Oleh :
Oman Sukmana
Guru Besar FISIP dan Ketua Program Doktor Sosiologi, Universitas Muhammadiyah Malang
Suatu saat, Sukarno bertemu dan mengobrol bercakap-cakap dengan seorang petani miskin di daerah Bandung Selatan, namanya Marhaen. Kondisi kehidupan petani Marhaen yang miskin ini sangat menyentuh rasa kemanusiaan Sukarno. Lantas, kehidupan petani Marhaen yang miskin ini memberikan inspirasi dan spirit kepada Sukarno muda, yang kemudian menjelma menjadi ideologi perjuangan bernama Marhaenisme. Melalui ideologi Marhaenisme, Soekarno membangun solidaritas rakyat Indonesia untuk melawan kolonialisme.
Menyaksikan dan mendengar curhatan seorang petani miskin, Bung Karno tidak menjadikannya sebagai bahan olok-olokan, hinaan, cemoohon, atau tertawaan. Jutsru sebaliknya, Bagi Bung Karno kemiskinan dan penderitaan hidup yang dialami Marhaen, menjadi bahan renungan yang memunculkan rasa empati dan simpati. Kemudian empati dan simpati ini menjadi sebuah ideologi yang mendorong sebuah gerakan, yakni gerakan melawan penindasan dan ketidakadilan. Lalu Marhaen menjadi spirit dan inspirasi bagi Bung Karno untuk memobilisasi gerakan melawan kolonialisme, sebab kemiskinan dan hidup serba kekurangan yang dialami petani Marhaen disebabkan oleh penjajahan yang mengusung sifar haus kapitalisme.
Marhaen adalah sosok yang menjadi simbol gerakan rakyat kecil, menjadi ideologi Marhaenisme. Dalam pandangan Bung Karno, Marhaen mewakili petani dan buruh yang sering kali terpinggirkan dan dieksploitasi oleh kekuatan kolonial dan kapitalis. Sosok ini mencerminkan aspirasi rakyat untuk mendapatkan keadilan, kesejahteraan, dan pengakuan atas hak-hak mereka. Dengan menjadikan Marhaen sebagai simbol, Bung Karno ingin menegaskan pentingnya memperjuangkan nasib rakyat kecil dan membangun kesadaran kolektif di antara mereka untuk berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa.
Bung Karno merumuskan Marhaenisme sebagai respons terhadap kebutuhan akan sebuah gerakan yang memberdayakan kelas bawah dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Ideologi ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih egaliter dan berkeadilan sosial, sekaligus menekankan pentingnya identitas nasional dan persatuan dalam menghadapi ancaman kolonial. Marhaenisme menjadi landasan bagi gerakan nasionalis Indonesia dalam mencapai kemerdekaan dan membangun negara yang merdeka, adil, dan makmur.
Jika di era perjuangan kemerdekaan Indonesia ditemukan sosok Marhaen, maka di era Indonesia merdeka dewasa ini kita menemukan sosok yang mirip dengan Marhaen, yakni Sunhaji. Sosok Sunhaji seorang bapak yang hidup sederhana, yang berasal dari Dusun Gesari, Desa Banyusari, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. Pekerjaan sehari-hari Sunhaji untuk menafkahi istri dan kedua anaknya, adalah penjual es teh. Sebelum bekerja sebagai penjual es teh, Sunhaji bekerja sebagai tukang potong kayu. Namun karena mengalami musibah kecelakaan yang menyebabkan cidera patah tulang, maka Sunhaji tidak mampu lagi untuk melakukan pekerjaan berat sehingga kemudian memilih menjadi penjual es teh.
