Surabaya, Bhirawa
Telkom University Surabaya kembangkan Smart Urban Farming. Kali ini, fokus pengembangan untuk perikanan. Salah satunya inovasi Smart Crabs House. Yakni budidaya kepiting dengan monitoring berbasis Internet Of Things (IoT).
Direktur Telkom University Surabaya, Prof Tri Arief Sardjono mengatakan pihaknya saat ini fokus dalam mengembangkan lahan rooftop kampus untuk bisnis jalan melalui Smart Urban Farming. Dalam pertanian modern ini, Prof Tri mengembangkan perkebunan buah modern, ikan nila dan kepiting smart house.
Pengembangan Smart Urban Farming ini, kata Prof Tri dilakukan oleh tim Center of Excellent (COE) yang terdiri dari dosen dan mahasiswa untuk pengembangan penelitian. “Harapannya melalui COE hasil penelitian bisa jadi prototipe dan hilirisasi. Ada research dan kelompok keahlian yang diminati masing-masing dosen dan mahasiswa,” jelasnya, Kamis (20/3) sore.
Salah satu tim peneliti interest COE Muhammad Dwi Haryanto, mengatakan dalam pengembangan Smart Urban Farming, pihaknya fokus dalam mengembangkan berat dan ukuran kepiting (Smart Crabs House) dengan memanfaatkan monitoring air berbasis IoT.
Assisten Dosen Teknik Elektro menceritakan penelitian Smart Crabs House didasarkan karena budidaya kepiting yang menghadapi tantangan besar, utamanya dalam pemantauan kualitas air yang masih dilakukan manual.
Menurut Dwi, keterlambatan mendeteksi perubahan lingkungan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup kepiting, meningkatkan resiko kematian dan menghambat produktivitas. “Selain menggunakan IoT pada aquarium, kita juga lengkapi dengan sensor oksigen terlarut, dan TDS meter untuk mengukur kualitas air untuk menjaga kesehatan kepiting” jelasnya.
Penggunaan TDS meter, imbuh dia, akan memberikan informasi kadar garam kepiting. Sebab, kepiting hanya membutuhkan kadar garam 15-20 ppm. Jika lebih dari itu kepiting tidak bisa tumbuh hingga berakibat mati. Terkait budidaya kepiting ini, Dwi menjelaskan butuh waktu selama 1,5-2 bulan untuk meningkatkan berat kepiting hingga 3x lipat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan. Di mana timnya membeli kepiting diusia 3 minggu. Kemudian diternak untuk dikembangkan beratnya hingga ganti kulit. “Waktu itu kita beli kiloan. 1kg isi 3 kepiting. Dalam waktu 1,5-2 bulan kepiting bisa tumbuh hingga 3x lipat atau satu ekor bisa sampai 500 gram beratnya,” sebutnya.
Untuk ternak kepiting ini, selain suhu dan kadar garam, pemberian makan juga harus rutin. Dalam sehari, kepiting ternak yang dikembangkan Dwi dan tim berasal dari usus ayam yang dicacah dan diberikan sehari dua kali. “Dalam budidaya kepiting ini, kita harus memperhatikan pakan rutin, dan oksigen terlarut karena kepiting butuh udara yang tembus. Kadar garam juga berpengaruh besar untuk perkembangan dan tumbuh kepiting,” jabarnya.
Selain itu, kepiting hasil budidaya juga sensitif terhadap suhu dan udara. Dalam Smart Crabs House ini, Dwi mengatakan jika penelitiannya ini untuk memperpanjang masa hidup kepiting. Jika biasanya hanya mampu bertahan hidup dalam kondisi segar hanya seminggu di restoran. Tapi hasil Smart Crabs House justru bisa bertahan hingga 3 bulan dalam kondisi segar. “Hasil budidaya kepiting kita bertahan hingga sampai bulanan. Kalau di restoran biasa hanya satu mingguan karena monitoring belum optimal,” sebutnya.
Meski sukses dalam mengembangkan budidaya kepiting, Dwi mengaku pihaknya menghadapi berbagai kendala. Seperti tempat budidaya yang sempit. Selain itu, penutup air filter aquarium yang masih menjadi kendala. Sebab, jika filter tercampur dengan air hujan akan mempengaruhi salinitas air. Sedangkan jika tidak memiliki penutup, aman banyak hewan yang memburu kepiting.
Dwi juga melanjutkan, pengembangan dan budidaya Smart Crabs House ini berawal dari dana hibah katalis (kolaborasi penelitian strategis) dari Kemendikti Ristek yang berkolaborasi dengan IT Telkom University Bandung. Program ini merupakan percepatan nilai komersialisasi yang penelitiannya sudah dilakukan sejak tahun 2024 lalu. Dengan modal 10 juta Dwi dan 10 tim mahasiswa mengembangkan budidaya kepiting. [ina]