Oleh :
Churun Lu’lu’il Maknun
Peneliti Pendidikan, Mahasiswa Doktoral Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Sejak rencana pengembalian Ujian Nasional diumumkan, kebijakan ini kembali menjadi perdebatan di kalangan masyarakat, tokoh, dan pendidik (Tempo, 1 November 2024). Pemerintah telah menetapkan Ujian Nasional bakal digelar untuk SMA, SMK, dan MA pada November 2025 (Kompas, 21 Januari 2025). Alasan kembali dilaksanakan Ujian Nasional adalah masukan dari tim seleksi nasional masuk perguruan tinggi memerlukan hasil belajar yang sifatnya individual (Kompas, 21/1/2025).
Asesmen Nasional yang diperkenalkan Nadiem Makarim sebagai pengganti Ujian Nasional dianggap belum mampu memenuhi kebutuhan seleksi perguruan tinggi dalam menilai calon mahasiswa (Tempo, 31 Desember 2024). Selain itu, ada anggapan bahwa keberadaan Ujian Nasional dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Namun, benarkah demikian?
Riset memang menunjukkan adanya perubahan perilaku siswa, yaitu siswa kurang tertarik pada Ujian Nasional ketika tidak memengaruhi status kelulusan mereka (Retnawati, 2019). Namun, Ujian Nasional seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai alat seleksi perguruan tinggi atau sekadar pendorong motivasi belajar melalui tekanan akademik. Sebelum Ujian Nasional kembali diterapkan, perlu ada kajian mendalam mengenai esensinya serta bagaimana pelaksanaannya agar tidak sekadar mengulang kebijakan lama.
Fenomena Jawaban Benar Tanpa Pemahaman
Apabila melihat kembali Ujian Nasional beberapa tahun ke belakang, soal ujian nasional adalah soal yang rutin, dengan tipe pilihan ganda. Menjelang pelaksanaan Ujian Nasional, guru maupun siswa berlatih soal-soal sejenis yang dikerjakan secara berulang-ulang. Banyak siswa mampu menjawab soal dengan benar, tetapi tanpa memahami konsep di baliknya (Yulia & Nasution, 2022).
Sebagai contoh siswa dapat menghafal rumus luas segitiga (1/2×alas×tinggi), tetapi tidak tahu dari mana rumus itu berasal. Seorang siswa mungkin dapat menjawab soal luas segitiga dengan benar, tetapi jawaban tersebut bisa jadi hanya berdasarkan hafalan tanpa memahami konsep di baliknya. Jawaban benar secara kebetulan atau sekadar hafalan tidak sama dengan pemahaman konseptual yang sesungguhnya.
Mengapa Hal Ini Terjadi?
Fenomena ini bukan terjadi tanpa sebab. Ada beberapa faktor dalam sistem pendidikan yang menyebabkan siswa lebih mengutamakan hafalan dibanding pemahaman konsep. Sistem pendidikan di Indonesia masih menekankan keberhasilan akademik melalui ujian berbasis pilihan ganda dan hafalan rumus.
Hal ini karena sistem pendidikan saat ini lebih menekankan perolehan nilai tinggi daripada pemahaman konsep. Sebagai contoh, siswa yang cenderung fokus pada “bagaimana mendapatkan nilai tinggi” daripada memahami konsep dan guru yang memberikan rumus dan prosedur tanpa membangun konsep dari awal. Pendekatan ini membuat siswa hanya mengingat langkah-langkah penyelesaian tanpa memahami hubungan antar-konsep. Akibatnya siswa menjadi kurang kritis dan sulit beradaptasi dalam menyelesaikan masalah nyata. Misalnya, banyak mahasiswa jurusan sains atau teknik kesulitan menerapkan matematika dasar ke dalam kasus dunia nyata karena kurangnya pemahaman konseptual. Pendidikan seharusnya melatih pola pikir logis, tetapi jika hanya berbasis hafalan, siswa tidak mengembangkan keterampilan berpikir analitis.
Mengajar dengan Menekankan Proses Berpikir
Penting bagi guru menumbuhkan epistemic virtue di kelas, yaitu mendorong rasa ingin tahu siswa dengan pertanyaan reflektif, misalnya “Mengapa rumus ini berlaku?” bukan sekadar “Apa rumusnya?” serta menekankan ketekunan dan ketelitian dalam menyelesaikan soal dengan pemahaman yang benar.
Pendekatan pembelajaran berbasis penalaran dan eksplorasi memungkinkan siswa menemukan pola atau konsep sebelum diberikan rumus secara eksplisit. Contoh: Alih-alih langsung memberikan rumus luas segitiga, guru bisa meminta siswa membandingkan luas persegi panjang dengan segitiga yang terbentuk di dalamnya. Selain itu, mengubah pola evaluasi dari hafalan ke pemecahan masalah untuk menguji pemahaman, analisis dan berpikir kritis siswa bukan sekadar hafalan.
Pendidikan Sebagai Sarana Berpikir Kritis, Bukan Sekadar Hafalan
Kita perlu menegaskan kembali bahwa tujuan pembelajaran bukan hanya mendapatkan jawaban benar, tetapi memahami mengapa jawaban itu benar. Pola pikir pendidikan yang seperti ini perlu bergeser dari orientasi ujian menuju pendekatan yang lebih ke arah berpikir konseptual. Jika Ujian Nasional ingin berkontribusi terhadap sistem pendidikan yang menekankan proses berpikir, maka proses pelaksanaannya seharusnya berbeda dari Ujian Nasional sebelumnya. Bukan hanya evaluasi berbasis hafalan dan pilihan ganda, melainkan juga evaluasi yang menunjukkan kualitas proses berpikir siswa. Dengan begitu, Ujian Nasional bukan sekadar alat seleksi, tetapi harus menjadi instrumen yang mendorong siswa berpikir kritis. Jika pola ujian tetap berbasis hafalan dan pilihan ganda, maka reformasi ini hanya sekadar perubahan kebijakan tanpa dampak substansial bagi pendidikan Indonesia.
————– *** —————–