Banyak kyai (ulama) dan santri menjadi korban ke-keji-an PKI (Partai Komunis Indonesia, yang terlarang). Berbagai dokumentasi, dan bukti nyata berupa lubang yang berisi jasad ulama dan santri, di kawasan aglomerasi Madiun. Juga banyak buku yang diterbitkan oleh pemerintah. Banyak pula buku yang diterbitkan kalangan santri. Masih sangat banyak saksi mata kalangan kyai dan santri, fasih bercerita tentang pengkhianatan PKI tahun 1965. Sehingga adu data masih akan dimenangkan kalangan santri.
Bahkan seorang ulama tokoh NU, KH Muhammad Noer, mengalami bentrok dengan PKI dua kali. Tahun 1948, dan 1965. Pengkhianatan (dan pemberontakan) PKI tahun 1965, tidak bisa dilepaskan dari rentetan pengkhianatan (dan kekejaman) kader partai komunis di Indonesia, sejak 1927. Serta pemberontakan besar pada September 1948. Namun selama tiga dekade terakhir, terdapat upaya “mem-belok-kan” fakta kekejaman dan pengkhianatan PKI. Tetapi tidak berhasil. Walau harus diakui pula, Sebagian orang yang “dituduh PKI,” sebenarnya tidak mengetahui politik.
Jika KH Muhammad Noer, bisa menyelamatkan diri, namun koleganya, KH Hamid Dimyathi Termas, tidak bisa menghindar dari pengeroyokan kader PKI. Ulama yang pernah menuntut ilmu di Makkah, adalah Ketua Masyumi Pacitan. Sekaligus anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Kakaknya, KH Mahfudz Termas, adalah ulama Indonesia pertama yang mengajar di Masjidil Haram, Makkah. Muridnya tersebar di seluruh dunia. Termasuk ulama-ulama besar di Indonesia.
KH Hamid Dimyathi, dalam perjalanan (kaki) ke Yogya bersama 14 santri, dicegat kader PKI, di Pracimantoro, Wonogiri. Disekap selama seminggu, dan disiksa di Baturetno. Lalu dipindahkan ke Tirtomoyo, sekaligus dieksekusi secara kejam. Saat ini di tempat jasadnya bersama 14 santri, desa Hargorejo, Tirtomoyo, dibangun Monumen 48. Menjadi ciri khas PKI mengubur banyak jasad setelah disiksa, dalam satu lubang. Setiap sumur terdapat 6 hingga lebih dari sepuluh jasad. Seperti terjadi di lubang buaya, Jakarta.
Peristiwa September 1948 (Pemberontakan PKI di Madiun), meng-geger-kan pulau Jawa. Sampai presiden Soekarno, menyatakan, “pilih saya atau Muso.” PKI gagal mendirikan Republik Soviet Indonesia. Tapi anehnya, PKI tidak dibubarkan. Bisa jadi karena presiden Soekarno, meng-anggap seluruh partai politik (parpol) sebagai anak kandung bangsa. PKI dianggap sebagai salahsatu anak, walau “sangat nakal.”
Maka mengenang Gestapu (Gerakan September 30) oleh PKI bukan sekadar ke-brutal-an politik. Melainkan juga ke-brutal-an sosial, dan kekejaman fisik. Serta yang paling menonjol, adalah “anti Tuhan.” Melalui Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dipentaskan seni tradisional. Lakon drama paling terkenal bertema “Matine Gusti Allah,” yang mengolok-olok agama Islam. Serta lakon “Pernikahan Paus,” yang menista ajaran Nasrani. Kedua lakon dipentaskan melalui seni kethoprak (di Yogya), serta ludruk di Jawa Timur.
Penistaan agama melalui pentas seni budaya oleh PKI, bukan isapan jempol. Melainkan diabadikan oleh pelaku sejarah “perang” budaya. Misalnya, Taufik Ismail, mengabadikannya dalam “Tirani dan Banteng: Dua Kumpulan Puisi” (yayasan Ananda, 1993). Puisinya yang berjudul “Catatan Tahun 1965,” menulis, “… genjer-genjer jadi nyanyian // … // Matine Gusti Allah dipentaskan ….”
Presiden ke-4 RI, Gus Dur, pernah mengusulkan rekonsiliasi nasional, setelah keputusan pengadilan, yang bisa diterima semua pihak. Visi-nya, jika “konglomerat hitam” (yang me-ngemplang uang negara) dapat diberi status Release and Discharge (bebas dari segala tuntutan). Maka pelaku makar, seperti PKI dan DI/TII, seharusnya bisa di-maaf-kan. Dengan rekonsiliasi, tidak perlu lagi upaya pemutarbalikan fakta. Semuanya bisa dimaafkan. Namun dengan tetap melarang PKI, dan ajaran komunisme.
——— 000 ———


