Menunggu Tuah Sakti Terbitnya PP TUNAS
Di era digital saat ini, telepon genggam (gadget) seolah telah merenggut anak-anak dari keluarga dan dunianya. Anak terhipnotis oleh gadget sehingga melupakan interaksi dengan lingkungan sosialnya. Bahkan melalui gadget digenggamannya, anak – anak dibuai masuk ke dalam perangkap dunia digital sebuah dunia yang tidak ramah, tidak aman dan mengancam masa depan anak-anak. Lantas, bagaimana upaya agar bisa menyelamatkan anak-anak dari dunia digital yang telah membelenggu dan mengganggu tumbuh kembangnya?
Oleh:
Wahyu Kuncoro, Wartawan Bhirawa
Belasan bocah, laki-laki dan perempuan bermain di tengah persawahan yang kondisi lahannya disulap menjadi kubangan lumpur. Meski tubuh dan bajunya penuh lumpur, namun tawa ceria terus tergambar di raut wajahnya. Ketika salah seorang fasilitator Lutfhia melemparkan beberapa ikan ke persawahan, sontak tanpa canggung anak-anak usia sekolah dasar itupun berhamburan berebut ikan yang terbenam dalam lumpur. Akibatnya wajah dan baju anak-anakpun semakin kotor terkena lumpur.
Menilik dari warna kulit dan baju yang dikenakannya, jelas mereka bukan anak desa yang sudah terbiasa main di sawah dan bergelut dengan lumpur. Ternyata, mereka adalah adalah anak-anak perkotaan yang sengaja diajak dan dikenalkan dengan berbagai permainan agar melupakan gadget yang setiap hari menemaninya.
Yah, permainan berebut ikan di lumpur hanyalah salah satu jenis permainan yang diberikan anak-anak yang sedang berada di Kampung Lali Gadget. Kampung yang berlokasi di Desa Pagerngumbuk, Sidoarjo, Jawa Timur, didirikan oleh Achmad Irfandi tahun 2018 lalu sebagai respon atas keprihatinannya terhadap fenomena kecanduan gadget pada anak.
“Saya masih ingat, saat itu beberapa anak-anak berkumpul di warung kopi sekadar mendapatkan fasilitas WiFi. Saya melihat karena terlalu sering main gadget ada perubahan perilaku anak-anak yang membuat saya khawatir, menyenangi kesendirian, enggan berkumpul dan bermain dengan teman karena asyiknya maih gadget,” ungkap Irfandi. Kampung Lali Gadget, lanjut Irfandi menawarkan solusi dengan menghadirkan berbagai permainan tradisional.
“Tujuannya sederhana, bagaimana membuat anak-anak melupakan dari layar gadget dan mengembalikan interaksi sosial dengan dunia nyata,” jelas Irfandi saat ngobrol dengan Bhirawa, Kamis (9/10/2025). Selain main lumpur di sawah, mereka juga diajari permainan tradisional lainnya seperti congklak, gobak sodor, lempar sarung, kelompen tali, egrang, cuthikan dan sebagainya. Tak hanya itu, anak-anak juga mendapat kesempatan membuat mainan tradisional sendiri, seperti, wayang bambu, mobil dari batok kelapa, atau keris dari daun kelapa dan sebagainya.
Salah seorang fasilitator di Kampung Lali Gadget Lutfhia, yang akrab disapa Kak Fhia, mengungkapkan permainan yang dikenalkan tersebut juga bertujuan untuk mengenalkan nilai-nilai penting seperti komunikasi yang efektif, kerja sama antar teman, serta sikap sportivitas.
“Mereka bisa tertawa, bergerak, dan berinteraksi secara langsung, hal yang sulit didapatkan jika hanya bermain dengan gadget,” ujar Kak Fhia yang masih berstatus mahasiswi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya ini. Meski terlihat mudah, menjadi fasilitator bukanlah perkara sederhana. Kak Fhia mengakui bahwa tantangan terbesarnya adalah menjaga semangat anak-anak agar tetap menyala.
“Kami terus berusaha mencari cara kreatif agar permainan tetap seru dan menarik, tanpa mengesampingkan nilai edukasinya,” ucapnya. Menurut Kak Fhia, setiap permainan memiliki nilai edukatif tersendiri yang secara tidak langsung mendorong proses belajar sembari bermian secara riang dan bermakna..
“Bermain permainan tradisional tidak hanya menyenangkan dan seru, tetapi juga dapat merangsang kreativitas dan keterampilan motorik pada anak,” tutur Kak Fhia sambil mengusap keringat yang menempel di wajahnya.
