Oleh :
Budi Raharjo
Staf Ahli Gubernur Bidang Kesejahteran Masyarakat dan SDM
Bonus demografi sering diposisikan sebagai peluang besar bagi Indonesia untuk melompat lebih jauh dalam pembangunan ekonomi.Namun peluang ini tidak datang dengan jaminan.Tanpa kebijakan yang tepat, bonus demografi justru bisa berubah menjadi beban sosial baru berupa pengangguran muda, pekerja informal rentan, dan talenta yang tidak terserap pasar kerja. Di Jawa Timur, perdebatan antara Pendidikan dan pelatihan vokasi formal sertapemberdayaan (workshop) tematik berbasis bridging system mencerminkan kegelisahan yang lebih besar: bagaimana negara seharusnya merespons perubahan dunia kerja yang semakin tidak linier ; cepat, tidak dapat diprediksi, komplek dan sulit dipahami (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity=VUCA). Disisi lain penyelenggara birokrasi yang membantu peningkatan SDM masih dihadapkan padakultur, struktur, manajemen, kualitas SDM, sarana/teknologi dan perbaikan yang berkelanjutan (continous improvement) yang masih terbatas.
Selama bertahun-tahun, pendidikan dan pelatihan vokasi formal menjadi instrumen utama negara dalam menyiapkan tenaga kerja. Pendekatan ini bertumpu pada standar kompetensi, kurikulum baku, durasi pelatihan yang jelas, serta sertifikasi sebagai ukuran keberhasilan. Dalam banyak konteks, terutama untuk angkatan kerja pemula, model ini masih relevan dan dibutuhkan. Negara perlu hadir memastikan bahwa lulusan pelatihan memiliki kompetensi dasar yang diakui dan dapat dipertanggungjawabkan dan tentunya menjadi bargaining memasuki dunia kerja atau menjadikan pekerjaannya lebih produktif dan berkualitas.
Namun masalah muncul ketika pendekatan vokasi formal diperlakukan sebagai satu-satunya jawaban untuk seluruh persoalan ekonomi, sosial dan dunia kerja,.Dunia kerja hari ini misalnya tidak lagi sepenuhnya diisi oleh hubungan kerja tetap, jam kerja kaku, dan jalur karier yang lurus.Era gig economy mendorong munculnya peluang kerja berbasis proyek, freelance, dan usaha rintisan berbasis digital tumbuh cepat, terutama di kalangan generasi muda.Dalam konteks ini, sertifikat sering kali bukan tiket utama menuju pekerjaan, melainkan lebih banyak ditentukan oleh kemampuan adaptasi, portofolio nyata, dan jejaring.
Workshop Tematik dan Bridging System
Momentumdampak perubahan di masyarakat memerlukan pemenuhan kebutuhan cepat tersebut.Workshop tematik tidak dimaksudkan untuk menggantikan vokasi, melainkan mengisi ruang secara integrasi yang tidak bisa dijangkau oleh pendidikan/pelatihan formal. Pesertanya bukan individu tanpa keterampilan sama sekali, tetapi mereka yang sudah memiliki embrio kemampuan, pengalaman kerja, atau minat spesifik. Yang dibutuhkan bukan kelas, waktu yangpanjang dan kurikulum yang terstandar, melainkan kebutuhan ruang untuk penguatan kapasitas yang kontekstual, pendampingan praktis, praktek dan koneksi langsung dengan kebutuhan pasar.
Program seperti Millenium Job Center (MJC) di Jawa Timur misalnyalahir dari kesadaran ini. MJC tidak dirancang sebagai lembaga pelatihan vokasi formal, melainkan sebagai platform orkestrasi talenta.Ia mempertemukan talenta muda, mentor praktisi, dan klien industri atau UMKM dalam satu ekosistem. Workshop tematik menjadi pintu masuk, mentoring menjadi penguat, dan job matching atau proyek nyata menjadi tujuan akhir.Sertifikasi tetap dimungkinkan, tetapi bukan sebagai target utama, melainkan sebagai alat jika dibutuhkan sebagai penguat oleh pasar.
Persoalan muncul ketika inovasi semacam ini salah bingkai. Ketika MJC dipaksa masuk ke kerangka pelatihan vokasi formal, maka logika kebijakan pun akanbergeser. Fokusnya akan beralih dari outcome ke output oriented, dari penempatan kerja sesuai kebutuhan ke pemenuhan jam pelajaran, dari dampak sosial ke serapan anggaran dari fleksibel ke terstandar. Akibatnya, sinergi yang seharusnya terbangun justru berubah menjadi tumpang tindih dengan peran Balai Latihan Kerja (BLK) yang focus melatih terstandar.
