Oleh :
Jacika Pifi Nugraheni
Dosen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Slamet Riyadi Surakarta
Tahun ajaran baru 2025/2026 sudah berjalan, dan muncul fenomena menarik yang penting untuk dibahas. Di berbagai daerah, fenomena makin sepinya Sekolah Dasar (SD) negeri mulai menjadi pemandangan yang memprihatinkan. Jumlah peserta didik menyusut tajam, bahkan tak sedikit SD negeri yang hanya menerima segelintir siswa baru.
Tidak hanya itu, banyak sekolah mengalami penggabungan karena tidak mendapatkan siswa peserta didik. Sementara di sisi lain, sekolah swasta justru mulai kebanjiran peminat, meski dengan biaya yang tidak sedikit. Di Jawa Barat hanya sekitar 34% siswa bersekolah di sekolah negeri, di Jawa Tengah 48,1% memilih bersekolah di sekolah swasta, sedangkan di Jawa Timur hanya 35% siswa yang bersekolah di sekolah negeri dan 65% memilih bersekolah di sekolah swasta.
Fenomena ini tidak bisa dianggap remeh. Ini adalah alarm keras yang seharusnya mengetuk kesadaran pemerintah daerah untuk segera mengambil tindakan korektif dan strategis.
Dari sudut pandang Ilmu Administrasi Negara, gejala ini memperjelas bahwa persoalan pendidikan di Indonesia kini tidak lagi semata soal akses. Meskipun selama dua decade pemerintah telah berupaya memperluas akses pendidikan dengan program wajib belajar, bantuan BOS, perbaikan infrastruktur, tetapi nyatanya masalah telah bergeser pada kualitas layanan publik yang lebih komperehensif. Hal ini menunjukan ketimpangan yang semakin mencolok antara pelayanan publik di sektor pendidikan dengan ekspektasi masyarakat yang terus berkembang.
Sekolah negeri merupakan manifestasi nyata dari kehadiran negara dalam menjamin hak pendidikan dasar yang inklusif, setara, dan berkualitas bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi. Namun, saat ini kita menyaksikan gejala kepercayaan publik yang mulai luntur, di mana orang tua dari berbagai lapisan sosial lebih memilih lembaga swasta meskipun berbiaya lebih mahal karena dinilai lebih fleksibel, adaptif, dan inovatif dalam memenuhi kebutuhan anak-anak mereka di era digital yang dinamis.
Jika dipahami lebih dalam, ini bukan hanya soal penurunan jumlah siswa atau rendahnya animo masyarakat terhadap sekolah negeri, melainkan menyentuh jantung persoalan legitimasi negara sebagai penyedia layanan publik. Ketika ekspektasi publik terhadap kualitas pendidikan tidak lagi bisa dipenuhi oleh sistem yang terlalu birokratis, kaku, dan terjebak dalam regulasi yang membatasi kreativitas satuan pendidikan, maka kredibilitas negara dalam memenuhi hak dasar warganya turut dipertaruhkan. Ketimpangan ini dapat berdampak jangka panjang, seperti semakin lebarnya kesenjangan mutu pendidikan antarwilayah dan antarsegmen sosial, serta memunculkan segregasi pendidikan yang tidak sehat antara “mereka yang mampu” dengan “mereka yang terpaksa” memilih sekolah negeri.
Dalam konteks ini, pemerintah daerah sebagai aktor penting dalam desentralisasi pendidikan memiliki tanggung jawab strategis untuk melakukan reformasi administratif dan manajerial di tingkat satuan pendidikan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyuratkan bahwa pendidikan termasuk dalam urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, dan menjadi kewenangan pemerintah daerah, terutama pada jenjang pendidikan dasar.
Sekolah negeri tidak cukup hanya sekadar melayani, namun mereka harus mampu bersaing, berinovasi, dan membangun kembali kepercayaan publik. Inilah saatnya pendekatan administrasi publik bertransformasi dari sekadar rule-based menjadi performance-based dan citizen-centris, agar sekolah negeri kembali menjadi pilihan rasional, bukan sekadar opsi tersisa.
Perubahan Pandangan
Salah satu penyebab utama sekolah negeri mulai ditinggalkan adalah perubahan orientasi orang tua dalam memilih pendidikan untuk anak. Banyak orang tua masa kini yang tidak hanya mempertimbangkan faktor biaya, tetapi juga kualitas layanan, suasana belajar, eksposur kegiatan ekstra, hingga citra sekolah di media sosial. Dalam hal ini, sekolah negeri kalah telak. Mereka dinilai kurang inovatif, kaku, dan tertinggal secara promosi dibanding sekolah swasta yang lebih fleksibel dalam menawarkan program-program menarik.
Ini bisa jadi merupakan dampak dari kebijakan yang terlalu kaku, tidak memperbolehkan penyelenggaraan kegiatan non-akademik yang membutuhkan partisipasi dana dari orang tua, serta membatasi ruang kreasi sekolah untuk berinovasi di luar kurikulum standar. Akibatnya, banyak sekolah negeri tak bisa bergerak cepat dan adaptif dalam merespons kebutuhan serta ekspektasi masyarakat yang terus berkembang.
