Dunia pendidikan kembali berduka, dikarenakan kasus kekerasan yang terjadi di tanah air, tepatnya di Batu, Jawa Timur. Perkaranya adalah lima anak mengeroyok teman sekolah dan teman bermain mereka hingga tewas. Bahkan salah satu pelaku tega merekam pengeroyokan itu. Akhirnya kelima pelaku ditangani sesuai dengan ketentuan peradilan anak karena masih di bawah umur. Korbanya adalah keluarga RKW (14), siswa Kelas 1 di salah satu SMPN Kota Batu, yang menjadi korban penganiayaan lima temannya. Adapun kini para pelaku telah diamankan oleh kepolisian resor Batu, yang selanjutnya akan di proses secara hukum. Dalam sebuah konferensi pers, kepala polres Batu, Ajun Komisaris Besar Oskar Syamsuddin Sabtu (1/6/2024), mengungkapkan, kelima pelaku masing-masing berinisial AS (13), MI (15), KA (13), MA (13) dan KB (13). Dimana mereka merupakan teman sekolah dan teman bermain korban. Salah satu kasus diatas hanya satu dari banyaknya kasus kekerasan terjadi di Indonesia. Padahal sebagai kita tahu bahwa pendidikan merupakan suatu landasan utama dalam pembentukan karakter dan kepribadian seseorang. Namun, dalam realitasnya tidak selalu sesuai dengan idealisme tersebut.
Kekerasan dalam konteks pendidikan, baik secara fisik, verbal, maupun psikologis, masih menjadi isu yang sering kali terabaikan atau bahkan dianggap lumrah. Kekerasan semacam itu bukanlah sekadar pelanggaran terhadap hak asasi manusia, tetapi juga menyebabkan dampak yang mendalam pada perkembangan mental dan emosional anak-anak secara keseluruhan. Maka kekerasan, apapun bentuknya dalam pendidikan harus dihentikan dengan berbagai cara dan langkah-langkah konkret untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung pertumbuhan anak hingga menjadi generasi tanpa trauma. Memahami Masalah Kekerasan Kekerasan dalam pendidikan dapat berupa tindakan fisik seperti pukulan, tendangan, atau benturan, ada pula tindakan verbal seperti hinaan atau ancaman, serta tindakan psikologis seperti pengucilan atau intimidasi. Bentuk kekerasan ini bisa dilakukan oleh seorang guru, staf sekolah, sesama siswa, atau bahkan oleh orang tua sendiri. Kekerasan dalam pendidikan bukanlah masalah baru. Bahkan sejak lama, kita sering mendengar cerita-cerita tentang siswa yang dianiaya secara fisik oleh guru atau teman sekelasnya, atau siswa yang dilecehkan secara verbal oleh guru mereka. Walau demikian kekerasan semacam ini telah lama terjadi, namun langkah-langkah konkret untuk mengatasi kekerasan dalam pendidikan masih terbilang minim. Kekerasan, dalam berbagai bentuknya, merupakan isu serius yang terus menghantui masyarakat kita. Tidak hanya terjadi di jalanan atau di rumah tangga, tetapi juga di tempat yang seharusnya menjadi tempat yang aman, nyaman dan mendukung bagi perkembangan anak-anak sekolah.
Kekerasan dalam pendidikan memiliki akar yang kompleks dan multifaset. Salah satu faktor utamanya adalah sikap dan perilaku yang terinternalisasi dari budaya yang kadangkala membenarkan atau bahkan mempromosikan kekerasan sebagai cara untuk menegakkan kewibawaan atau menyelesaikan konflik. Budaya seperti ini seakan memperlakukan kekerasan sebagai sesuatu yang wajar, bahkan dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses pendidikan. Dampak Kekerasan Pendidikan Maka dampak dari akibat kekerasan dalam pendidikan sangatlah merugikan berbagai kalangan, baik bagi korban langsung maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Bagi korban langsung, kekerasan dalam pendidikan bisa menyebabkan trauma psikologis yang mendalam. Anak yang menjadi korban kekerasan cenderung mengalami stres kronis, kecemasan, depresi dan masalah perilaku lainnya. Kekerasan dalam pendidikan juga berdampak pada lingkungan sekolah secara keseluruhan. Lingkungan yang tidak aman dan penuh dengan kekerasan cenderung mengganggu proses belajar-mengajar. Siswa yang merasa tidak aman di sekolah mungkin kesulitan untuk berkonsentrasi dan belajar dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan prestasi akademis menuruun secara keseluruhan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kekerasan dalam pendidikan masih ada? Penulis beropini, ada beberapa faktor yang menjadi pemicu kekerasan hingga keberlangsungan sampai saat ini. Yang pertama adalah budaya yang seakan menganggap kekerasan adalah hal biasa. Di beberapa budaya, kekerasan dalam pendidikan dianggap sebagai cara yang sah untuk mendisiplinkan anak-anak.
Pandangan seperti ini seolah menghalalkan Tindakan kekerasan karena dianggap normal. Selanjutnya adalah karena tidak-berdayanya korban, korban kekerasan dalam pendidikan seringkali merasa tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau melaporkan tindakan kekerasan yang mereka alami. Sehingga mereka mungkin takut akan konsekuensi yang lebih buruk jika melaporkan kejadian tersebut. Akhirnya korban memilih untuk diam ketika mengalami kekerasa. Lemahnya penegakan hukum terhadap kasus kekerasan dalam pendidikan membuat pelaku merasa bisa melakukan tindakan tersebut tanpa takut akan hukuman. Sebagai contoh, yang melakukan kekerasan adalah anak pejabat, atau usia yang masih dibawah umur. Lalu banyak orang masih kurang menyadari dampak negatif kekerasan dalam pendidikan. Mereka mungkin menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa terjadi atau bahkan sebagai bagian yang tidak terhindarkan dari proses pendidikan. Akhirnya kita semua harus menyadari bahwa kekerasan dalam pendidikan bukan masalah yang bisa disepelekan. Kita perlu melihat lebih dari sekadar tindakan fisik atau verbal yang terjadi di dalam kelas. Perlu menyadari bahwa kekerasan dalam pendidikan mencakup spektrum yang lebih luas, meliputi tekanan akademik yang berlebihan dan budaya yang membenarkan kekerasan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kerja sama antara pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat secara keseluruhan. Semoga bermanfaat.
Suliswanto
Pengajar AIK Universitas Muhammadiyah Malang