tidak pernah memadamkan semangat untuk tumbuh dan bersinar.

BK3S dan POTADS Angklung Surabaya adalah contoh nyata bahwa ketika masyarakat bersatu, inklusi bisa menjadi kenyataan, bukan hanya slogan. Dan bagi siapa pun yang pernah menyaksikan mereka bermain angklung dengan penuh kebanggaan, akan tahu suara bambu itu bukan sekadar nada. Ia adalah suara harapan, keberanian, dan cinta yang menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya.

Selama magang ini, Dian tidak hanya mendapatkan pengalaman lapangan yang berharga, tetapi juga pelajaran hidup yang mendalam.

Berita Terkait :  Risma Menangis Mendengar Gaji Ustadz Kurang dari Rp100 Ribu

“Melihat semangat anak-anak down syndrome dalam bermain angklung, saya menyadari bahwa setiap individu memiliki potensi untuk tumbuh, jika diberi ruang, waktu, dan cinta,” tutur Dian mengisahkan.

Kegiatan magang ini telah memperkaya pemahaman saya sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam konteks komunikasi interpersonal dan empatik, serta membentuk kepekaan sosial saya dalam menghadapi isu inklusi dan pemberdayaan kelompok rentan di masyarakat. [why]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru