Bojonegoro,Bhirawa.
Pengamat hukum dari Universitas Bojonegoro (Unigoro) menilai tak akan ada sengketa Pilkada di Kota Ledre nantinya. Sebab, jika rentang perolehan suara terbilang jauh antara kedua paslon Cabup dan Cawabup Nomor utut 1, Teguh Haryono dan Farida Hidayati dengan Cabup dan Cawabup Nomor Urut 2, Setyo Wahono dan Nurul Azizah.
Hal itu dilihat dari hasil quick count Pilkada Bojonegoro 2024 versi lembaga penelitian Populi Center per pukul 18.40, Rabu (27/11) menunjukkan paslon 02 Setyo Wahono-Nurul Azizah meraup suara sebanyak 89,15 persen. Sedangkan paslon 01 Teguh Haryono-Farida Hidayati hanya mendulang suara sebanyak 10,85 persen.
Kaprodi Hukum Unigoro, Gunawan Hadi Purwanto mengatakan, jika rentang perolehan suara terbilang jauh antara kedua paslon, kemungkinan untuk disengketakan di Mahkamah Konstitusi (MK) sangat kecil.
” Kita kembalikan lagi ke masing-masing paslon dan tim pemenangan. Apakah dalam pelaksanaan Pilkada di lapangan menemukan dugaan atau potensi kecurangan yang bisa diajukan sengketa di MK?. Jika selisih peroleh suara antar paslon hanya tiga atau empat persen itu masih relevan disengketakan. Karena ada dasar yang kuat untuk membalikkan suatu kondisi,” terangnya, Kamis (28/11).
Hingga saat ini, sengketa Pemilu masih ditangani oleh MK. Sejak 2017, 58 persen perkara yang diregistrasi di MK berkaitan dengan sengketa pemilihan.
Gunawan mengatakan, persoalan yang disengketakan di lembaga tersebut umumnya tentang manipulasi suara, pengkondisian tertentu, ketidaknetralitasan aparat, dan sebagainya. Hukum acara yang diterapkan MK untuk mengadili sengketa Pilkada berbeda dengan perkara lainnya.
“Pembuktiannya berbeda dengan perkara perdata maupun pidana di bawah MA (Mahkamah Agung). Di MK secara teknis pihak yang mengajukan suatu gugatan harus membuktikan dalil-dalil yang diajukan. Nanti tergugat juga akan pembuktian. Majelis hakim MK akan mengadili dan mempertimbangkan fakta masing-masing pihak yang menjadi dugaan kuat kecurangan Pilkada,” terangnya.
Sementara itu, jika ada dugaan pelanggaran administratif dapat diselesaikan di Bawaslu dan pengadilan tata usaha negara (PTUN). Karena proses sengketa Pemilu berdasarkan masing-masing sub persoalan.
Dekan Fakultas Hukum Unigoro, H. Didik Wahyu Indarta menambahkan, tindakan manipulasi suara dalam Pemilu termasuk tindak pidana yang dapat diproses secara hukum. Sebagaimana ketentuan Pasal 2 huruf B Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2018, mengatur bahwa PN dan PT berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana pemilu yang timbul karena laporan dugaan tindak pidana pemilu yang diteruskan oleh Bawaslu pusat, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota, serta panwascam.
“Tindakan manipulasi suara termasuk kejahatan Pemilu. Namun penyelesaian kasus ini berbeda dengan sengketa Pilkada secara perdata,” imbuhnya. [bas.wwn]