Sunhaji tidak memiliki jaminan penghasilan yang tetap, hanya mendapatkan penghasilan harian. Penghasilan sehari-hari Sunhaji dari menjual es teh tidak menentu, kadang mendapat penghasilan Rp 35 Ribu bahkan hanya Rp 10 Ribu. Jika Sunhaji suatu hari tidak berjualan es teh, maka pada hari itu tentu dia tidak akan mendapatkan penghasilan. Sebagai kepala keluarga yang harus menghidupi seorang istri dan dua anaknya yang masih duduk di bangku SD dan SMP memang kehidupan Sunhaji sangat berat. Kehidupan ekonomi keluarga Sunhaji sangat kekurangan, hingga saat ini masih belum pemiliki rumah sehingga masih menumpang di rumah mertuanya.
Kondisi kehidupan keluarga Sunhaji pada awalnya luput dari perhatian masyarakat, karena apa yang dialami keluarga Sunhaji adalah hal lumrah untuk masyarakat Indonesia. Hidup serba kekurangan, miskin dan kesengsaraan bukan hanya dialami oleh Sunhaji dan keluarganya saja, akan tetapi juga ada sekitar 27 juta orang Indonesia yang mengalami hal serupa. Namun nama Sunhaji kemudian menjadi perhatian masyarakat setelah video yang melecehkan, menghina dan merendahkan harkat martabatnya sebagai manusia viral.
Sebagai seorang penjual es teh tentu Sunhaji tentu sangat bersuka cita ketika dia mendengar akan adanya acara pengajian akbar. Bagi Sunhaji acara pengajian ini adalah merupakan peluang emas untuk dijadikan pangsa pasar jualan es teh. Sebuah acara pengajian yang diselenggarakan oleh tokoh pimpinan pesantren, menghadirkan ustadz penceramah yang sudah sangat terkenal sekaligus sebagai pejabat Negara, tentu saja akan dihadiri oleh ribuan jamaah. Maka Sunhaji berhitung bahwa dia akan mendapat penghasilan yang lebih besar dari hari-hari biasanya, bahkan Sunhaji mungkin sudah mengucap syukur kepada Alloh SWT., Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah membukakan pintu rejekinya melalui acara pengajian ini.
Namun, ternyata jualan es teh Sunhaji di acara pengajian tersebut mengalami cobaan, karena tidak banyak jamaah yang menbeli es teh Sunhaji. Lalu dengan penuh harap mendapat barokah, Sunhaji memberanikan diri melakukan percakapan dengan sang Ustadz penceramah agar dapat menolongnya untuk bisa membeli dan memborong es teh nya. Namun apa yang terjadi, alih-alih sang Ustadz tersebut mau membeli dan memborong es teh yang dijual Sunhaji justru malah sebaliknya Sunhaji mendapat hinaan, menjadi bahan olokan dan tertawaan. Sunhaji dipermalukan dan dihina di depan umum.
Tragedi Sunhaji ini kemudian ternyata mendapat empati dan simpati masyarakat luas yang melahirkan gerakan filantropi sosial. Sunhaji mendapatkan rejeki yang berlimpah, berbagai bantuan dan sumbangan dari dermawan dan masyarakat datang mengalir. Salah satunya sebagaimana dilansir dari sumber berita Kompas.com (edisi, 5 Desember 2024), Sunhaji menerima uang Rp 100 juta dari kreator konten Willie Salim. Uang tersebut diberikan sebagai bantuan untuk membuka usaha warung dan membiayai pendidikan dua anaknya.
Jika kesengaraan dan kemiskinan seorang petani Marhaen telah menyentuh rasa empati dan simpati Bung Karno sehingga melahirkan ideologi Marhaenisme sebagai spirit gerakan sosial perjuangan melawan penjajahan, maka kesengsaraan dan penghinaan yang dihadapi oleh Sunhaji telah menyentuh rasa empati dan simpati masyarakat yang mendorong memperkuat ideologi dan gerakan filantropi sosial. Namun demikian, mengingat masih banyaknya fenomena Sunhaji yang lainnya, maka upaya untuk upaya untuk mengatasi problem kesengsraan dan kemiskinan tentu saja tidak cukup hanya mengandalkan filantropi sosial msayarakt saja, akan tetapi harus dilakukan melalui kebijakan pemerintah yang komprehensif…(*)
———– *** ————-