Oleh:
Nur Cholissiyah, M. Pd
Peneliti/ Guru SMPN 3 Kedungadem, Bojonegoro
Setiap tahun, Indonesia melahirkan lebih dari 3 juta lulusan dari berbagai jenjang pendidikan dari SMA hingga perguruan tinggi. Mereka datang ke dunia nyata dengan ijazah di tangan dan harapan di dada: untuk mendapatkan pekerjaan layak, membangun kehidupan yang bermartabat, dan berkontribusi bagi bangsa. Namun, harapan itu kerap kandas di depan pintu kenyataan. Tak ada pekerjaan yang cukup untuk mereka. Bahkan ketika pemerintah menggelar bursa kerja di berbagai daerah, seperti yang baru-baru ini terjadi di sejumlah kota besar, hanya sekitar 2 ribu lowongan tersedia untuk 25 ribu pelamar yang hadir. Ini bukan hanya ketimpangan ini adalah kegagalan sistemik.
Realitas ini adalah cerminan dari negara yang tidak serius merancang masa depan warganya. Negara yang seharusnya menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan layak, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, justru membiarkan jutaan anak mudanya terombang-ambing dalam ketidakpastian. Lebih menyedihkan lagi, pemerintah daerah yang semestinya menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi lokal tampak lesu, tidak memiliki visi, dan sering kali hanya berpura-pura peduli melalui program-program yang sekadar bersifat simbolik.
Ironi di Tengah Bonus Demografi
Indonesia sedang berada di puncak bonus demografi, ketika jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) jauh lebih besar dibanding usia non-produktif. Ini seharusnya menjadi peluang emas bagi pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bangsa. Namun sayangnya, potensi besar ini justru berbalik menjadi beban ketika negara gagal menyediakan cukup ruang kerja yang produktif.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023, angka pengangguran terbuka di Indonesia masih mencapai 5,32% atau sekitar 7,86 juta jiwa. Sebagian besar dari mereka adalah lulusan SMK dan perguruan tinggi. Fakta ini menunjukkan adanya ketimpangan antara sistem pendidikan dan dunia kerja yang tidak terhubung dengan baik. Kurikulum pendidikan kita tidak berbasis kebutuhan industri, sementara dunia usaha terus berkembang dengan kebutuhan yang sangat dinamis.
Sementara lulusan yang gagal diterima fenomena 25 ribu lulusan yang berebut 2 ribu kursi kerja bukan hanya terjadi di satu wilayah, tapi menjadi gambaran nasional. Di Jakarta, Surabaya, Medan, hingga Makassar, job fair tahunan kerap dipenuhi pelamar yang jumlahnya berkali-kali lipat dibandingkan jumlah lowongan. Di Depok pada April 2024 lalu, misalnya, tercatat lebih dari 18 ribu pencari kerja mendaftar secara daring dan luring untuk mengisi 1.500 posisi yang disediakan oleh puluhan perusahaan. Hasilnya, ribuan lulusan terdidik kembali ke rumah dengan rasa kecewa.
Sayangnya, sebagian pemimpin daerah masih menganggap penyelenggaraan job fair atau pelatihan kerja satu-dua hari sebagai solusi jangka panjang. Padahal, realitas menunjukkan bahwa tanpa strategi terintegrasi dan dukungan serius terhadap sektor riil, khususnya UMKM, ekonomi digital, dan industri kreatif, lapangan kerja tidak akan pernah cukup.
Lantas terjadinya kemandekan di tingkat daaerah, Pemerintah daerah sebenarnya memiliki peran strategis untuk membuka lapangan kerja melalui fasilitasi investasi, penguatan ekonomi lokal, dan pembinaan tenaga kerja berbasis potensi daerah. Namun kenyataannya, banyak kepala daerah yang tidak memiliki peta jalan pembangunan ketenagakerjaan yang konkret. Mereka lebih sibuk mengurus politik pencitraan, agenda seremonial, atau bahkan membiarkan birokrasi yang tidak efisien menghambat pertumbuhan usaha. Di banyak daerah, proses perizinan untuk investasi usaha kecil hingga menengah masih lambat dan berbelit. Padahal sektor inilah yang sesungguhnya bisa menyerap banyak tenaga kerja lokal. Sementara itu, alokasi anggaran untuk pelatihan keterampilan kerja masih minim, dan bahkan kerap hanya menjadi proyek formalitas demi laporan kinerja tahunan.
Lebih parah lagi, dalam beberapa kasus, rekrutmen tenaga kerja masih kental dengan praktik nepotisme dan politik balas budi. Lulusan yang tidak punya “akses” dan “relasi” sering kali kalah sebelum bertanding, bahkan jika mereka memiliki kompetensi yang baik. Ketika Generasi Frustrasi dan Munculnya Masalah Sosial. Ketika lulusan terus-menerus gagal mendapatkan pekerjaan, konsekuensinya meluas ke berbagai sektor sosial. Kita sedang menyaksikan lahirnya generasi frustrasi generasi yang kehilangan kepercayaan pada pendidikan dan pada negara. Mereka mempertanyakan, “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya menganggur juga?”
Kondisi ini menyumbang pada meningkatnya angka pekerja informal tanpa jaminan sosial, membengkaknya beban keluarga, dan menurunnya kualitas hidup. Bahkan, dalam beberapa riset, pengangguran jangka panjang di kalangan muda dikaitkan dengan meningkatnya potensi radikalisme, kriminalitas, hingga keputusasaan sosial.Tidak adanya akses kerja yang layak bukan hanya soal ekonomi, tetapi telah menjelma menjadi krisis moral dan krisis kepercayaan terhadap sistem negara.
Perlu Revolusi Sistemik: Dari Pemerintah Pusat hingga Daerah
Menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan tidak bisa dilakukan dengan solusi tambal sulam. Negara perlu melakukan revolusi sistemik dalam cara merancang dan mengeksekusi kebijakan ketenagakerjaan. Beberapa langkah yang perlu segera diambil antara lain adalah pertama, membangun sinkronisasi antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri.
Kurikulum harus adaptif dan berbasis data kebutuhan sektor-sektor kerja riil. Kedua mengoptimalkan peran pemerintah daerah.
Pemda harus diberi insentif untuk menciptakan lapangan kerja dan difasilitasi dalam membangun ekosistem usaha lokal yang kuat. Ketiga, memberantas nepotisme dan politisasi dalam rekrutmen. Seleksi kerja di lembaga-lembaga pemerintah dan BUMD harus berbasis merit dan transparan. Keempat, memperkuat sektor informal dan ekonomi kreatif.
Negara perlu hadir melalui pembiayaan, pelatihan, dan pasar bagi pelaku usaha kecil, UMKM, dan wirausaha muda. Kelima, mengawasi dan mengevaluasi program pelatihan kerja.
Dana pelatihan harus digunakan tepat sasaran dan dievaluasi dampaknya terhadap serapan tenaga kerja.
Apa artinya pendidikan nasional jika lulusannya tidak punya tempat di dunia kerja? Apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika ia tidak membuka akses keadilan bagi mereka yang telah menunaikan tanggung jawab sebagai pemuda? Negara, baik pusat maupun daerah, tidak bisa terus bersembunyi di balik statistik dan narasi pencapaian semu. Ketika 25 ribu lulusan hanya berebut 2 ribu kursi kerja, maka itu adalah sinyal darurat bahwa kita telah gagal merancang masa depan. Dan bangsa yang gagal merancang masa depan, pada akhirnya, sedang menggali lubang untuk kehancurannya sendiri.
———– *** ————-


