Oleh :
Erwin Prastyo
Guru SD N 1 Curugsewu Kab. Kendal Jawa Tengah dan Fasilitator Program Numerasi Tanoto Foundation Regional Jawa
Pemerintah melalui Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah baru saja meluncurkan Program Digitalisasi Pembelajaran untuk Indonesia Cerdas. Langkah ini dibarengi dengan dorongan kuat dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terkait pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial (KKA). Pemerintah tampak ingin mempercepat transformasi digital sekolah-sekolah di tanah air.
Di banyak tempat, smart TV atau Interactive Flat Panel (IFP) mulai dipasang, aplikasi pembelajaran diperkenalkan, dan istilah ‘kelas digital’ kian mudah kita dengar.
Jika dilihat dari semangatnya, program ini memiliki banyak harapan positif. Pembelajaran berbasis digital membuka ruang baru bagi guru dan murid: gambar bergerak, simulasi, dan visualisasi yang menarik tentu membuat ruang kelas lebih hidup. Murid-murid bisa belajar konsep abstrak dengan cara yang lebih dekat dan mudah dipahami. KKA juga memberi bekal masa depan dengan melatih logika, ketekunan, dan kemampuan memecahkan masalah. Dunia memang berubah, dan sekolah memang perlu menyesuaikan diri.
Namun realitas di lapangan tidak sesederhana itu. Banyak sekolah mendapatkan perangkat canggih, tetapi tidak semua guru siap menggunakannya. Smart TV bisa berubah menjadi layar mati tanpa ruh bila tidak ada kompetensi guru untuk merancang materi yang bermakna. Perangkat modern memang smart, tetapi tanpa guru yang smart dan cakap, teknologi hanya menjadi pajangan. Dalam istilah Jawa, gawe gedhe tanpa nyawa atau besar bentuknya, tetapi kosong isinya.
Pertanyaan lain perlu kita ajukan: apakah pembelajaran digital otomatis menciptakan pemahaman yang mendalam? Kelas yang menyenangkan belum tentu membuat murid benar-benar menguasai konsep. Kecenderungan belajar instan, sekadar menonton penjelasan atau menekan tombol jawaban, dapat membuat kemampuan berpikir kritis justru menjadi tumpul. Di beberapa sekolah, AI digunakan untuk menyelesaikan tugas, bukan sebagai alat berpikir. Jika hal ini dibiarkan, murid hanya akan menjadi penonton dalam perkembangan teknologi, bukan pelakunya.
Oleh karena itu, transformasi digital perlu dibarengi dengan strategi yang lebih manusiawi. Pendidikan bukan hanya soal menguasai alat, tetapi juga menjaga moral, karakter, dan adat ketimuran. Murid-murid harus tetap belajar hormat, tepa selira, dan memahami makna hidup bersama. Mereka perlu diajak memecahkan masalah di rumah dan lingkungan, bukan hanya memecahkan soal di layar. Smart technology harus berjalan seiring dengan smart people-guru yang telaten, keluarga yang mendampingi, dan masyarakat yang memberi teladan.
Kualitas pembelajaran sejatinya tidak bergantung pada jumlah teknologi yang masuk ke sekolah. Banyak ruang kelas di desa yang hanya memiliki papan tulis dan kapur tulis, tetapi percakapan di dalamnya hidup, muridnya antusias, gurunya tekun membimbing. Pembelajaran mendalam bisa tumbuh dari perjumpaan yang hangat antara guru dan murid, bukan dari kecanggihan gawai. Percuma perangkat mahal bila tidak dibarengi peningkatan kompetensi gurunya. Pepatah Jawa mengingatkan kita: sarana iku mung piranti, dudu sing utama-alat hanyalah alat, bukan penentu utama.
Maka yang paling mendesak hari ini bukan hanya pengadaan perangkat digital, tetapi membangun budaya belajar yang sungguh-sungguh: guru yang mau dan terus membaca, murid yang aktif diajak bertanya, sekolah yang menghidupkan nalar dan budi pekerti. Teknologi boleh hadir sebagai sayap, tetapi hati dan akal manusialah yang menjadi arah. Tanpa itu, digitalisasi hanya menjadi projek besar yang kehilangan makna.
Pada akhirnya, sekolah kita tidak hanya harus melahirkan anak-anak yang pintar mengoperasikan teknologi, tetapi juga anak-anak yang memiliki kejernihan budi, kepekaan sosial, dan keteguhan karakter. Di tengah derasnya perubahan zaman, kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah pendidikan kita sedang membentuk manusia yang lebih cerdas, atau sekadar pengguna teknologi yang terbiasa menekan tombol? Pertanyaan sederhana, tetapi justru di sanalah masa depan pendidikan kita dipertaruhkan.
————— *** ——————


