28 C
Sidoarjo
Thursday, January 16, 2025
spot_img

Taktik Pengalihan dalam Kasus Hasto Kristiyanto

Oleh
Frida Kusumastuti
Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Respon Hasto Kristiyanto, Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sejak dinyatakan sebagai tersangka kasus dugaan suap terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pergantian antarwaktu (PAW) yang menjerat eks caleg PDIP Harun Masiku, menurut penulis menjadi persoalan etis tersendiri.

Sembari memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hasto pun telah mengaku memiliki dokumen penting terkait video dugaan skandal yang melibatkan petinggi negara. Dokumen tersebut kini, katanya dititipkan kepada pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie yang berada di Rusia. Rahakundini juga membenarkan. Bahkan tidak hanya mereka berdua, Juru Bicara PDIP Guntur Romli ikut juga menegaskan klaim tersebut.

Fenomena inilah apa yang disebut dengan “whataboutism” yaitu strategi menanggapi tuduhan dengan tuduhan balik alih-alih pembelaan terhadap tuduhan asli atau disebut juga sebagai taktik pengalihan yang melemahkan akuntabilitas.

“Whataboutism” adalah kekeliruan logika yang mengalihkan persoalan bukan mengatasi persoalan utamanya. Seperti seseorang minta dimaafkan atas kesalahannya karena orang lain pun melakukan hal serupa. Dalam wacana politik, ketika seorang politisi dihadapkan pada tuduhan, maka dia mengalihkan perhatian publik dari kesalahan mereka sendiri dengan menyoroti kesalahan politisi lain. Sama halnya dengan Hasto Kristiyanto yang dituduh melakukan korupsi lantas mengklaim memiliki bukti yang melibatkan pejabat lain.

Runyamnya, di era digital ini “whataboutism” diamplifikasi oleh media sosial, media massa dan dalam percakapan sehari-hari.

Berita Terkait :  Patologi Korupsi dalam Dimensi Kesehatan

Mengalihkan fokus dari akuntabilitas ke relativisme
Alih-alih terlibat dengan kritik substantif, individu atau lembaga yang menggunakan taktik ini mencoba untuk menuntut tanggung jawab dengan melibatkan orang lain. Upaya ini awalnya membingungkan publik. Memunculkan pembicaraan pro dan kontra yang pada akhirnya akan terkait dengan pelemahan akuntabilitas.

Dalam kasus Hasto, “whataboutism” dapat mendistorsi pencarian keadilan. Tanggapan Hasto dan pernyataan Juru Bicara PDIP tidak terkait dengan memberikan bukti bahwa mereka tidak bersalah atau menyangkal tuduhan kepadanya, tetapi malah menegaskan bahwa korupsi seolah sudah merajalela dan sistemik di dunia politik (pemerintah) Indonesia atau bahkan dia ingin mengatakan bahwa “semua orang (pejabat) telah melakukan (korupsi).” Tentu saja hal ini menimbulkan masalah etika yang serius.

Pertama, klaim semacam itu mengurangi akuntabilitas individu secara langsung. Dengan memberi pembelaan diri bahwa “orang lain pun melakukan korupsi” akan berpotensi meniadakan tanggung jawab pribadi.

Kedua, mengaburkan persepsi publik tentang korupsi itu sendiri. Klaim yang menggambarkan korupsi sebagai sesuatu yang ada di mana-mana, maka “whataboutism” menjadi menormalkan korupsi. Ketika orang mulai percaya bahwa “semua politisi korup,” maka warga negara akan apatis dan tuntutan transparansi berkurang.

Dilema Etis Tuduhan Bersama
Perspektif etika melihat “whataboutism” bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dua prinsip etika yang penting bagi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang menjadi semangat reformasi. Pejabat publik dituntut menegakkan integritas jabatan, namun ketika mereka terlibat dalam pengalihan kasus maka berarti mereka mengkhianati kepercayaan publik dan bahkan menjadi penghalang terhadap tegaknya keadilan.

Berita Terkait :  Makan Bergizi Anak

Upaya KPK menetapkan Hasto sebagai tersangka dan “whataboutism” yang dilakukan oleh kubu Hasto dan PDIP bukan mencerminkan sikap yang memiliki prinsip keadilan, melainkan justeru sebagai sikap oportunis yang ditunjukkan oleh seseorang. “Whataboutism” menunjukkan motivasi mempertahankan diri daripada komitmen terhadap kepentingan publik.

Peran KPK, Media Massa dan Netizen
“Whataboutism” adalah pengabaian moral oleh tersangka. Upaya yang dilakukan merusak kepercayaan publik pada demokrasi. Setiap orang harus bertanggung jawab atas keputusan tindakannya – terlepas dari kesalahan orang lain.

Penulis berharap Lembaga anti korupsi dan penegak hukum tidak terpengaruh dengan “whataboutism.” KPK dan Lembaga anti korupsi perlu keteguhan dalam penyelidikan dan memastikan penanganan dilakukan dengan imparsialitas dan ketelitian. Klaim tersangka tidak boleh menggagalkan penyelidikan. Lembaga anti korupsi bertarung dengan kepercayaan publik yang semakin berkurang.

Media juga memainkan peran penting dalam hal ini. Jurnalis yang melakukan liputan, sebaiknya fokus pada bukti dan fakta yang kuat. Media massa dapat membantu menghentikan perdebatan publik tentang sesuatu yang hanya berupa klaim. Menunda berita berdasarkan klaim semata, akan menaikkan kepercayaan publik pada media massa.

Sementara netizen sebagai warga negara digital perlu mengasah pemikiran kritis dan menahan godaan berdebat dengan argumen relativistik.

———– *** ————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img