Bencana tak pilih-pilih tempat, melainkan selalu terjadi pada area yang mengalami penyusutan daya dukung lingkungan. Tak terkecuali di area wisata yang kondang. Menjadikan seluruh kawasan tujuan wisata dalam status siaga dan darurat bencana hidro meteorologi. Karena cuaca ekstrem, badai bisa datang tiba-tiba di perairan dan di udara. Serta di darat, banjir dan tanah longsortelah mengepung jalan menuju destinasi wisata. Ekonomi kreatif ke-wisata-an yang berbasis alam, akan mengalami jeda ke-ekonomi-an karena iklim.
Bencana di area wisata sering menimbulkan korban jiwa. Bahkan setahun terjadi berkali-kali longsor. Seperti terjadi di Pacet, Mojokerto, Jawa Timur. Di sepanjang perjalanan berstatus rawan longsor. Pada awal April 2025, akhir musim hujan, sudah terjadi longsor, mengubur 10 orang di dalam dua mobil, dalam perjalanan mudik. Menjadi korban jiwa tak tertolong. Kini bertemu lagi denganawal musim hujan, telah terjadi longsor di berbagai titik. Terjadi longsor lagi, dan pohon tumbang.
Namun trauma paling mendalam telah pernah terjadi pada Desember, 23 musim silam. Terjadi sepekan setelah Idul Fitri, masih banyak masyarakat yang menghabiskan sisa waktu untuk belibur di pemandian air panas, di desa Padusan, Pacet, Mojokerto. Diawali suara gemuruh dari arah bukit, serta-merta diikuti longsoran bukit membawa material batu ukuran besar, dan pohon. Meluncur deras persis ke arah kolam pemandian. Seketika terdengar jerit tangis menyaksikan sanak keluarga tertimbun tanah longsor.
Tragedi tahun 2002 di Pacet, menelan 24 korban jiwa. Sebagian ditemukan di sungai Mojosari. Penyebabnya, diduga karena penebangan hutan pinus di lereng gunung Welirang. Sebagian digunakan untuk akomodasi wisata (hotel, penginapan). Alih fungsi lahan juga berganti menjadi kebun teh, aneka sayur, dan tanaman pangan lainnya. Memicu longsor setiap musim hujan, dimulai pada tahun 1985.
Darurat kawasan wisata juga terjadi diseantero propinsi Bali.Sama-sama terjadi dua kalidalam setahun, dilanda bencana banjir banding dan tanah longsor. Bahkan seolah-olah Bali mengawali ke-bencana-an pada sebelum awal musim hujan, terjadi pada September 2025. Semakin pedih karena terdapat 18 korban jiwa yang tak tertolong. Terbaru,14 Desember, terjadi hujan lagi ekstrem, menewaskan satu WNA.
Seluruh ahli tataruang, dan lingkungan di Bali, telah menuding penyebab bencana disebabkan alih fungsi lahan. Gubernur mulai sepakat pula dengan ahli, diakui semakin banyak alih fungsi lahan berubah menjadi akses akomodasi (penginapan) wisata. Banyak sungai di seantero Bali menjadi area wisata cukup laris. Misalnya sungai Ayung (di Ubud, kabupaten Gianyar). Juga sungai Telaga Wijaya (di Karangasem), dan sungai Melangit, di Klungkung.
Banyak lahan di hulu sepanjang DAS yang telahberubah fungsi sebagai area menjadi area akomodasi wisata. Niscaya mengurangi catchment area (area resapan). Dalam setahun (sambung iklim hujan), mulai Januari hingga Desember 2025, Bali sudah dua dikepung banjir.Seluruh destinasi wisata yang memiliki panorama elok, berstatus siaga dan darurat iklim (ekstrem). DiSibolangit, 2024, juga terjadi longsor, menelan korban jiwa sebanyak 31 orang.
Siaga bencana sudah di-warning UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Di dalamnya terdapat amanat pencegahan, termasuk mitigasi. UU pada pasal 38 huruf b, dinyatakan, “kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana.”
Me-minimalisir dampak bencana menjadi kewajiban pemerintah (dan daerah), dengan prinsip kelestarian ekosistem esensial. Bukan dengan menanam beton, melainkan lebih banyak menanam pohon.
——— 000 ———


