28 C
Sidoarjo
Wednesday, December 17, 2025
spot_img

Viral Anak SD Stres karena PR: Sekolah Ramah Anak Masih Sekadar Slogan?

Oleh :
Dr. Elinda Rizkasari
Dosen prodi PGSD Unisri Surakarta

Beberapa waktu lalu, media sosial dihebohkan oleh video seorang anak sekolah dasar yang menangis karena lelah mengerjakan tugas sekolah. Dengan suara terbata, ia mengaku takut dimarahi guru bila nilainya turun, sementara waktu bermainnya nyaris tak ada. Ribuan warganet merespons dengan empati, sebagian besar menulis, “Anak saya juga mengalami hal yang sama.” Kasus ini menjadi cermin getir tentang wajah pendidikan dasar di negeri ini seperti terlalu cepat menuntut kedewasaan dari anak-anak yang seharusnya masih bermain.

Fenomena tekanan akademik pada anak SD bukanlah hal baru, tetapi kini semakin mencemaskan. Banyak sekolah menerapkan sistem belajar yang padat, tugas menumpuk, bahkan memberi pekerjaan rumah setiap hari. Di luar jam sekolah, anak – anak masih mengikuti les tambahan. Dalam seminggu, mereka jarang benar-benar punya waktu untuk sekadar bermain di luar rumah. Data UNICEF menunjukkan bahwa pada anak usia 6 – 12 tahun seharusnya memiliki waktu bermain aktif minimal dua hingga tiga jam per hari sebagai bagian dari tumbuh kembang optimal. Namun di banyak daerah, waktu itu telah tergantikan oleh tumpukan buku dan layar gawai.

Sebuah studi dari Universitas Indonesia (2024) menunjukkan bahwa enam dari sepuluh anak sekolah dasar di kota besar mengalami gejala stres ringan hingga sedang akibat beban tugas dan tekanan akademik. Penelitian serupa oleh Pusat Kajian Perlindungan Anak (2023) juga mencatat, anak-anak dengan durasi belajar lebih dari delapan jam per hari cenderung memiliki tingkat kecemasan dua kali lipat dibanding yang mendapat waktu istirahat cukup. Data ini memperkuat dugaan bahwa sistem pendidikan kita belum ramah anak, dan justru memicu masalah kesehatan mental sejak usia dini.

Berita Terkait :  Festival Gandrung Rajungan Tegaskan Potensi Sari Laut hingga Kuliner Lamongan

Akar persoalan ini terletak pada paradigma lama yang masih menguasai ruang pendidikan kita: nilai akademik sebagai tolok ukur utama keberhasilan. Sekolah berlomba – lomba menunjukkan hasil ujian yang tinggi, guru merasa harus memberi banyak tugas agar terlihat “bermutu”, dan orang tua bangga bila anaknya berada di peringkat teratas. Dalam atmosfer seperti ini, anak-anak kehilangan hak dasarnya untuk tumbuh secara alami bermain, berinteraksi, dan bereksplorasi.

Padahal, esensi pendidikan bukanlah menjejali kepala anak dengan informasi, melainkan menumbuhkan rasa ingin tahu, kemandirian, dan karakter. Pendidikan yang sehat seharusnya melatih anak berpikir kritis, berempati, dan bahagia belajar. Namun yang terjadi, sistem kita lebih sibuk menghitung skor daripada memahami manusia kecil yang sedang belajar mengenali diri dan dunia.

Slogan “Sekolah Ramah Anak” seharusnya menjadi jawaban, tetapi implementasinya masih jauh dari harapan. Banyak sekolah belum mengubah budaya akademik yang menekan. Anak-anak masih dinilai dari angka, bukan dari proses. Guru pun sering kali tidak mendapat dukungan untuk berinovasi karena terjebak dalam beban administratif dan target kurikulum. Akibatnya, sistem pendidikan berjalan seperti mesin: seragam, kaku, dan tidak mengenal perasaan.

Kita juga perlu mengubah cara pandang di rumah. Orang tua tidak boleh menjadi perpanjangan tangan sistem yang menekan. Penelitian Parenting Research Center Australia (2024) menemukan bahwa anak-anak yang diasuh dengan pola supportive parenting yakni orang tua yang menyeimbangkan disiplin dengan empati memiliki tingkat stres akademik hingga 40 persen lebih rendah dibanding anak yang dibesarkan dalam pola asuh otoriter. Artinya, pola pengasuhan yang penuh dukungan dapat menjadi benteng pertama menghadapi tekanan sistem pendidikan yang keras.

Berita Terkait :  Hasil Operasi Zebra Semeru di Kota Madiun, Terbanyak Tak Pakai Helm

Mencari Jalan Keluar

Sudah saatnya sekolah dan keluarga Bersama – sama membangun kembali ekosistem belajar yang lebih manusiawi. Sekolah perlu meninjau ulang beban tugas dan jam belajar yang selama ini dianggap sebagai ukuran mutu. Guru dapat memberikan pekerjaan rumah yang berbasis proyek sederhana dan menyenangkan, yang menumbuhkan kreativitas alih – alih sekadar menyalin buku pelajaran. Pemerintah juga harus memperkuat penerapan Sekolah Ramah Anak bukan hanya dalam tataran slogan, tetapi sebagai kebijakan nyata yang menempatkan kesejahteraan psikologis siswa sejajar dengan pencapaian akademik.

Di sisi lain, orang tua harus menjadi “sekutu anak”, bukan malah menjadi hakim yang menilai dari angka rapor. Rumah sebaiknya menjadi tempat aman di mana anak dapat beristirahat dari tekanan sekolah, bercerita tentang rasa lelahnya, dan menemukan kembali semangat belajar dalam suasana yang hangat. Keseimbangan antara belajar dan bermain juga perlu dipulihkan. Negara Finlandia, yang dikenal memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia, justru tidak memberikan pekerjaan rumah pada siswa sekolah dasar dan menjadikan permainan sebagai metode belajar utama. Anak – anak mereka tetap berprestasi, bahkan lebih bahagia, karena belajar dengan cara yang selaras dengan usia mereka.

Kasus viral anak SD yang stres karena tugas sekolah berlebihan seharusnya menjadi alarm sosial bagi kita semua. Ia bukan sekadar kisah pilu individu, melainkan tanda bahwa sistem kita sedang melupakan hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Bila tawa anak-anak hilang dari ruang kelas, maka ada yang salah dalam cara kita mendidik.

Berita Terkait :  Kapolres Kota Probolinggo Resmikan Sumur Bor di Desa Sumberkramat

Anak – anak tidak lahir untuk menjadi mesin pencetak nilai. Mereka lahir untuk tumbuh, bermain, dan belajar mengenal dunia dengan gembira. Ketika sistem pendidikan membuat mereka menangis, saatnya kita berhenti sejenak dan bertanya: siapa sebenarnya yang sedang kita didik anak-anak kita, atau ambisi kita sendiri?

———— *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru