Tiada paceklik, dan tiada bencana alam yang menyebabkan gagal panen. Tetapi jelang bulan Ramadhan seolah-olah selalu terjadi kenaikan harga bahan pangan yang harus dimaklumi. Disebabkan permintaan (konsumsi) lebih banyak pada bulan puasa, turut menyulut kenaikan harga “bahan dapur.” Sebagian disebabkan cuaca (hujan) menyebabkan panen tidak menggembirakan. Terutama cabai, berbagai jenis ikan, dan sayuran. Bahan pangan utama, beras, juga telah naik.
Harga cabai, dan bumbu rempah-rempah melejit, diikuti harga telur dan daging ayam. Bahan pangan utama, beras, juga telah naik. Dipastikan akan memicu inflasi pada bulan Pebruari akan tercatat tinggi. Terutama “dipimpin” oleh harga cabai yang sudah mencapai Rp 80 ribu per-kilogram (naik 200%) disbanding bulan Januari. Kenaikan cabai diperkirakan bakal terus melaju sampai akhir Ramadhan.
Kenaikan karena faktor “alamiah” bisa dimaklumi. Sebagian tanaman memerlukan tindakan tambahan (ekstra), terutama cabai, dan sayur (sawi, kubis, dan brokoli). Seluruh tindakan (ekstra) ke-pertani-an dikerjakan secara mandiri bersama oleh kelompok tani. Niscaya berkonsekuensi pertambahan biaya produksi komoditas. Berujung pada harga komoditas tanam. Cabai rawit merah di Jakarta, saat ini rata-rata seharga Rp 100 ribu per-kilogram.
Di sentra cabai di Jawa Timur (antara lain Kediri) sudah seharga Rp 70 ribu per-kilogram di tingkat petani. Naik sekitar 40% dibanding harga biasa. Cabai sudah sering menjadi komponen pangan bergejolak (volatile food), sampai di-perbincang-kan di istana negara. Terutama pada musim hujan, karena cabai sangat rentan terkena siraman air hujan. Bunga dan buntil cabai akan berguguran. Serasa percaya – tidak percaya, harga cabai lebih mahal dibanding haga daging sapi (tahun 2021 lalu). Sekaligus mampu “memimpin” laju inflasi melebihi seluruh komoditas.
Tiada kelangkaan pasokan pangan, tetapi harga naik. Cabai sudah menjadi komoditas hortikultura yang sering mengalami volateli. Tiba-tiba naik, dan tiba-tiba pula anjlok. Mengecoh petani, karena ke-tidakpasti-an harga. Kebutuhan cabai nasional ditaksir sebanyak satu juta ton per-tahun! Sedangkan hasil panen cabai sekitar 1,2 juta ton. Pulau Jawa, terutama Jawa barat dan Jawa Timur, menyumbang pasokan terbesar. Maka mestinya, tidak terjadi kelangkaan. Bahkan masih bisa ekspor.
Tetapi realita suplai and demand, berbeda. Cabai sering langka seiring musim hujan. Ironis, bahkan pada tahun 2017 Indonesia “terpaksa” impor cabai dari Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Walau tidak banyak, hanya sekitar 200 ton. Namun devisa yang dikeluarkan untuk impor bisa digunakan sebagai fasilitasi ladang tanam cabai di dalam negeri. Konon pemerintah memiliki program penambahan areal cabai seluas 340 ribu hektar. Terutama pada area Perhutani yang terlantar, bisa dikerjasamakan dengan petani setempat.
Kebutuhan konsumsi pada bulan Ramadhan biasa naik, disebabkan meningkatnya solidaritas sosial. Setiap orang (terutama yang muslim) ingin memberi makan, terutama saat berbuka puasa. Jamuan makan kelompok masyarakat juga sering dilakukan pada bulan Ramadhan. Hampir seluruh tempat ibadah umat muslim (masjid, dan mushala) menyediakan ta’jil (makanan sederhana awal buka puasa). Bahkan di jalan sering dibagikan bingkisan buka puasa.
Kenaikan harga bahan pagan jelang Ramadhan, sudah rutin. Bahkan dianggap sebagai “sedekah” harga. Karena pedagang kecil (dan buruh penjaga lapak) juga perlu THR (Tunjangan Hari Raya). Tetapi dibutuhkan campur tangan pemerintah melindungi perekonomian rumah tangga, sesuai mandat UU (undang-undang). Tercantum dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
Sedikit kenaikan, bisa dipahami sebagai “sedekah” THR, dan efek kendala distribusi. Serta sesuai asas supply and demand. Namun tidak boleh me-liar.
——— 000 ———


