“Mereka bukan melawan sekolah formal, tapi menambal celah yang lama diabaikan”
Oleh:
Estu Widiyowati
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Slamet Riyadi, Surakarta
“Saya hanya ingin anak saya tumbuh jadi manusia utuh, bukan sekedar angka di rapor.”
Kalimat itu diucapkan pelan oleh Rina (nama samaran), seorang ibu rumah tangga, saat saya menanyakan alasan ia memindahkan anaknya dari sekolah negeri ke sebuah sekolah berbasis komunitas. Di sekolah barunya, anak Rina (nama samaran) tidak lagi dicekoki rumus atau diancam nilai, tapi belajar membuat kompos, mengelola emosi, dan membangun relasi sosial. Tidak ada seragam, tidak ada ujian – tapi ada antusiasme yang nyata untuk belajar.
Cerita seperti Rina (nama samaran) mungkin terdengar ‘asing’ bagi sebagian orang, tapi faktanya semakin banyak orang tua di Indonesia yang mempertanyakan kembali relevansi sistem pendidikan formal. Mereka bukan anti – sekolah, bukan pula anti – pemerintah, tapi mereka gelisah. Gelisah melihat anak – anak kehilangan semangat, dijejali hafalan, dan dianggap gagal hanya karena tak bisa menaklukkan angka – angka di kertas ujian.
Sekolah Formal: Seragam Tapi Tak Menjawab Ragam
Sistem pendidikan kita, bagaimanapun, lahir dari semangat standarisasi. Semua murid dari Aceh sampai Papua menghafal kurikulum yang sama. Mereka diuji dengan cara yang sama, dinilai dengan angka yang sama, dan dipaksa lulus pada waktu yang sama. Padahal, setiap anak datang dari konteks yang berbeda, latar yang berbeda, dan cara belajar yang berbeda pula.
Dalam banyak kasus, sekolah formal justru gagal menjawab kebutuhan unik setiap anak. Anak – anak yang gemilang dalam seni, bergerak aktif di alam, atau kritis dalam berdiskusi – seringkali dipinggirkan karena tak memenuhi standar akademik. Ruang untuk bereksplorasi semakin sempit. Sekolah tak lagi menjadi tempat menemukan jati diri, melainkan menjadi pabrik pencetak ijazah.
Kesenjangan Pendidikan: Ketika Sekolah Menjadi Privilege
Di sisi lain, kita juga tak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa pendidikan yang seharusnya hak dasar – masih menjadi barang mewah bagi sebagian masyarakat. Menurut data yang disampaikan oleh Chief of Education UNICEF Indonesia, jumlah anak usia sekolah yang tidak sekolah di Indonesia mencapai 3,9 juta pada 2024. Alasannya dari mulai keterbatasan biaya, akses, hingga kebutuhan untuk bekerja sejak dini.
Bagi mereka yang tinggal di pedalaman, sekolah bisa berjarak puluhan kilometer. Sementara itu, di kota besar, sekolah berkualitas hadir dalam bentuk institusi swasta yang mahal dan eksklusif. Maka lahirlah jurang: antara yang bisa sekolah dan yang tak bisa, antara yang mampu membayar pendidikan dan yang hidup dari upah harian.
Di tengah ketimpangan itu, sekolah alternatif muncul bukan sebagai pesaing, tapi sebagai pengisi celah. Ia hadir dengan wajah berbeda – tanpa pungutan, berbasis komunitas, dan didorong semangat solidaritas.
Sekolah Alternatif: Ruang Belajar yang Membebaskan
Sekolah alternatif adalah napas baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Di beberapa tempat, ia hadir dalam bentuk Sekolah Alam yang mengajak anak – anak belajar dari tanah, pohon, dan kehidupan nyata. Di tempat lain, ada Sekolah Rakyat yang digerakkan oleh relawan untuk anak – anak pekerja migran atau komunitas adat. Ada pula Homeschooling Kolektif yang dirancang orang tua yang merasa sekolah formal tak lagi relevan bagi anak mereka.
Yang menarik, pendekatan sekolah alternatif sering kali mengusung nilai – nilai yang justru hilang dalam sistem pendidikan formal – pembelajaran berbasis pengalaman, pemahaman atas konteks lokal, dan pemulihan relasi sosial.
Saya pernah berkunjung ke sebuah sekolah komunitas. Tak ada gedung mewah, tak ada buku paket. Tapi disana saya melihat anak – anak berbinar saat berdiskusi tentang konflik sosial, saat membuat pupuk alami, atau saat menulis puisi. Mereka tak sekedar pintar, mereka hidup dan menyala.
Pendidikan yang Membebaskan dan Merangkul
Pendidikan seharusnya bukan mesin standarisasi, melainkan ruang untuk tumbuh. Ruang yang membebaskan, bukan membebani. Ruang yang merangkul keberagaman cara berpikir, bukan menyeragamkan semua manusia menjadi satu bentuk yang dianggap ‘ideal’.
Sekolah alternatif, dengan segala keterbatasannya, sedang menunjukkan bahwa pendidikan bisa dilakukan dengan cara lain. Ia bukan anti negara, bukan anti ilmu pengetahuan. Ia hanya mengingatkan bahwa tak semua bisa ditempuh dengan jalan tunggal.
Tentu, sekolah alternatif bukan solusi universal. Ia punya tantangan – soal legalitas, akreditasi, keberlanjutan, hingga pengakuan publik. Tapi keberadaannya adalah kritik yang hidup bagi sistem pendidikan kita yang stagnan.
Menuju Masa Depan yang Lebih Terbuka
Barangkali ini waktunya kita berhenti memandang pendidikan hanya dari angka ujian, akreditasi sekolah, atau ranking PISA (Programme for International Student Assessment). Barangkali ini saatnya mengakui bahwa belajar bisa dari mana saja – dari komunitas, dari alam, dari kehidupan.
Pendidikan seharusnya menjadi jalan pembebasan, bukan perlombaan yang mengorbankan banyak jiwa muda. Sekolah alternatif, dalam bentuknya yang sederhana, sedang menunjukkan kemungkinan masa depan itu. Masa depan dimana anak – anak tak hanya cerdas, tapi juga utuh sebagai manusia.
———— *** —————


