Kadindik Surabaya: Kami Sedang Menganalisis Kebutuhan Biayanya
Sidoarjo, Bhirawa
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kewajiban negara dalam menjamin kesetaraan akses pendidikan dasar bagi seluruh warga negara, baik di sekolah negeri maupun swasta, mendapat sambutan positif dari kalangan akademisi. Namun, sejumlah tantangan juga dinilai perlu segera diantisipasi, terutama bagi sekolah swasta dengan keterbatasan sumber daya.
Menurut Pengamat Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Dr. Nurdyansyah, keputusan tersebut memiliki keuntungan bagi pendidikan di Indonesia, salah satunya dalam memberikan kesetaraan dalam akses pendidikan.
“Ini berarti semua anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang sama, tanpa membedakan mereka bersekolah di negeri atau swasta,” ungkap Nurdyansyah dihubungi Bhirawa, Selasa (3/6).
Selain itu, ia menyebut, putusan MK ini berpotensi meningkatkan kualitas pendidikan secara merata. Lebih detail, ia menilai bahwa tidak ada lagi dikotomi antara sekolah negeri dan swasta. Pemerintah, katanya, bisa lebih leluasa mengawasi dan mendorong sekolah swasta agar memenuhi standar pendidikan nasional.
Namun di sisi lain, Dosen pendidikan Umsida ini mengingatkan adanya potensi beban berat bagi sekolah swasta, terutama yang berada di wilayah terpencil atau memiliki sumber daya manusia dan fasilitas yang terbatas. “Kalau sekolah swasta besar, tidak ada masalah. Tapi bagi sekolah kecil, putusan ini bisa menimbulkan tantangan serius,” tegasnya.
Menurut data yang dia kutip, jumlah murid sekolah negeri di tingkat SD mencapai 970 ribu, sementara swasta hanya sekitar 173 ribu. Di tingkat SMP, murid negeri sekitar 245 ribu dan swasta 104 ribu. Perbedaan ini menunjukkan potensi ketimpangan yang harus dimitigasi dengan kebijakan yang tepat.
Untuk itu, ia merekomendasikan agar pemerintah tidak hanya membuat kebijakan, tetapi juga memberikan dukungan finansial dan teknis bagi sekolah swasta. “Kemitraan antara pemerintah dan masyarakat sangat penting. Organisasi kemasyarakatan dan sektor swasta bisa dilibatkan lewat program CSR di bidang pendidikan,” ujarnya.
Efisiensi anggaran dan sistem pengawasan yang kuat juga menjadi perhatian. Nurdyansyah menjelaskan bahwa perlu ada evaluasi berkala dan kontrol yang efektif agar kualitas pendidikan dasar benar-benar merata. “Kalau ini dijalankan dengan baik, kita akan lebih dekat pada cita-cita UUD 1945,” tandasnya.
Putusan MK tersebut merupakan bagian dari hasil uji materi Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau UU Sisdiknas. Putusan MK itu tertuang dalam nomor 3/PUU-XXII/2024 yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Sementara itu, menanggapi hasil putusan MK ini, Kepala Didik Kota Surabaya, Yusuf Masruh mengatakan pemerintah kota masih mengkaji potensi pembiayaan jika kebijakan itu diterapkan di seluruh satuan pendidikan swasta.
“Kami sedang menganalisis kebutuhan biayanya. Karena setiap sekolah swasta punya karakteristik dan kegiatan pembelajaran yang berbeda-beda,” ujar Yusuf.
Ia menambahkan, terdapat dua jenis pembiayaan yang mungkin dapat ditopang pemerintah, yakni biaya personal siswa serta biaya operasional sekolah. Namun, menurutnya, tidak semua pembiayaan bisa digratiskan begitu saja mengingat kompleksitas program masing-masing sekolah.
Selama ini, Pemkot Surabaya telah memiliki program bantuan pendidikan untuk siswa dari keluarga miskin (gamis) dan pra-miskin (pragamis), baik di sekolah negeri maupun swasta. Bantuan mencakup perlengkapan sekolah, seragam, hingga pembiayaan operasional.
“Untuk siswa gamis dan pragamis, pemerintah kota sudah membantu. Termasuk di sekolah swasta, kami tanggung biaya tertentu sesuai kemampuan daerah,” kata Yusuf.
Berdasarkan data Dispendik, total penerima bantuan pendidikan gamis/pragamis di Surabaya mencapai sekitar 54 ribu siswa, tersebar di berbagai jenjang dan jenis sekolah. Di antaranya, sekitar 30 ribu siswa SD negeri, 10 ribu siswa SMP negeri, 4.400 siswa SD swasta, dan sekitar 5.400 siswa SMP swasta.
Selain bantuan biaya pendidikan, Dispendik juga rutin melakukan pengecekan dan pemantauan terhadap kebijakan biaya yang diterapkan sekolah. “Kami sering mendapat laporan atau keluhan dari wali murid. Itu kami tindak lanjuti, bahkan mengingatkan sekolah agar tidak memberatkan orang tua,” jelasnya.
Untuk mendukung berbagai program pendidikan, Pemerintah Kota Surabaya mengalokasikan belanja fungsi pendidikan sebesar Rp2,588 triliun atau sekitar 20,96 persen dari total APBD 2025 yang mencapai Rp12,3 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp2,335 triliun disalurkan melalui Dinas Pendidikan.
Anggaran tersebut mencakup pembiayaan untuk 445.557 murid dan 33.934 guru dari total 3.991 lembaga pendidikan, mulai dari PAUD, SD, SMP, hingga lembaga kursus dan pelatihan (LKP). “Kami berkomitmen agar semua anak Surabaya bisa mengenyam pendidikan, baik di negeri maupun swasta. Tapi tentu implementasi kebijakan ini butuh waktu dan perhitungan yang matang,” pungkas Yusuf. [ina.wwn]