Padahal, jika dilihat secara jernih, vokasi dan workshop tematik memiliki fungsi yang berbeda namun saling melengkapi.Vokasi formal berperan sebagai fondasi, membangun kompetensi teknis dasar yang terstandar.Sedang workshop tematik berfungsi sebagai jembatan (bridging), mempercepat integrasi kompetensi tersebut ke dunia yang nyata. Inilah esensi dari bridging system dalam program MJC: menjembatani antara kapasitas individu dan kebutuhan pasar, antara sistem yang mapan (terstandar) dan realitas yang terus berubah atau menyesuaikan dengan keadaan.
Pengalaman lainnya misal pemberdayaan Pekerja Migran Indonesia (PMI) Purna memperjelas penting dan kompleknya kebutuhanimplementasi dari pendekatan ini.PMI Purna bukan tenaga kerja muda pemula, bukan pula semua terdidik, berbeda pula dengan Pelatihan Calon PMI (CPMI) yang wajib menghasilkan sertifikat ketrampilan terlebih jika dikaitkan dengan keluarga PMI.Mereka datang dengan modal pengalaman kerja lintas negara, keterampilan praktis, dan modal ekonomi berupa remitansi. Ketika mereka diperlakukan sama seperti calon PMI yang membutuhkan pelatihan dasar, dampak program sering kali tidak optimal. Yang lebih dibutuhkan justru workshop tematik berbasis komunitas, pendampingan usaha, dan integrasi dengan ekonomi lokal desa.Yang dibutuhkan lebih banyak praktek, berbagi pengalaman, penguatan, tidak terikat ruang dan waktu serta bisa bersama belajar dengan keluarga.
Dalam konteks PMI Purna : bridging system bekerja sebagai penghubung antara pengalaman kerja masa lalu dan peluang ekonomi baru di kampung halaman. Dalam UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, mengamatkan adanya bimbingan kewirausahaan, mentoring usaha, dan penguatan jejaring lokal, yang jauh lebih relevan dibanding pelatihan institusional penuh.Di sinilah sinergi antara negara, komunitas, desa, dan sektor non-pemerintah menjadi kunci.Perlindungan negara tidak harus selalu hadir sebagai penyelenggara tetapi bisa sebagai fasilitator disebuah ekosistem untuk membantu reintegrasi ekonomi dan sosial pasca bekerja dari luar negeri sesuai amanat UU diatas.
Integrasi sebagai Core Program
Jawa Timur sebenarnya memiliki modal kebijakan yang kuat untuk membangun integrasi ini. Kehadiran Tim Koordinasi Daerah Vokasi (TKDV), program Jatim Kerja, East Java Super Corridor (EJSC), hingga berbagai inovasi job matching yang mensupport program MJC, atau misal dalam program One Pesantren One Product (OPOP) dan BLK Komunitas yang berbasis tematikmenunjukkan arah yang progresif. Tantangannya adalah memastikan setiap program berjalan sesuai mandatnya, tidak saling menolak, dan terhubung (integrasi) dalam satu desain besarpenciptaan dan perluasan kesempatan kerja sesuai amanat UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaa dan PP Nomor 31 Tahun 2013 tentang perluasan kesempatan kerja.
Bridging system seharusnya diposisikan sebagai ruang sinergi, bukan ancaman bagi sistem yang sudah ada.Vokasi formal tetap dijalankan oleh BLK dan lembaga terkait dengan fokus pada kompetensi teknis.Workshop tematik dan platform seperti MJC bergerak di wilayah akselerasi pasar, mentoring, dan orkestrasi talenta.Integrasi keduanya bukan berarti mencampuradukkan fungsi, melainkan menyambungkan alur dari pelatihan ke pekerjaan, dari keterampilan ke penghasilan atau kesejahteraan.
Tanpa integrasi, vokasi berisiko berhenti pada tumpukan sertifikat tanpa dampak nyata.Tanpa fondasi vokasi, workshop tematik berisiko kehilangan standar kualitas.Sinergi keduanya justru memperkuat sistem ketenagakerjaan secara keseluruhan.Negara tidak perlu memilih salah satu, tetapi perlu memastikan jembatan di antara keduanya bekerja dengan baik.
Pada akhirnya, bonus demografi bukan soal jumlah tenaga kerja, melainkan soal kualitas, kebijakan soal bagaimana berkontribusi terhadap Indeks Penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT),Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Gini Rasio. Ketika kebijakan mampu membaca perubahan zaman, memberi ruang inovasi, dan mendorong integrasi antarpola, maka bonus demografi dapat menjadi mesin pertumbuhan yang inklusif. Jawa Timur memiliki peluang besar untuk menunjukkan bahwa sinergi vokasi dan bridging system bukan sekadar wacana, melainkan strategi nyata menghadapi masa depan kerja yang semakin dinamis.
Dalam kerangka RPJMD Provinsi Jawa Timur 2024-2029, Pelatihan Vokasi, Program Millenium Job Center, dan Program Pemberdayaan PMI Purna merupakan instrumen kebijakan yang berbeda namun saling melengkapi, sehingga tidak dapat diperlakukan secara seragam namun dibutuhkan untuk saling terintegrasi dan bersinergi.
————– *** ——————