Dosen Komunikasi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr suko Widodo ketika dikonfirmasi terkait fenomena di Kampung Lali Gadget menilai perubahan sikap anak yang menjadi lebih terbuka, aktif, dan komunikatif menjadi bukti nyata bahwa pendekatan ini berhasil menyentuh esensi dunia anak-anak yang sebenarnya, dimana tawa, gerak, dan interaksi langsung menjadi fondasi pembelajaran yang alami.
Menurut Suko Widodo, Kampung Lali Gadget menunjukkan bahwa masa anak-anak yang bermakna dan menyenangkan tidak selalu berarti membutuhkan kehadiran teknologi. Menggunakan cara-cara sederhana namun penuh makna, komunitas ini berhasil menghidupkan kembali nilai-nilai dalam permainan tradisional yang mendukung pembentukan karakter, kebugaran fisik, serta interaksi sosial anak-anak.
Inisiatif Kampung Lali Gadget tegas Suko Widodo membuktikan bahwa melalui ide kreatif, kepedulian, dan kolaborasi antargenerasi, akan dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan penuh nilai bagi perkembangan anak-anak Indonesia. Inisiatif dan ikhtiar yang dilakukan Kampung Lali Gadget jelas Suko Widodo tentu memberi angin segar untuk mengembalikan anak-anak ke dunia aslinya yakni dunia bermain.

“Namun itu saja belum cukup, karena memang persoalan dunia digital yang sudah telanjur mengurung anak telah menimbulkan dampak serius bagi anak yang butuh kerja kolaboratif dari banyak pihak terlibat,” tutur Suko Widodo mengingatkan.
Ancaman Dunia Digital bagi Anak
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono mengingatkan berdasar Data Internet Watch Foundation (IWF) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, terdapat 707 laporan konten kekerasan seksual anak di dunia daring. Dari jumlah tersebut, ada 318 laporan terbukti sebagai konten kekerasan seksual anak, dan yang lebih mengejutkan, 236 laporan ditemukan tersimpan di server yang di-hosting di Indonesia.
“Angka tersebut menunjukkan peningkatan yang signifikan selama empat tahun terakhir, mengindikasikan bahwa Indonesia semakin rentan sebagai tempat penyimpanan konten kekerasan seksual anak,” jelas Aris saat dikonfirmasi Bhirawa melalui telepon selular, Rabu (8/10). Platform media sosial pun lanjut Aris, turut menjadi sarana distribusi konten eksploitasi seksual anak secara terselubung.
Menurut Aris, sepanjang tahun 2024, KPAI mencatat menerima 2.057 pengaduan kasus perlindungan anak, di mana 954 kasus telah ditindaklanjuti hingga tahap terminasi. Dari jumlah tersebut, 41 kasus merupakan anak korban pornografi dan kejahatan dunia maya (cybercrime), sementara 265 kasus lainnya adalah kekerasan seksual terhadap anak.
“Kasus paling sering dilaporkan adalah anak korban kejahatan seksual dan perundungan di dunia maya. Penyebab utama masalah ini adalah kesenjangan antara pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial dan rendahnya tingkat literasi digital pada anak-anak dan orangtua,” jelas Aris. Hal ini mengakibatkan lemahnya pengawasan serta meningkatnya penyalahgunaan dalam penggunaan media sosial, yang berakibat pada munculnya kejahatan lainnya terhadap anak.
Dari pengawasan KPAI selama ini, kasus-kasus yang paling banyak ditemui meliputi anak korban kekerasan seksual, anak korban pornografi, anak korban eksploitasi, anak korban perundungan, hingga anak korban judi daring. Kondisi ini menunjukkan bahwa hak anak mendapatkan pengasuhan positif dari keluarga kurang maksimal, begitu pula dengan hak mendapatkan pengasuhan alternatif dari satuan pendidikan yang juga tidak maksimal. Perkembangan teknologi tidak hanya memberikan kemudahan bagi pengguna yang baik, tetapi juga dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk mempermudah dan memperlancar aksi mereka.
Berharap Tuah Sakti PP Tunas
Di tengah pesatnya arus informasi, ancaman terhadap kelompok rentan utamanya anak-anak sungguh kian nyata. Terpaan konten berbahaya, manipulatif, hingga eksploitasi digital telah menjadi keresahan bersama. Dalam upaya melindungi anak-anak dan kelompok rentan di dunia maya, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS).
Regulasi yang ditetapkan pada tanggal 28 Maret 2025 dan mulai berlaku pada 1 April 2025 ini menjadi dasar hukum kuat bagi negara untuk menghadirkan ruang digital yang aman, sehat, dan berkeadilan.
