25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Sound Horeg dan Implikasi Kesehatan Kekinian

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Fenomena Sound Horeg akhir-akhir ini menjadi atensi dan isu di kalangan masyarakat yang berujung pro dan kontra. Sebagai sebuah fenomena sosial yang menjadi berbincangan dan perlu dikulik lebih dalam makna dan dampak yang terkandung didalamnya. Sebenarnya sound horeg merujuk pada fenomena penggunaan sistem audio berukuran besar yang menghasilkan suara sangat keras dan menggetarkan, seringkali melebihi batas kenyamanan. Istilah “horeg” sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti bergerak atau bergetar. Jadi, sound horeg secara harfiah dapat diartikan sebagai “suara yang membuat bergetar”. Penggunaan sound system bersuara keras, seperti pada konser musik, acara perayaan, atau tren “sound horeg” di pinggir jalan yang pada akhirnya berkembang semakin populer di tengah masyarakat. Suara yang menggelegar di satu sisi memang mampu menciptakan suasana meriah dan menghibur banyak orang, sehingga tak heran jika tren ini terus berkembang di berbagai kalangan. Namun, di balik nuansa hiburan tersebut, terdapat hal-hal yang berpotensi menimbulkan dampak negatif jika dilakukan secara berlebihan dan melebihi ambang batas kepantasan seperti kebisingan yang mengganggu dan masalah kesehatan terkait pendengaran, serta berpotensi merusak fasilitas umum.

Secara tidak sadar juga berresiko timbulnya ancaman serius terhadap kesehatan pendengaran dan kondisi tubuh secara keseluruhan. Berada terlalu dekat dengan speaker dengan volume tinggi bisa menyebabkan kerusakan permanen pada telinga, gangguan pendengaran jangka panjang, serta menimbulkan dampak negatif lain seperti sakit kepala, stres, dan gangguan tidur. Memang pada awalnya, sound horeg digunakan dalam berbagai acara seperti karnaval, konser, dan perayaan lainnya untuk menciptakan suasana meriah. Selain itu sepanjang penggunaan sound horeg dengan intensitas suara secara wajar untuk berbagai kegiatan positif, seperti resepsi pernikahan, pengajian, shalawatan dan lain-lain tidak diharamkan atau setidaknya hukumnya boleh (mubah). Seiring perjalanan waktu dan kondisi yang berkembang sound horeg juga sering digunakan dalam “adu sound” atau kompetisi suara antar sistem audio yang menimbulkan kebisingan, mengganggu masyarakat termasuk potensi gangguan kesehatan sehingga dalam konteks inilah terjadi bergeseran fungsi sehingga berdampak negatif, dari titik inilah MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram untuk sound horeg karena juga mengandung aktivitas dalam pertunjukan sound horeg yang melanggar syariat Islam, seperti memutar musik diiringi joget pria wanita dengan membuka aurat baik dilokalisir pada tempat tertentu maupun dibawa berkeliling pemukiman warga, berjoget tak senonoh, hingga berpotensi terjadi pergaulan bebas, hingga konsumsi minuman keras.

Berita Terkait :  Warga Keluhkan BPHTB Mahal, FRMJ Bawa Aduan ke BPN Jombang

Diatas Batas Aman
Yang pasti potensi gangguan kesehatan yang berdampak nyata adalah aspek pendengaran. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), batas aman intensitas suara yang dapat diterima tanpa merusak pendengaran adalah 70 desibel (dB). Paparan suara di atas 85 dB dalam intesitas lama bisa menyebabkan gangguan pendengaran permanen. Bahkan, suara 120 dB atau lebih yang umum di dekat speaker besar dapat langsung merusak struktur halus telinga dan menyebabkan acoustic trauma. Tercatat acara sound horeg di ruang terbuka mencatat intensitas suara hingga 130-135 dB, jauh melampaui batas aman. Kondisi ini tidak hanya membahayakan pendengaran, tetapi juga meningkatkan risiko gangguan pada jantung, otak, dan kesehatan mental. Secara fisiologis-anatomi tubuh bahwa paparan suara keras dapat merusak sel-sel rambut halus di dalam koklea (rumah siput) telinga bagian dalam. Sel-sel ini bertugas menerjemahkan getaran suara menjadi sinyal listrik yang dikirim ke otak. Bila sel-sel tersebut rusak, tubuh tidak bisa memperbaikinya secara alami, dan gangguan pendengaran pun menjadi permanen atau yang disebut Noise-Induced Hearing Loss (NIHL).

Gejalanya antara lain adalah telinga berdenging (tinnitus), sulit mendengar suara bernada tinggi, serta kesulitan memahami percakapan terutama di tempat ramai. Dalam kasus berat, NIHL menyebabkan ketulian total pada satu atau kedua telinga. Dampak lain bukan hanya aspek pendengaran namun juga memberikan dampak sistemik terhadap tubuh. Suara keras yang terus-menerus dapat memicu stres, gangguan tidur, kecemasan, hingga peningkatan tekanan darah. Paparan suara bising kronis memicu pelepasan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin yang menyebabkan peradangan pembuluh darah dan meningkatkan risiko penyakit jantung. Namun yang paling mendapat perhatian dan atensi Adalah kelompok berrsiko tinggi yakni balita dan anak-anak.

Berita Terkait :  Koramil 0823/09 Jangkar Situbondo Kawal Penyerapan Gabah di Mangaran

Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap dampak suara keras. Paparan suara dengan volume tinggi dapat mengganggu perkembangan otak, khususnya pada area yang berperan dalam kemampuan bahasa dan kognitif. Beberapa studi menunjukkan bahwa anak-anak yang sering terpapar kebisingan mengalami keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi, hingga kesulitan dalam belajar sehingga berpengaruh langsung pada prestasi dan masa depannya. Selain itu, anak-anak belum sepenuhnya memahami pentingnya menjaga jarak dari speaker atau menggunakan pelindung telinga. Akibatnya, mereka lebih sering terpapar langsung tanpa perlindungan, yang semakin meningkatkan risiko kerusakan pendengaran dan dampak negatif lainnya terhadap tumbuh kembang mereka. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah atas fenomena sosial diatas.

————– *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru