Surabaya, Bhirawa
Dosen Fakultas Teknobiologi Universitas Surabaya (Ubaya) menaggapi fenomenal Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terhadap kualitas olahan sajian makanan, komposisi gizi, hingga distribusi ke setiap siswa di sekolah.
Beberapa hari yang lalu sempat terdapat suatu usulan dari Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) mengungkapkan bahwa serangga bisa menjadi alternatif sumber protein dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dosen Fakultas Teknobiologi Universitas Surabaya (Ubaya), Ruth Chrisnasari, S.TP., M.P., mengatakan keberlanjutan sumber protein sangat penting dalam mendukung program MBG, sumber protein yang ideal adalah yang dapat dibudidayakan dalam waktu singkat dan tidak memerlukan lahan luas seperti serangga.
“Serangga punya kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan daging ayam, sapi dan babi. Daging konvensional mengandung kisaran 20 persen, sementara serangga seperti belalang dan ulat sagu memiliki kadar protein antara 28 hingga 44 persen,” jelas Ruth, Rabu (5/2).
Lanjut Ruth menjelaskan, belalang juga mengandung lemak total sekitar 42 hingga 55 persen, kandungan asam lemak tak jenuh yang cukup tinggi juga kaya akan mineral seperti zat besi, bisa berpotensi membantu mengatasi defisiensi zat besi pada anak-anak.
“Kandungan lemak yang tinggi pada serangga dapat menambahkan rasa gurih alami saat diolah dengan benar, seperti ulat sutra, diolah dengan cara dicuci terlebih dahulu atau direbus dengan garam untuk menghilangkan potensi bahaya kuman dan juga ditumis bersama sayur, dipanggang, atau digoreng sehingga bentuknya lebih menarik ketimbang sebelum diolah” pungkasnya.
Ruth menambahkan spesies belalang dan ulat sagu sudah dikonsumsi secara luas, sebagian besar negara di Afrika, dan Amerika Latin seperti Meksiko. Alternatif lain sember protein seperti jamur tiram, jamur kuping, dan jamur kancing, karena kandungan protein dalam jamur relatif setara dengan protein hewani, tetapi lebih mudah diterima oleh masyarakat melalui proses pengolahan yang sederhana.
“Jamur bisa dibudidayakan dengan mudah, seperti pernah dilakukan oleh Fakultas Teknobiologi Ubaya bersama kelompok masyarakat di Trawas, Jawa Timur. Olahannya juga mulai disukai berbagai kalangan usia, seperti digoreng, ditumis atau direbus dalam sup, lebih menyehatkan,” imbuhnya.
Dosen sekaligus kandidat PhD dari Laboratory of Food Chemistry, Wageningen University and Research, Belanda mengigatkan penggunaan minyak saat mengolah jamur harus diperhatikan, terutama pada menggorengan karena jamur cenderung menyerap lebih banyak minyak dari pada serengga, dengan beberapa keunggulan tersebut jamur berpotensi menjadi solusi alternatif dalam meningkatkan gizi anak-anak dalam program MBG, sekaligus mendukung ketahanan pangan yang lebih berkelanjutan. [ren.wwn]