Perlu ada pendekatan kebijakan yang lebih fleksibel dan berbasis pengawasan. Larangan total terhadap partisipasi masyarakat dalam pendanaan sekolah meskipun dimaksudkan untuk mencegah pungutan liar, justru dapat berdampak negatif apabila tidak diimbangi dengan alokasi anggaran yang mencukupi dari pemerintah. Akibatnya, banyak kegiatan yang bernilai tambah bagi siswa terpaksa ditiadakan karena keterbatasan biaya operasional.
Kebijakan yang ideal seharusnya membuka ruang kolaborasi antara sekolah dan orang tua, dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan berlapis. Partisipasi masyarakat dalam bentuk dukungan dana atau sumber daya lain bukanlah ancaman, melainkan potensi besar yang jika dikelola dengan benar dapat memperkuat ekosistem pendidikan. Selama mekanisme pengawasan berjalan dengan baik dan pengelolaan dilakukan secara profesional, potensi penyalahgunaan bisa diminimalisir, sementara manfaat nyata bagi siswa dan sekolah dapat dimaksimalkan.
Melek Pemasaran di Era Digital
Sekolah negeri tidak bisa lagi berpangku tangan. Di era digital saat ini, citra institusi publik, termasuk sekolah, sangat ditentukan oleh kehadiran mereka di ruang digital. Sayangnya, mayoritas sekolah negeri belum menyadari pentingnya strategi pemasaran institusional. Mereka belum memiliki akun media sosial yang aktif, belum mendokumentasikan kegiatan yang inspiratif, apalagi menjalin kemitraan strategis dengan pihak luar.
Padahal, beberapa sekolah negeri yang mulai ‘melek pemasaran’ justru menunjukkan tren positif. Mereka rutin mengunggah kegiatan siswa, prestasi guru, hingga video pendek tentang budaya sekolah di Instagram atau TikTok. Hasilnya? Peminat meningkat. Hasil tracer di Instagram misalnya sekolah negeri aktif di media sosial yakni SD Negeri Karangasem 4 Surakarta, SD N Setono. Ini seharusnya menjadi inspirasi sekaligus bukti bahwa pendekatan promosi bukan monopoli sektor swasta. Sekolah negeri bisa bersaing, asalkan mau membuka diri terhadap inovasi.
Beberapa hasil riset memperkuat kondisi ini. Studi yang dilakukan Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbudristek menunjukkan bahwa menurunnya peminat sekolah negeri bukan semata karena kualitas akademik, tetapi karena minimnya kegiatan non-akademik dan komunikasi yang tidak adaptif terhadap harapan orang tua generasi baru. Dalam bahasa lain, sekolah negeri kalah dalam “branding” dan “pengalaman belajar”.
Sementara itu, riset dari Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) di beberapa provinsi menemukan bahwa sekolah yang berhasil mempertahankan bahkan meningkatkan jumlah murid umumnya memiliki kepemimpinan kepala sekolah yang aktif membangun jejaring, kreatif mencari sumber daya, serta komunikatif dengan publik.
Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah Daerah?
Pertama, pemerintah daerah perlu menyusun peta jalan audit dan revitalisasi sekolah negeri secara komprehensif, termasuk aspek kurikulum, sarana-prasarana, penguatan kapasitas guru, serta branding sekolah. Dinas pendidikan harus menjadi katalisator dalam memperkuat identitas dan citra sekolah negeri. Kedua, perlu ada pelatihan pemasaran digital untuk kepala sekolah dan guru. Kemampuan membuat konten, mengelola media sosial, hingga memproduksi narasi sekolah yang kuat akan menjadi senjata ampuh membalikkan persepsi publik. Ketiga, beri ruang otonomi kepada sekolah dan insentif untuk menjadi stimulasi inovasi kegiatan unggulan dengan tetap dalam pengawasan. Jangan bunuh semangat inovasi hanya karena takut dan terjadi penyimpangan dana. Justru dengan memberikan kepercayaan yang disertai sistem kontrol yang ketat, sekolah akan berkembang sehat dan bertanggung jawab.
Krisis yang melanda sekolah negeri saat ini menjadi momentum untuk berbenah. Ini saat yang tepat bagi pemerintah daerah untuk menunjukkan keberpihakan nyata pada pendidikan dasar. Jangan sampai sekolah negeri menjadi bangunan kosong tanpa makna, hanya karena kita gagal membaca zaman. Sekolah negeri harus kembali menjadi pilihan utama, bukan karena gratis, tapi karena bermutu, menarik, dan membanggakan. Jika tidak segera bertindak, maka kita sedang menyaksikan perlahan-lahan matinya semangat pelayanan publik di sektor paling mendasar: pendidikan anak bangsa.
———– *** ————-