Saat dikonfirmasi di sela-sela acara Pengukuhan Pengurus Persatuan Wartawan Indoensia (PWI) Pusat periode 2025/2030 di Monumen Pers Solo, Sabtu (4/10), Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid mengungkapkan bahwa PP TUNAS merupakan respon strategis pemerintah dalam mengatasi persoalan anak di ruang digital secara sistematis.
“Kami di Komdigi tidak hanya melihat dampaknya (ruang digital) terhadap anak-anak, tetapi kepada keseluruhan. Bagaimana ruang digital ini berdampak kepada seluruh warga negara yang menggunakan,” ujar Meutya Hafid
PP TUNAS mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk menyaring konten yang berpotensi membahayakan anak-anak, menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah diakses, serta memastikan proses remediasi yang cepat dan transparan. Selain itu, PP ini mengatur kewajiban PSE untuk memverifikasi usia pengguna dan menerapkan pengamanan teknis yang dapat memitigasi risiko paparan konten negatif.
Bagi pelanggar, PP TUNAS menetapkan sanksi administratif hingga pemutusan akses terhadap platform yang tidak patuh.
“Kita melihat ada aplikasi-aplikasi yang memang nakal. Ini bukan semata hasil algoritma yang menyesuaikan minat pengguna, tapi ada kecenderungan konten-konten ini memang sengaja diarahkan ke kelompok rentan termasuk anak-anak,” tegas Meutya. Secara khusus, Meutya menekankan bahwa PP TUNAS tidak hanya melindungi anak-anak, tetapi menciptakan ruang digital yang aman untuk semua pengguna.
“Ketika keamanan ekosistem digital diperkuat, yang diuntungkan bukan hanya anak-anak tapi juga semua orang yang berada di ranah digital. Kita ingin semua pihak nyaman, karena aturannya jelas seperti aturan main di pasar,” jelas Meutya.
Meutya juga menyoroti bahwa PP TUNAS lahir untuk memperkuat kolaborasi pemerintah dengan seluruh pemangku kepentingan digital. Pemerintah membuka ruang dialog untuk penyempurnaan regulasi dan mendorong komitmen kolektif dari seluruh platform digital.
Manfaatkan AI dan Big Data
Dosen Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr Maryamah mengungkapkan bahwa ancaman digital terhadap anak-anak saat ini sangat besar.
“Penggunaan internet yang luas memang memiliki manfaat edukatif, tetapi bagi anak-anak yang belum matang secara emosional, dapat dengan mudah meniru perilaku negatif yang mereka temui secara online,” ujar Maryamah saat dirtemui Bhirawa di Kampus Unair, Kamis (9/10). Berkaca dari itu lanjut Maryamah, maka langkah pemerintah yang menerbitkan PP Tunas menjadi langkah yang tepat.
“Keputusan pembuatan PP Tunas ini sudah benar, karena anak-anak sebagai generasi penerus bangsa harus dilindungi dari konten berbahaya,” tuturnya. Selanjutnya dalam mengidentifaksi konten yang berbahaya bagi anak, jelas Maryamah teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dan big data bisa berperan penting dalam mengidentifikasi serta memblokir ancaman digital bagi anak. Saat ini, AI dapat digunakan untuk mendeteksi dan menyaring konten berbahaya secara otomatis.
“AI dapat mengenali dan menyaring konten eksplisit di media sosial, termasuk tren ‘Elsagate’ di YouTube yang semakin marak. Bahkan, mahasiswa Unair di bidang Data Science telah mengembangkan sistem pendeteksi konten berbahaya berbasis AI,” ungkapnya.
Saat ini, berbagai aplikasi seperti Google Safe Search, YouTube Kids, dan Apple Parental Control telah memberikan opsi penyaringan konten. Namun, efektivitasnya masih terbatas tanpa sosialisasi yang memadai kepada orang tua.
Secara khusus Maryamah berharap, hadirnya PP TUNAS ini menjadi langkah awal menciptakan ruang digital yang aman bagi anak-anak. Namun, keberhasilannya akan sangat bergantung pada implementasi regulasi, keterlibatan aktif orang tua, institusi pendidikan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat anak.
“Semoga PP TUNAS ini tidak hanya terbentuk sebagai simbol perlindungan, tetapi benar-benar dapat bekerja secara nyata untuk menciptakan ekosistem digital yang aman dan kondusif bagi anak-anak Indonesia,” ungkapnya penuh harap. [*]


