Kota Malang, Bhirawa
Sektor pariwisata di Jawa Timur jika terus dikembangkan dinilai mampu mendongkrak perekonomian dalam Indonesia emas 2045.Pernyataan tersebut disampaikan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Prof Dwi Budi Santoso SE MS PhD, akhir pekan kemarin.
Menurut Prof Dwi, dalam satu dekade terakhir, tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi yang pernah dicapai Jawa Timur sebesar 6,6%, dan belum pernah mencapai angka 8%. Sehingga di tahun 2045 diharapkan bisa tercapai melalui penguatan sektor pariwisata di Jawa Timur.
”Tantangan menuju Indonesia Emas 2045 sangatlah besar, apalagi adanya tantangan global. Indonesia emas 2045, lanjutnya merupakan wacana yang sudah digadang-gadang sejak tahun 2023,” kata Prof Dwi.
Karena itu, Prof Dwi mengungkapkan, sektor pariwisata di Jawa Timur ini bisa menjadi salah satu upaya dalam memajukan perekonomian, terkhusus di Jawa Timur.
”Secara teoritis, sektor pariwisata ini memiliki efek multiplier yang luar biasa yang dapat mendorong interaksi antarsektor dalam sistem ekonomi. Dampak multiplier sektor ini sangat luas mencakup penciptaan lapangan kerja, pemanfaatan sumber daya, penguatan keterampilan dan keahlian tenaga kerja, peningkatan kolaborasi berbagai bidang atau sektor lintas disiplin, serta mendorong arus perdagangan dan investasi,” tukasnya.
Prof Dwi menjelaskan, setiap pengeluaran pada sektor pariwisata memicu efek domino yang merangsang permintaan di sektor-sektor ekonomi lain, sehingga meningkatkan pendapatan regional.
”Secara teoritis ini, kita buat direct effect dari pariwisata itu sebetulnya pada transportasi, hotel, makanan, dan tenaga kerja,” jelas Dwi.
Wecara teoritis, jika komponen seperti transportasi, hotel, dan usaha makanan tumbuh, maka akan mandorong jumlah permintaan tenaga kerja. Namun perlu adanya berbagai upaya dalam merealisasikan hal tersebut. Dalam teori pertumbuhan ekonomi Solow, dapat di indentifikasi bahwa perekonomian tidak selalu lurus dan terus mengalami fluktuatif.
”Perekonomian itu tidak naik terus atau turun terus, tapi ada kontraksi dan ekspansi,” tutur Prof Dwi.
Prof Dwi menambahkan, dalam teori Solow, kemajuan perekonomian terjadi melalui peningkatan modal yang berasal dari investasi. Setiap investasi tentu memiliki biaya, dan selama biaya tersebut masih lebih rendah dibandingkan manfaat atau keuntungan yang diperoleh, maka tabungan yang tersedia akan terus diinvestasikan.
”Pada tahap ini, perekonomian berada dalam kondisi ekspansif, ditandai dengan peningkatan output ekonomi perkapita. Proses ini akan berlangsung hingga keuntungan investasi mencapai titik nol,” tambahnya.
Jika investasi tetap dipaksakan setelah titik ini, perekonomian akan memasuki kondisi yang overheated, biaya investasi menjadi lebih tinggi dari tabungan yang tersedia. Untuk menutupi selisih ini, konsumsi masyarakat harus dikurangi. Dalam kondisi seperti ini, investor akan mengurangi investasinya, dan perekonomian secara perlahan akan kembali ke titik keseimbangan atau steady state. [mut.fen]


